Hari ini, suasana restoran tempat ku bekerja dipenuhi oleh pengunjung. Maklumlah, sekarang sudah masuk jam istirahat. Aku berusaha bekerja seoptimal mungkin melayani pengunjung. Walaupun tubuhku terasa letih, aku coba tetap tersenyum.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku segera pergi ke restoran cempaka tempatku bekerja paruh waktu. Alhamdulillah, pemilik restoran sudah berbaik hati menerimaku. Dengan gaji yang lumayan, aku sedikit bisa membantu ibuku. Gaji ibuku yang hanya seorang buruh cuci hanya cukup untuk makan sehari – hari dengan lauk seadanya. Terkadang kita harus puasa satu hari ketika uang ibuku habis sedangkan bulan gajianku masih lama. Namun aku masih bersyukur, aku masih bisa hidup walaupun hidupku tak senyaman teman – teman sekolahku.
Aku anak sulung dari 3 bersaudara. Kini aku duduk di bangku SMA. Adiku yang pertama sudah lulus SMP, namun untuk melanjutkan ke SMA dia harus bersabar. Sedangkan adiku yang kedua masih ada di SD. Sedangkan ayahku dulu seorang petani. Namun karena musim kemarau yang berkepanjangan, lahan sawah ayahku menjadi tandus hingga ayahku terpaksa menjualnya dengan harga yang minimum. Sekarang ayahku sudah meninggal karena sakit yang dideritanya. Dan kini beban keluarga berada di pundak ibuku.
“Kak, nanda pingin makan gado – gado….”, kata Nanda pagi itu ketika aku akan berangkat ke sekolah.
Melihatnya merengek manja, aku jadi terharu.
“Iya Nanda, doakan kakak ya, Insya Allah nanti kalau kakak gajian, kakak beliin gado – gado…Wanda juga kan? Tanyaku pada wanda, adik lelakiku. Tak ada jawaban. Ku lihat Wanda segera berlalu tanpa menoleh ke arahku. “Wanda kenapa bu?” tanyaku pada ibu.
“Ibu juga tidak tahu nak, dari pagi dia marah – marah. Coba kamu Tanya ke dia? Mungkin dia mau cerita.” Aku menghela nafas, sifat Wanda akhir – akhir ini berubah. Dia sering marah – marah tanpa ada yang tahu penyebabnya, padahal dulu dia begitu penurut.
“Iya Bu, nanti Manda coba tanyakan, ya sudah, Manda berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam….hati – hati di jalan ya nak….” Aku berlalu dan ku lambaikan tangan sebagai jawaban pada ibuku. Pagi ini aku harus bergegas karena aku ada ulangan matematika dan aku tak ingin terlambat.
Ku usap peluh yang ada di keningku. Aku tersenyum membayangkan kedua adiku. Akhirnya hari ini aku gajian. Kulangkahkan kaki dengan senyum merekah di bibirku, orang rumah pasti akan senang.
“Kak….minta sedekahnya….”
Ku lihat seorang gadis kecil tengah mengulurkan telapak tangannya ke arahku. Aku merasa miris melihatnya, sungguh…aku kasihan. Badanya yang kecil, hanya berbalut kulit dan tulang dan dekil. Aku tak tega. “Adik siapa namanya?”
“Mira kak, sedekahnya kak, seharian ini Mira belum makan…”
“Ya sudah, ini kakak punya gado – gado, satu boleh buat Mira.” Kataku sembari mengulurkan sebungkus gado – gado ke arahnya. Gadis kecil itu tersenyum dan memelukku. “Makasih ya kak…Mira sayang kakak…” Gadis kecil itu berlalu sambil tersenyum.
Tawa gadis kecil itu mengingatkanku pada Nanda. Aku semakin rindu padanya. Dengan bergegas aku berlalu pulang…
Setiba di rumah, ku lihat suasana rumah yang lenggang. Di sudut rumah, ku lihat Nanda meringkuk ketakutan. Tak ada lagi tawa yang menyambutku. Juga tak ada peluk mesra nanda untukku. Suasana rumah yang berantakan membuatku bertanya – tanya. “Kak……” Ku ikuti arah telunjuk Nanda. Dia menunjuk seseorang yang sedang meringkuk lemah. Ku lihat darah mengalir di kepalanya. Ibu!!!!!
Sayang…aku terlambat. Ibu sudah meninggal. Ku rasakan tangan kecil nanda memelukku, dan kita menangis bersama. Malam ini aku di bantu oleh beberapa tetangga memakamkan ibuku di pemakaman umum dekat rumah.
Aku begitu terpukul. Hari ini aku kehilangan orang yang ku sayang. Seseorang yang menjadi orangtua dan teman berbagi dalam suka dukaku. Ibu yang kini telah bersama ayah, dan Wanda, adiku yang kini menjadi buronan. Karena dialah ibu meninggal. Sedangkan Nanda, bertambah hari dia semakin kurus, tidak mau pergi sekolah, dan sehari – hari hanya menangis sedih. Aku tahu dia trauma, tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan? Aku begitu terpukul, aku kehilangan ibu dan adiku juga sekolahku. Karena aku tak mungkin meninggalkan Nanda sendiri.
“Kak Manda…..kira – kira ibu sudah bertemu ayah belum?” Tanya Nanda suatu hari
Aku tersenyum melihatnya. “Memangnya kenapa Nanda?”
“Pasti ibu senang ya kak, bisa bersama dengan ayah lagi. Mereka melihat kita kan kak?”
“Iya sayang…..walaupun mereka sudah ada di langit sana, tapi mereka tetap ada di hati kita kok, makanya Nanda gak boleh sedih lagi. Nanda sayang kan sama mereka? Sama kakak juga?”
“Iya, Nanda sayang sama ayah, ibu, kak manda, tapi nanda benci sama kak Wanda. Kak Wanda pembunuh ibu.”
“Nanda gak boleh benci sama kak Wanda, dia kan kakaknya Nanda juga.”
“Tapi Nanda takut kak, kak Wanda akan membunuh kita juga.”
“Nanda yang sabar ya…doakan semoga kak Wanda bisa berubah…”
“Iya kak…..”
“Ya sudah….sekarang Nanda bobok dulu ya…mimpi indah ya sayang…”
“Makasih kak, aku sayang sama kak Manda.”
Siang ini begitu terik, membuat peluhku membasahi jilbabku. Ku lihat di seberang jalan, penjual es keliling diserbu oleh pembeli. Kelihatannya penjualnya kewalahan melayani semua pembeli, namun mau bagaimana lagi, hari ini menjadi rejeki buatnya. Suasana jalanan juga ramai. Semua kendaraan seakan – akan berlomba untuk segera sampai, untuk segera tiba di rumah, segera melepas penat bersama keluarga. Aku iri pada mereka. Andai saja ayah dan ibuku masih hidup, mungkin keluargaku tak akan terpecah belah seperti ini.
“COPET!!!! COPET!!!”
Suara riuhnya jalan seakan menenggelamkan suara ibu muda itu. Suasana jalan yang ramai sepertinya membatasi gerak sang pencopet. Tanpa sengaja pencopet itu menabrakku. Pencopet itu terjatuh sambil menengadahkan wajahnya. “Ya Allah!!!!!” wajah itu, aku kenal sekali. “Wanda!!!!” teriakku. Kami pun saling menatap. Ku ulurkan tangan membantunya berdiri, namun dia mengindahkan bantuanku. Dengan segera dia bangun dan berlari. Akhirnya kita saling berkejaran.
Ku coba mengejarnya, namun terhalang kendaraan yang berlalu lalang.
“BRAK!!!!”
Jalanan semakin riuh ketika ada seseorang tertabrak mobil. Aku mencoba menyibak kerumunan mencari tahu siapa yang tertabrak. Kudengar seseorang berkata” kasihan ya, masih kecil sudah jadi copet. Sekarang dia harus membayarnya”
Aku terkesiap mendengarnya. Jangan – jangan…..Wajah itu, wajah yang begitu lekat di hatiku. Wajah yang selama ini menjadi teman sehari – hariku. Wanda…..
Sepertinya langit ikut berduka. Rintik – rintik hujan turun dalam terik matahari, menghanyutkan darah adiku, membawa semua kepedihan dan kenangan hidupnya. Akhrnya lengkaplah sudah kesedihanku, belum genap satu bulan meninggalnya ibu, kini adiku menyusulnya.
Bersama hujan ku bawa tubuh Wanda pergi. Aku tak tahu lagi bagaimana Nanda jika tahu hal ini. Dalam sedih ini aku mencoba memakamkan jenazah Wanda, karena aku tahu, tetanggaku tak kan ada yang mau membantuku. Mereka masih menaruh kebencian pada Wanda karena dia seorang pembunuh, pembunuh ibuku, ibu kandungnya sendiri.
Kehidupan ini begitu kejam. Karena hidup, aku telah kehilangan satu persatu orang yang aku sayangi. Mungkin, jika hidupku masih senyaman dulu dan takdir mau berbaik hati padaku, aku masih bisa melihat senyum dan tawa mereka. Masih bisa merasakan belaian kasih sayang mereka. Namun, aku tak mau berlarut dalam kesedihan, kutatap kedua bola mata Nanda yang penuh air mata. Aku masih punya Nanda dan dia membutuhkanku. Aku harus membesarkannya dan membuatnya tetap memiliki seseorang yang dia sayangi. Selamat tinggal Wanda…..salam sayang dari kami, semoga kau bahagia di sana
Angin berhembus pelan saat itu, mengibarkan ujung jilbabku. Kulangkahkan kaki seiring langkah kecil Nanda di sebelahku. Selamat tinggal kesedihan………
16 Juni 2010
RANA
Selasa, 15 Juni 2010
Jumat, 04 Juni 2010
Siang dalam Sendu
Senja mengantarku ke dalam pelukan dinginnya malam. Membuat rasa malas menguasai tubuhku. Dengan rasa miris ku tatap suasana rumah, sungguh mengharukan. Di sudut dapur piring kotor bertumpuk, di luar kamar mandi setumpuk cucian kotor menggunung, belum lagi lantai rumah yang debunya menyerupai karpet tebal. Sungguh, membuatku tak nyaman.
Di luar rumah, hujan masih mengganas, deru petir membuat bulu kuduku berdiri, dan kilat yang menyambar melebihi terangnya lampu neon rumahku. Dalam derasnya hujan malam ini suasana sepi. Ayah sudah terlelap karena ia baru minum obat sedangkan ibu entah kemana. Tak biasanya ibu membiarkan rumah berantakan seperti ini. Dalam kelelahanku, ku coba sisingkan lengan baju. Ku tak mau ketika ibu datang, suasana rumah masih seperti ini. Dalam hati aku bertanya – tanya, kemanakah ibu? Mungkinkah ia mengalami musibah hingga ia sampai pulang selarut ini?
“TOK…TOK…TOK…”
Suara ketukan pintu seakan menjadi jawaban atas Tanya dalam hatiku.
“Bu Lastri? “
“Iya, ini ibu. Tadi ada salam dari ibumu. Malam ini dia menginap di rumah bu Dara, jadi dia minta maaf tidak bias pulang. Dia titip ayahmu.”
“Iya bu, terimakasih…”
“Iya, sama – sama”
Kehidupan rumah tangga yang selalu berada dalam kemiskinan membuat ibu dan ayah bekerja keras. Sedangkan pendidikan mereka hanya sebatas sekolah dasar. Dengan berbekal ijazah SD, ayah dan ibu mencoba keberuntungan mencari kerja. Alhasil, mereka hanya mendapat kerja sebagai buruh. Ayah sebagai buruh bangunan sedangkan ibu menjadi buruh rumah tangga. Alhamdulillah, dalam keadaan sesulit ini, aku masih bias mengenyam bangku perkuliahan dengan berbekal otak yang ku miliki.
Aku teringat malam itu, ketika ayah pulang diantar oleh teman bekerjanya. Katanya ayah terjatuh di sekitar proyek. Sesaat aku dan ibu bersyukur karena ayah tidak apa – apa. Namun, seminggu berlalu, ayah mengalami lumpuh. Lumpuh total. Ketika aku dan ibu membawanya ke puskesmas, kata dokter yang menanganinya, ayahku terkena stroke. Dan untuk kesembuhan selanjutnya, ayah perlu dibawa ke rumah sakit untuk perawatan.
Semenjak itu, tulang punggung keluarga berkurang. Aku tidak dapat hanya mengandalkan hasil kerja ibuku saja, oleh sebab itu aku memutuskan untuk bekerja part time. Untuk pengobatan ayahku, ku coba menyicil obatnya, karena aku sadar sepenuhnya aku tak mampu membayar biaya rumah sakit.
“Kamu yakin mau bekerja, nduk?”
“Iya ibu, memangnya kenapa?”
“Ibu tidak ingin kuliahmu terganggu, ndok. Bukannya kamu ingin jadi sarjana dengan nilai yang baik?”
“Dian yakin, Dian bisa bagi waktu, bu. Ridhoi Dian ya?” Aku menghela nafas menanti jawaban, “ini demi ayah bu, ibu juga ingin ayah sembuh kan?”
“Ya sudah, ibu kasih ijin. Tapi kamu harus janji, kamu harus lebih fokus pada kuliahmu, ibu tidak ingin kuliahmu hanya setengah jalan. Janji?”
“Janji” Aku tersenyum dalam pelukan ibu. Terima kasih ibu, bisikku dalam hati.
Malam ini sepertinya langit tak mau bersahabat. Dalam lelahku, aku mulai membersihkan rumah. Dari mencuci piring kotor yang ada, menyapu lantai dan mencuci pakaian kotor. Peluh yang mengucur di badanku, membuat pakaianku terasa menempel erat di kulitku. Jilbab yang baru saja aku ganti, terasa lembab di kepalaku. Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Rasanya aku begitu rindu pada tempat tidurku. Namun, tugas yang menumpuk membuatku begadang hari ini.
Tak terasa mentari mulai terbit, membawaku dalam hari berikunya. “Selamat pagi ayah……” Kubuka pintu kamar ayahku. Tubuh lemah itu masih tetap tak bergeming. Ku coba mendekatinya. “Ayah…” panggilku pelan. Tetap tak ada reaksi. Melihatnya aku semakin takut. Ya Allah, jangan kau ambil ayahku, aku mohon…..”Ayah….” Panggilku keras seraya ku sentuh badannya. Dingin……Aku mulai ketakutan. Ku coba bangunkan ayah, tetap tak ada hasil. “Inalillahi wa inna ilaihi rojiun….” Desahku pelan. Aku menangis sedih. Kini yang ada hanya ibuku.
Aku segera berlari menuju rumah ibu Dara. Aku tak perduli becek menodai bajuku, aku terus berlari. Hanya satu hal yang ku ingat, pergi menemui ibu dan membawanya pulang. Sesampainya di sana, rumah ibu Dara sepi. Ku coba ketuk pintu rumahnya, namun tetap tak ada hasil.
“Assalamu’alaikum, bu Dara….Ibu…..”
“Wa’alaikum salam” Pintu rumah terbuka. Ternyata bi Imah.
“Bi, Dian mau bertemu dengan ibu Dara, beliau ada? Apakah Ibu juga ada?”
“Maaf non, nyonya dan ibu non sedang di rumah sakit. Rumah sakit tempat Ndoro cuci darah.”
“Cuci darah bi? Memangnya Ndoro sakit lagi?”
“O….Tidak non Dian, dua hari yang lalu ndoro melakukan operasi transplantasi ginjalnya. Kalau non Dian mau bertemu ibu, non Dian ke sana saja. Non Dian tahu kan dimana rumah sakitnya?”
“iya bi, Dian tahu, terimakasih ya, dian permisi dulu, Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam….”
Aku terus berlari menuju rumah sakit. Kususuri koridor yang ada dan Alhamdulillah aku menemukanya. Pelan – pelan aku membuka pintu kamar inap. Dari pintu ku lihat bu Dara duduk di kursi dekat ranjang dan di sebelahnya duduk di kursi roda adalah pak Rahman. Lalu, siapa yang sakit?
“Assalamu’alaikum…..”
“Wa’alaikumsalam…..Dian?” Sepertinya bu Dara terkejut melihatku. Ku beranikan diri mendekati ranjang. “Ibu!!!!!!” Ternyata yang sakit ibu. Tapi, bagaimana mungkin?
“Bu Dara?” Aku menoleh kearahnya menuntut jawab atas semua ini.
“Jangan salahkan bu Dara, ndok…..Ibu yang minta.”
“Jangan bilang kalau ibu mendonorkan ginjal ibu untuk pak Rahman.” Tanyaku mulai emosi.
“Ini semua demi pengobatan ayah, Dian. Kamu juga ingin ayah sembuh kan?” Aku tak mampu menjawab. Hanya air mata yang membanjiri wajahku.
“Dian? Mengapa kamu menangis?” Tanya Bu Dara.
“Ibu tanya mengapa? Kenapa ibu membiarkan ibuku mendonorkan ginjalnya? Padahal Ibu tahu sendiri bagaimana keadaan Ibuku? Beliau sudah tua, kenapa? Aku benar – benar kecewa pada ibu”
“Dian…….Ibu minta maaf”
TIT…TIT…TIT…..Sepertinya ibu mengalami masa – masa kritis. Ku dengar Bu Dara berkonsultasi dengan dokter. Katanya usia Ibuku sudah tidak lama lagi. Dalam hati aku mengumpat, jika terjadi apa – apa pada ibuku aku tidak akan memaafkan bu Dara, walaupun aku tahu niat ibu untuk menjual ginjalnya untuk pak Rahman demi ayahku. Tapi sekarang ayah sudah tiada, jadi buat apa?
Aku melihat dokter yang menangani ibuku keluar masuk kamar inap ibuku. Aku hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa – apa padanya. Tak terasa hampir satu jam aku di sini. Dan akhirnya, dokter keluar.
“Bagaimana dok?” Tanya bu Dara
“Maaf bu, sepertinya Allah berkehendak lain. Saya sudah berusaha sebisa mungkin, tapi sekali lagi maaf.
Aku menghambur masuk, kulihat tubuh ibuku di balik selimut putih, sungguh……..Aku menangis sejadi – jadinya Hari ini, Alloh mengambil kedua orangtuaku, orang yang menjadi tumpuan hidupku, tempatku mengadu di saat aku susah, dan tempatku berbagi di saat aku suka. Sungguh…..Engkau telah menguji kesabaranku.
Siang ini, angin bertiup lembut, menerbangkan kamboja di antara makam kedua orangtuaku. Perlahan isak tangisku mulai mereda. Aku sadar, hidup, ajal, rejeki dan jodoh ada di tangan Allah. Selamat tinggal ayah, selamat tinggal ibu, semoga kalian bahagia di sana, aku saying kalian berdua.
Kulangkahkan kaki keluar, meninggalkan makam dan semua kenanganku dan kedua orangtuaku. Angin berhembus menerbangkan kesedihanku. Aku harus sabar dan tegar. Aku harus memandang kea rah depan demi masa depanku.
Tak sengaja langkah kakiku berhenti di depan rumah bu Dara. Ku lihat pak Rahman sedang bercanda dengan cucunya. Aku ingin menangis. Gara – gara ibu mendonorkan ginjalnya untuk pak Rahman, aku sekarang kehilangan dua orang yang ku sayangi. Namun, aku tak punya hak untuk mengambil ginjal itu kembali, karena buat apa? Toh ibu sudah tak mungkin lagi hidup kembali. Semoga Allah memberi kesehatan dan kebahagiaan untuk mereka………….
02 Juni 2010
Rana
Di luar rumah, hujan masih mengganas, deru petir membuat bulu kuduku berdiri, dan kilat yang menyambar melebihi terangnya lampu neon rumahku. Dalam derasnya hujan malam ini suasana sepi. Ayah sudah terlelap karena ia baru minum obat sedangkan ibu entah kemana. Tak biasanya ibu membiarkan rumah berantakan seperti ini. Dalam kelelahanku, ku coba sisingkan lengan baju. Ku tak mau ketika ibu datang, suasana rumah masih seperti ini. Dalam hati aku bertanya – tanya, kemanakah ibu? Mungkinkah ia mengalami musibah hingga ia sampai pulang selarut ini?
“TOK…TOK…TOK…”
Suara ketukan pintu seakan menjadi jawaban atas Tanya dalam hatiku.
“Bu Lastri? “
“Iya, ini ibu. Tadi ada salam dari ibumu. Malam ini dia menginap di rumah bu Dara, jadi dia minta maaf tidak bias pulang. Dia titip ayahmu.”
“Iya bu, terimakasih…”
“Iya, sama – sama”
Kehidupan rumah tangga yang selalu berada dalam kemiskinan membuat ibu dan ayah bekerja keras. Sedangkan pendidikan mereka hanya sebatas sekolah dasar. Dengan berbekal ijazah SD, ayah dan ibu mencoba keberuntungan mencari kerja. Alhasil, mereka hanya mendapat kerja sebagai buruh. Ayah sebagai buruh bangunan sedangkan ibu menjadi buruh rumah tangga. Alhamdulillah, dalam keadaan sesulit ini, aku masih bias mengenyam bangku perkuliahan dengan berbekal otak yang ku miliki.
Aku teringat malam itu, ketika ayah pulang diantar oleh teman bekerjanya. Katanya ayah terjatuh di sekitar proyek. Sesaat aku dan ibu bersyukur karena ayah tidak apa – apa. Namun, seminggu berlalu, ayah mengalami lumpuh. Lumpuh total. Ketika aku dan ibu membawanya ke puskesmas, kata dokter yang menanganinya, ayahku terkena stroke. Dan untuk kesembuhan selanjutnya, ayah perlu dibawa ke rumah sakit untuk perawatan.
Semenjak itu, tulang punggung keluarga berkurang. Aku tidak dapat hanya mengandalkan hasil kerja ibuku saja, oleh sebab itu aku memutuskan untuk bekerja part time. Untuk pengobatan ayahku, ku coba menyicil obatnya, karena aku sadar sepenuhnya aku tak mampu membayar biaya rumah sakit.
“Kamu yakin mau bekerja, nduk?”
“Iya ibu, memangnya kenapa?”
“Ibu tidak ingin kuliahmu terganggu, ndok. Bukannya kamu ingin jadi sarjana dengan nilai yang baik?”
“Dian yakin, Dian bisa bagi waktu, bu. Ridhoi Dian ya?” Aku menghela nafas menanti jawaban, “ini demi ayah bu, ibu juga ingin ayah sembuh kan?”
“Ya sudah, ibu kasih ijin. Tapi kamu harus janji, kamu harus lebih fokus pada kuliahmu, ibu tidak ingin kuliahmu hanya setengah jalan. Janji?”
“Janji” Aku tersenyum dalam pelukan ibu. Terima kasih ibu, bisikku dalam hati.
Malam ini sepertinya langit tak mau bersahabat. Dalam lelahku, aku mulai membersihkan rumah. Dari mencuci piring kotor yang ada, menyapu lantai dan mencuci pakaian kotor. Peluh yang mengucur di badanku, membuat pakaianku terasa menempel erat di kulitku. Jilbab yang baru saja aku ganti, terasa lembab di kepalaku. Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Rasanya aku begitu rindu pada tempat tidurku. Namun, tugas yang menumpuk membuatku begadang hari ini.
Tak terasa mentari mulai terbit, membawaku dalam hari berikunya. “Selamat pagi ayah……” Kubuka pintu kamar ayahku. Tubuh lemah itu masih tetap tak bergeming. Ku coba mendekatinya. “Ayah…” panggilku pelan. Tetap tak ada reaksi. Melihatnya aku semakin takut. Ya Allah, jangan kau ambil ayahku, aku mohon…..”Ayah….” Panggilku keras seraya ku sentuh badannya. Dingin……Aku mulai ketakutan. Ku coba bangunkan ayah, tetap tak ada hasil. “Inalillahi wa inna ilaihi rojiun….” Desahku pelan. Aku menangis sedih. Kini yang ada hanya ibuku.
Aku segera berlari menuju rumah ibu Dara. Aku tak perduli becek menodai bajuku, aku terus berlari. Hanya satu hal yang ku ingat, pergi menemui ibu dan membawanya pulang. Sesampainya di sana, rumah ibu Dara sepi. Ku coba ketuk pintu rumahnya, namun tetap tak ada hasil.
“Assalamu’alaikum, bu Dara….Ibu…..”
“Wa’alaikum salam” Pintu rumah terbuka. Ternyata bi Imah.
“Bi, Dian mau bertemu dengan ibu Dara, beliau ada? Apakah Ibu juga ada?”
“Maaf non, nyonya dan ibu non sedang di rumah sakit. Rumah sakit tempat Ndoro cuci darah.”
“Cuci darah bi? Memangnya Ndoro sakit lagi?”
“O….Tidak non Dian, dua hari yang lalu ndoro melakukan operasi transplantasi ginjalnya. Kalau non Dian mau bertemu ibu, non Dian ke sana saja. Non Dian tahu kan dimana rumah sakitnya?”
“iya bi, Dian tahu, terimakasih ya, dian permisi dulu, Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam….”
Aku terus berlari menuju rumah sakit. Kususuri koridor yang ada dan Alhamdulillah aku menemukanya. Pelan – pelan aku membuka pintu kamar inap. Dari pintu ku lihat bu Dara duduk di kursi dekat ranjang dan di sebelahnya duduk di kursi roda adalah pak Rahman. Lalu, siapa yang sakit?
“Assalamu’alaikum…..”
“Wa’alaikumsalam…..Dian?” Sepertinya bu Dara terkejut melihatku. Ku beranikan diri mendekati ranjang. “Ibu!!!!!!” Ternyata yang sakit ibu. Tapi, bagaimana mungkin?
“Bu Dara?” Aku menoleh kearahnya menuntut jawab atas semua ini.
“Jangan salahkan bu Dara, ndok…..Ibu yang minta.”
“Jangan bilang kalau ibu mendonorkan ginjal ibu untuk pak Rahman.” Tanyaku mulai emosi.
“Ini semua demi pengobatan ayah, Dian. Kamu juga ingin ayah sembuh kan?” Aku tak mampu menjawab. Hanya air mata yang membanjiri wajahku.
“Dian? Mengapa kamu menangis?” Tanya Bu Dara.
“Ibu tanya mengapa? Kenapa ibu membiarkan ibuku mendonorkan ginjalnya? Padahal Ibu tahu sendiri bagaimana keadaan Ibuku? Beliau sudah tua, kenapa? Aku benar – benar kecewa pada ibu”
“Dian…….Ibu minta maaf”
TIT…TIT…TIT…..Sepertinya ibu mengalami masa – masa kritis. Ku dengar Bu Dara berkonsultasi dengan dokter. Katanya usia Ibuku sudah tidak lama lagi. Dalam hati aku mengumpat, jika terjadi apa – apa pada ibuku aku tidak akan memaafkan bu Dara, walaupun aku tahu niat ibu untuk menjual ginjalnya untuk pak Rahman demi ayahku. Tapi sekarang ayah sudah tiada, jadi buat apa?
Aku melihat dokter yang menangani ibuku keluar masuk kamar inap ibuku. Aku hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa – apa padanya. Tak terasa hampir satu jam aku di sini. Dan akhirnya, dokter keluar.
“Bagaimana dok?” Tanya bu Dara
“Maaf bu, sepertinya Allah berkehendak lain. Saya sudah berusaha sebisa mungkin, tapi sekali lagi maaf.
Aku menghambur masuk, kulihat tubuh ibuku di balik selimut putih, sungguh……..Aku menangis sejadi – jadinya Hari ini, Alloh mengambil kedua orangtuaku, orang yang menjadi tumpuan hidupku, tempatku mengadu di saat aku susah, dan tempatku berbagi di saat aku suka. Sungguh…..Engkau telah menguji kesabaranku.
Siang ini, angin bertiup lembut, menerbangkan kamboja di antara makam kedua orangtuaku. Perlahan isak tangisku mulai mereda. Aku sadar, hidup, ajal, rejeki dan jodoh ada di tangan Allah. Selamat tinggal ayah, selamat tinggal ibu, semoga kalian bahagia di sana, aku saying kalian berdua.
Kulangkahkan kaki keluar, meninggalkan makam dan semua kenanganku dan kedua orangtuaku. Angin berhembus menerbangkan kesedihanku. Aku harus sabar dan tegar. Aku harus memandang kea rah depan demi masa depanku.
Tak sengaja langkah kakiku berhenti di depan rumah bu Dara. Ku lihat pak Rahman sedang bercanda dengan cucunya. Aku ingin menangis. Gara – gara ibu mendonorkan ginjalnya untuk pak Rahman, aku sekarang kehilangan dua orang yang ku sayangi. Namun, aku tak punya hak untuk mengambil ginjal itu kembali, karena buat apa? Toh ibu sudah tak mungkin lagi hidup kembali. Semoga Allah memberi kesehatan dan kebahagiaan untuk mereka………….
02 Juni 2010
Rana
Label:
cerpen
Senin, 24 Mei 2010
Ketika Cahaya Itu Telah Pergi 2
Kecelakaan itu masih membekas di mata dan fikirku. Aku memang tidak mengenal siapa cahaya tapi entah mengapa rasanya sosok itu begitu lekat di hatiku. Aku penasaran, siapa sebenarnya cahaya itu? "BRAKK!!!! PRANG!!!!!" Aku menghela nafas. Lagi - lagi mereka bertengkar. "Sebenarnya apa maumu?" "Cerai..." "Oke!!Kalau itu maumu, biar Eka ikut denganku" "Tidak!!1Aku ibunya. Aku yang berhak atas dia." "Aku juga Bapaknya! Aku juga berhak atas dia, goblok!!!" "PLAKK!!!!"
Suara tamparan yang kudengar disusul dengan pecahan piring merupakan rutinitas harianku. Aku terisak perih, ku gigit lidahku sekeras mungkin agar tangisanku tak terdengar oleh mereka. Setelah teriakan - teriakan yang membuat telingaku letih, kini sunyi, hanya terdengar isak tangis mamaku. Saat itulah aku berani keluar kamar.
Suasana dapur kini berantakan. Pecahan piring bertebaran dimana - mana. Di sudut dapur, ku lihat mama terpekur sendiri.
"Ma....." Panggilku pelan.
Kedua mata sembab itu menoleh. Tak kuasa ku melihatnya, Ku berhambur ke pelukan mamaku.
"Ma...." Panggilku serak.
"Mama gak papa kok eka, mama cuma syok pada papamu."
"Eka gak mau kalian bercerai, Eka sayang kalian berdua"
"Eka sayang....Mama sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan papamu. Papamu sudah keterlaluan. Sudah berapa kali papamu menyakiti mama. Apa mama harus bersabar lagi?"
"Ma...."
"Sudahlah sayang...keputusan mama sudah bulat. Mama akan bercerai, kamu akan ikut mama kan?"
"Entahlah ma....."
Suara tamparan yang kudengar disusul dengan pecahan piring merupakan rutinitas harianku. Aku terisak perih, ku gigit lidahku sekeras mungkin agar tangisanku tak terdengar oleh mereka. Setelah teriakan - teriakan yang membuat telingaku letih, kini sunyi, hanya terdengar isak tangis mamaku. Saat itulah aku berani keluar kamar.
Suasana dapur kini berantakan. Pecahan piring bertebaran dimana - mana. Di sudut dapur, ku lihat mama terpekur sendiri.
"Ma....." Panggilku pelan.
Kedua mata sembab itu menoleh. Tak kuasa ku melihatnya, Ku berhambur ke pelukan mamaku.
"Ma...." Panggilku serak.
"Mama gak papa kok eka, mama cuma syok pada papamu."
"Eka gak mau kalian bercerai, Eka sayang kalian berdua"
"Eka sayang....Mama sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan papamu. Papamu sudah keterlaluan. Sudah berapa kali papamu menyakiti mama. Apa mama harus bersabar lagi?"
"Ma...."
"Sudahlah sayang...keputusan mama sudah bulat. Mama akan bercerai, kamu akan ikut mama kan?"
"Entahlah ma....."
-----
Hari ini langit begitu cerah, namun tak secerah hatiku. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan ibu kota tanpa semangat yang pasti. Hari ini aku terpaksa bolos kuliah, karena suasana hatiku yang tak bersahabat. Pertengkaran di rumah membuatku letih. Aku merasa Tuhan tidak adil padaku. Kulihat orang - orang yang hilir mudik di jalanan dengan seksama dan penuh tanda tanya, mungkinkah mereka juga punya masalah di rumah sepertiku?
"TIN.........TIN......"
Sebuah sedan merah menyadarkanku. Aku terlalu melamun hingga aku tak sadar aku meyeberang terlalu jauh. Sebuah umpatan menghampiriku. Kulihat seorang bapak dan seorang wanita muda yang cantik duduk di kursi belakang mobil itu. Sekejap bapak itu menoleh ke arahku, sepertinya wajahnya tak asing bagiku. Namun, hanya sekilas, wajah itu berpaling dan mobilpun melangkah. Aku sadar, dia papaku. Tapi, siapakah yang duduk di sebelahnya? Aku yakin, dia bukan mamaku. Jangan - jangan papaku berselingkuh???? Kalau benar, berarti papa mamaku jadi bercerai????
"Kalau mau menyeberang, jangan sambil melamun ya.....Jalanan sedang macet. Kamu gak sayang dengan nyawamu?"
Seorang ibu tua berkata padaku. Raut wajahnya yang renta penuh gurat - gurat letih akibat susahnya hidup tersenyum ramah kepadaku.
"Sepertinya kamu banyak masalah? Sini duduk dengan ibu."
"Maaf....tapi ibu siapa?"
"Kamu memang tidak mengenalku, tapi aku tahu siapa kamu. Aku pernah melihatmu bersama anaku."
Ibu tua itu menerawang jauh menatap jalan, ntah sedang memikirkan apa.
"Aku????"
"Iya" Jawabnya tersenyum.
"Aku kini hidup sendiri dengan usiaku yang semakin renta, dalam keadaanku yang semakin lemah. Aku harus mengais rejeki walaupun hanya untuk sesuap nasi. Dulu, ada anaku yang senantiasa menemaniku, tapi sekarang ia tak ada. Meninggalkanku sendiri bertarung hidup." Tak terasa air mata mulai menaungi wajahnya.
Aku terhenyak. "Siapakah dia ibu?"
Dengan sedih dia menjawab, "kamu pasti kenal cahaya kan nak?"
"DEGGG!!!!....."," Cahaya?" Ibu tua itu mengangguk
"Ibu, aku ikut berduka cita....."
Sepertinya, ibu itu sangat kehilangan cahaya, sama dengan apa yang kurasakan, walaupun aku hanya sebentar bercakap dengannya. Sungguh.....cahaya begitu mulia. Mungkinkah aku bisa sepertinya?
Terik siang ini membuatku perih, cahaya, entah mengapa ku rasakan tanpa cahaya dalam hidupku, tanpa cahaya dalam rumahku, kini.....tanpa cahaya di sini......
*bersambung*
Hari ini langit begitu cerah, namun tak secerah hatiku. Kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan ibu kota tanpa semangat yang pasti. Hari ini aku terpaksa bolos kuliah, karena suasana hatiku yang tak bersahabat. Pertengkaran di rumah membuatku letih. Aku merasa Tuhan tidak adil padaku. Kulihat orang - orang yang hilir mudik di jalanan dengan seksama dan penuh tanda tanya, mungkinkah mereka juga punya masalah di rumah sepertiku?
"TIN.........TIN......"
Sebuah sedan merah menyadarkanku. Aku terlalu melamun hingga aku tak sadar aku meyeberang terlalu jauh. Sebuah umpatan menghampiriku. Kulihat seorang bapak dan seorang wanita muda yang cantik duduk di kursi belakang mobil itu. Sekejap bapak itu menoleh ke arahku, sepertinya wajahnya tak asing bagiku. Namun, hanya sekilas, wajah itu berpaling dan mobilpun melangkah. Aku sadar, dia papaku. Tapi, siapakah yang duduk di sebelahnya? Aku yakin, dia bukan mamaku. Jangan - jangan papaku berselingkuh???? Kalau benar, berarti papa mamaku jadi bercerai????
"Kalau mau menyeberang, jangan sambil melamun ya.....Jalanan sedang macet. Kamu gak sayang dengan nyawamu?"
Seorang ibu tua berkata padaku. Raut wajahnya yang renta penuh gurat - gurat letih akibat susahnya hidup tersenyum ramah kepadaku.
"Sepertinya kamu banyak masalah? Sini duduk dengan ibu."
"Maaf....tapi ibu siapa?"
"Kamu memang tidak mengenalku, tapi aku tahu siapa kamu. Aku pernah melihatmu bersama anaku."
Ibu tua itu menerawang jauh menatap jalan, ntah sedang memikirkan apa.
"Aku????"
"Iya" Jawabnya tersenyum.
"Aku kini hidup sendiri dengan usiaku yang semakin renta, dalam keadaanku yang semakin lemah. Aku harus mengais rejeki walaupun hanya untuk sesuap nasi. Dulu, ada anaku yang senantiasa menemaniku, tapi sekarang ia tak ada. Meninggalkanku sendiri bertarung hidup." Tak terasa air mata mulai menaungi wajahnya.
Aku terhenyak. "Siapakah dia ibu?"
Dengan sedih dia menjawab, "kamu pasti kenal cahaya kan nak?"
"DEGGG!!!!....."," Cahaya?" Ibu tua itu mengangguk
"Ibu, aku ikut berduka cita....."
Sepertinya, ibu itu sangat kehilangan cahaya, sama dengan apa yang kurasakan, walaupun aku hanya sebentar bercakap dengannya. Sungguh.....cahaya begitu mulia. Mungkinkah aku bisa sepertinya?
Terik siang ini membuatku perih, cahaya, entah mengapa ku rasakan tanpa cahaya dalam hidupku, tanpa cahaya dalam rumahku, kini.....tanpa cahaya di sini......
*bersambung*
Label:
cerbung
Kamis, 20 Mei 2010
Ketika Cahaya Itu Telah Pergi 1
Langit tak bersahabat sore ini, awan mendung yang menghiasinya seakan tak mau beranjak walaupun hanya sekejap. Pulang kuliah, ku coba untuk berlindung di antara tetokoan dengan harapan hujan mau berbaik hati padaku. Namun, harap tinggallah harapan, hujan semakin marah disertai kilat dan guntur yang berlarian tanpa ada yang mau mengalah.
Satu persatu tempat ku berteduh dipenuhi oleh orang - orang yang senasib denganku. Mereka pada umumnya terjebak hujan karena tidak ada persiapan apapun. Di antara kilat yang bertautan, ku lihat seorang gadis kecil dengan sebuah payung di tangannya. Wajahnya yang mungil, dengan badan hanya terbalut selembar baju kumal, bergetar menahan dingin. Aku terdiam dan menatapnya dengan penuh tanda tanya.
Ku lihat payung di tangannya, namun, mengapa ia masih berbasah - basahan dalam hujan? Tanyaku terjawab ketika gadis kecil itu menghampiriku dan berkata, " sewa payung mbak?", Astaghfirullah.....ternyata gadis kecil itu seorang penjaja payung. Dengan lembut aq menjawabnya, " kalau ke halte bus seberang, kira - kira berapa ya?" Dengan senyum cerah gadis kecil itu menjawab "cukup dua ribu saja koq, murah kan? mbak mau sewa payungku?", hanya sebuah anggukan dariku, ternyata cukup berarti baginya.
Kulihat jari - jemari kecilnya bergetar, entah mengapa? Mungkinkah ia kedingan, atau ada suatu hal lainnya? Ku beranikan diri bertanya "kalau boleh tahu, adik namanya siapa ya? sudah lama bekerja seperti ini?"
"Aku cahaya kak, baru beberapa hari ini kok, ni semua demi ibuku yang sakit. Aku terpaksa bekerja karena aku hanya punya ibuku".
"DEEGGG" Aku terperanjat mendengarnya...Sungguh mulia gadis kecil itu. Mendengar itu, aku teringat akan ayah - ibuku di rumah. Aku merasa kecil di hadapanya.
Dengan bergetar, ku rogoh kantongku dan ku ambil uang dua ribuan dan ku serahkan ke gadis kecil itu. Dengan wajah ceria, ia mengucapkan terima kasih dan berlari meninggalkanku.
Aku menghela nafas menatapnya, Seorang gadis kecil yang menjadi cahaya bagi ibunya.
Guntur dan kilat semakin meraja. Dalam kesuraman itu, tiba - tiba "BRAKKKK!!!!!" Suara jeritan dan guntur saling besahutan. Kulihat kerumunan di depan sana. Dengan penuh tanda tanya, aku beranjak. Ternyata, telah terjadi tabrak lari dan membuat korbannya luka parah, darah bercampur dengan air hujan, membuatku ngeri. Ku beranikan diri untuk melihat siapa korbanya, dan.........................sungguh....aku tak kuasa menahannya. Hari ini, langit kehilangan cahaya yang menjadi kehidupan oarang yang dikasihinya, dan cahaya itu, kini dan untuk selamanya tak kan mungkin bercahaya lagi....
Selamat tinggal cahaya........
Satu persatu tempat ku berteduh dipenuhi oleh orang - orang yang senasib denganku. Mereka pada umumnya terjebak hujan karena tidak ada persiapan apapun. Di antara kilat yang bertautan, ku lihat seorang gadis kecil dengan sebuah payung di tangannya. Wajahnya yang mungil, dengan badan hanya terbalut selembar baju kumal, bergetar menahan dingin. Aku terdiam dan menatapnya dengan penuh tanda tanya.
Ku lihat payung di tangannya, namun, mengapa ia masih berbasah - basahan dalam hujan? Tanyaku terjawab ketika gadis kecil itu menghampiriku dan berkata, " sewa payung mbak?", Astaghfirullah.....ternyata gadis kecil itu seorang penjaja payung. Dengan lembut aq menjawabnya, " kalau ke halte bus seberang, kira - kira berapa ya?" Dengan senyum cerah gadis kecil itu menjawab "cukup dua ribu saja koq, murah kan? mbak mau sewa payungku?", hanya sebuah anggukan dariku, ternyata cukup berarti baginya.
Kulihat jari - jemari kecilnya bergetar, entah mengapa? Mungkinkah ia kedingan, atau ada suatu hal lainnya? Ku beranikan diri bertanya "kalau boleh tahu, adik namanya siapa ya? sudah lama bekerja seperti ini?"
"Aku cahaya kak, baru beberapa hari ini kok, ni semua demi ibuku yang sakit. Aku terpaksa bekerja karena aku hanya punya ibuku".
"DEEGGG" Aku terperanjat mendengarnya...Sungguh mulia gadis kecil itu. Mendengar itu, aku teringat akan ayah - ibuku di rumah. Aku merasa kecil di hadapanya.
Dengan bergetar, ku rogoh kantongku dan ku ambil uang dua ribuan dan ku serahkan ke gadis kecil itu. Dengan wajah ceria, ia mengucapkan terima kasih dan berlari meninggalkanku.
Aku menghela nafas menatapnya, Seorang gadis kecil yang menjadi cahaya bagi ibunya.
Guntur dan kilat semakin meraja. Dalam kesuraman itu, tiba - tiba "BRAKKKK!!!!!" Suara jeritan dan guntur saling besahutan. Kulihat kerumunan di depan sana. Dengan penuh tanda tanya, aku beranjak. Ternyata, telah terjadi tabrak lari dan membuat korbannya luka parah, darah bercampur dengan air hujan, membuatku ngeri. Ku beranikan diri untuk melihat siapa korbanya, dan.........................sungguh....aku tak kuasa menahannya. Hari ini, langit kehilangan cahaya yang menjadi kehidupan oarang yang dikasihinya, dan cahaya itu, kini dan untuk selamanya tak kan mungkin bercahaya lagi....
Selamat tinggal cahaya........
Label:
cerbung
Jumat, 14 Mei 2010
hari ini bagai semusim terasa
entah mengapa????
begitu banyak yg Qfikirkan
Aq bingung......
matahari yg tersenyum hari ini seakan tak mempengaruhiQ
cerahnya awan juga tak jua mencerahkan hatiQ
ada apa gerangan?????
mg2 Alloh senantiasa menjagaQ n orang2 yg Qsayang.....
amin.....
entah mengapa????
begitu banyak yg Qfikirkan
Aq bingung......
matahari yg tersenyum hari ini seakan tak mempengaruhiQ
cerahnya awan juga tak jua mencerahkan hatiQ
ada apa gerangan?????
mg2 Alloh senantiasa menjagaQ n orang2 yg Qsayang.....
amin.....
Label:
ceritaku
Jumat, 29 Januari 2010
hari ini hari yang melelahkan
inginya cepet cepet pulang
tapi........
banyak tugas yang harus ku buru
sungguh...............
aku ingin pulang
aku merindukan kehangatan selimutku
nyamanya bantal gulingku
sungguh...................
aku rindu rumah
inginya cepet cepet pulang
tapi........
banyak tugas yang harus ku buru
sungguh...............
aku ingin pulang
aku merindukan kehangatan selimutku
nyamanya bantal gulingku
sungguh...................
aku rindu rumah
Label:
ceritaku
warna
hari ini merupakan hari yang penuh warna bagiku
warna gelap dan terang bernaung dalam relung hati ini
hari ini berlalu penuh dengan rahasia
rahasia warna yang tak kutahu apa yang bersandar di dalamnya
kuharap warna warna itu hanyalah warna biasa
yang bisa hilang tanpa meninggalkan jejak
warna yang ku takutkan menjadi warna kelabu
di antara detik demi detik yang ku habiskan dalam hari ini
warna gelap dan terang bernaung dalam relung hati ini
hari ini berlalu penuh dengan rahasia
rahasia warna yang tak kutahu apa yang bersandar di dalamnya
kuharap warna warna itu hanyalah warna biasa
yang bisa hilang tanpa meninggalkan jejak
warna yang ku takutkan menjadi warna kelabu
di antara detik demi detik yang ku habiskan dalam hari ini
Label:
ceritaku
Langganan:
Postingan (Atom)