Selasa, 15 Juni 2010

Ketika Semua Telah Pergi

Hari ini, suasana restoran tempat ku bekerja dipenuhi oleh pengunjung. Maklumlah, sekarang sudah masuk jam istirahat. Aku berusaha bekerja seoptimal mungkin melayani pengunjung. Walaupun tubuhku terasa letih, aku coba tetap tersenyum.
Seperti biasa, sepulang sekolah aku segera pergi ke restoran cempaka tempatku bekerja paruh waktu. Alhamdulillah, pemilik restoran sudah berbaik hati menerimaku. Dengan gaji yang lumayan, aku sedikit bisa membantu ibuku. Gaji ibuku yang hanya seorang buruh cuci hanya cukup untuk makan sehari – hari dengan lauk seadanya. Terkadang kita harus puasa satu hari ketika uang ibuku habis sedangkan bulan gajianku masih lama. Namun aku masih bersyukur, aku masih bisa hidup walaupun hidupku tak senyaman teman – teman sekolahku.
Aku anak sulung dari 3 bersaudara. Kini aku duduk di bangku SMA. Adiku yang pertama sudah lulus SMP, namun untuk melanjutkan ke SMA dia harus bersabar. Sedangkan adiku yang kedua masih ada di SD. Sedangkan ayahku dulu seorang petani. Namun karena musim kemarau yang berkepanjangan, lahan sawah ayahku menjadi tandus hingga ayahku terpaksa menjualnya dengan harga yang minimum. Sekarang ayahku sudah meninggal karena sakit yang dideritanya. Dan kini beban keluarga berada di pundak ibuku.
“Kak, nanda pingin makan gado – gado….”, kata Nanda pagi itu ketika aku akan berangkat ke sekolah.
Melihatnya merengek manja, aku jadi terharu.
“Iya Nanda, doakan kakak ya, Insya Allah nanti kalau kakak gajian, kakak beliin gado – gado…Wanda juga kan? Tanyaku pada wanda, adik lelakiku. Tak ada jawaban. Ku lihat Wanda segera berlalu tanpa menoleh ke arahku. “Wanda kenapa bu?” tanyaku pada ibu.
“Ibu juga tidak tahu nak, dari pagi dia marah – marah. Coba kamu Tanya ke dia? Mungkin dia mau cerita.” Aku menghela nafas, sifat Wanda akhir – akhir ini berubah. Dia sering marah – marah tanpa ada yang tahu penyebabnya, padahal dulu dia begitu penurut.
“Iya Bu, nanti Manda coba tanyakan, ya sudah, Manda berangkat dulu ya, Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam….hati – hati di jalan ya nak….” Aku berlalu dan ku lambaikan tangan sebagai jawaban pada ibuku. Pagi ini aku harus bergegas karena aku ada ulangan matematika dan aku tak ingin terlambat.
Ku usap peluh yang ada di keningku. Aku tersenyum membayangkan kedua adiku. Akhirnya hari ini aku gajian. Kulangkahkan kaki dengan senyum merekah di bibirku, orang rumah pasti akan senang.
“Kak….minta sedekahnya….”
Ku lihat seorang gadis kecil tengah mengulurkan telapak tangannya ke arahku. Aku merasa miris melihatnya, sungguh…aku kasihan. Badanya yang kecil, hanya berbalut kulit dan tulang dan dekil. Aku tak tega. “Adik siapa namanya?”
“Mira kak, sedekahnya kak, seharian ini Mira belum makan…”
“Ya sudah, ini kakak punya gado – gado, satu boleh buat Mira.” Kataku sembari mengulurkan sebungkus gado – gado ke arahnya. Gadis kecil itu tersenyum dan memelukku. “Makasih ya kak…Mira sayang kakak…” Gadis kecil itu berlalu sambil tersenyum.
Tawa gadis kecil itu mengingatkanku pada Nanda. Aku semakin rindu padanya. Dengan bergegas aku berlalu pulang…
Setiba di rumah, ku lihat suasana rumah yang lenggang. Di sudut rumah, ku lihat Nanda meringkuk ketakutan. Tak ada lagi tawa yang menyambutku. Juga tak ada peluk mesra nanda untukku. Suasana rumah yang berantakan membuatku bertanya – tanya. “Kak……” Ku ikuti arah telunjuk Nanda. Dia menunjuk seseorang yang sedang meringkuk lemah. Ku lihat darah mengalir di kepalanya. Ibu!!!!!
Sayang…aku terlambat. Ibu sudah meninggal. Ku rasakan tangan kecil nanda memelukku, dan kita menangis bersama. Malam ini aku di bantu oleh beberapa tetangga memakamkan ibuku di pemakaman umum dekat rumah.
Aku begitu terpukul. Hari ini aku kehilangan orang yang ku sayang. Seseorang yang menjadi orangtua dan teman berbagi dalam suka dukaku. Ibu yang kini telah bersama ayah, dan Wanda, adiku yang kini menjadi buronan. Karena dialah ibu meninggal. Sedangkan Nanda, bertambah hari dia semakin kurus, tidak mau pergi sekolah, dan sehari – hari hanya menangis sedih. Aku tahu dia trauma, tapi aku tak tahu apa yang harus aku lakukan? Aku begitu terpukul, aku kehilangan ibu dan adiku juga sekolahku. Karena aku tak mungkin meninggalkan Nanda sendiri.
“Kak Manda…..kira – kira ibu sudah bertemu ayah belum?” Tanya Nanda suatu hari
Aku tersenyum melihatnya. “Memangnya kenapa Nanda?”
“Pasti ibu senang ya kak, bisa bersama dengan ayah lagi. Mereka melihat kita kan kak?”
“Iya sayang…..walaupun mereka sudah ada di langit sana, tapi mereka tetap ada di hati kita kok, makanya Nanda gak boleh sedih lagi. Nanda sayang kan sama mereka? Sama kakak juga?”
“Iya, Nanda sayang sama ayah, ibu, kak manda, tapi nanda benci sama kak Wanda. Kak Wanda pembunuh ibu.”
“Nanda gak boleh benci sama kak Wanda, dia kan kakaknya Nanda juga.”
“Tapi Nanda takut kak, kak Wanda akan membunuh kita juga.”
“Nanda yang sabar ya…doakan semoga kak Wanda bisa berubah…”
“Iya kak…..”
“Ya sudah….sekarang Nanda bobok dulu ya…mimpi indah ya sayang…”
“Makasih kak, aku sayang sama kak Manda.”
Siang ini begitu terik, membuat peluhku membasahi jilbabku. Ku lihat di seberang jalan, penjual es keliling diserbu oleh pembeli. Kelihatannya penjualnya kewalahan melayani semua pembeli, namun mau bagaimana lagi, hari ini menjadi rejeki buatnya. Suasana jalanan juga ramai. Semua kendaraan seakan – akan berlomba untuk segera sampai, untuk segera tiba di rumah, segera melepas penat bersama keluarga. Aku iri pada mereka. Andai saja ayah dan ibuku masih hidup, mungkin keluargaku tak akan terpecah belah seperti ini.
“COPET!!!! COPET!!!”
Suara riuhnya jalan seakan menenggelamkan suara ibu muda itu. Suasana jalan yang ramai sepertinya membatasi gerak sang pencopet. Tanpa sengaja pencopet itu menabrakku. Pencopet itu terjatuh sambil menengadahkan wajahnya. “Ya Allah!!!!!” wajah itu, aku kenal sekali. “Wanda!!!!” teriakku. Kami pun saling menatap. Ku ulurkan tangan membantunya berdiri, namun dia mengindahkan bantuanku. Dengan segera dia bangun dan berlari. Akhirnya kita saling berkejaran.
Ku coba mengejarnya, namun terhalang kendaraan yang berlalu lalang.
“BRAK!!!!”
Jalanan semakin riuh ketika ada seseorang tertabrak mobil. Aku mencoba menyibak kerumunan mencari tahu siapa yang tertabrak. Kudengar seseorang berkata” kasihan ya, masih kecil sudah jadi copet. Sekarang dia harus membayarnya”
Aku terkesiap mendengarnya. Jangan – jangan…..Wajah itu, wajah yang begitu lekat di hatiku. Wajah yang selama ini menjadi teman sehari – hariku. Wanda…..
Sepertinya langit ikut berduka. Rintik – rintik hujan turun dalam terik matahari, menghanyutkan darah adiku, membawa semua kepedihan dan kenangan hidupnya. Akhrnya lengkaplah sudah kesedihanku, belum genap satu bulan meninggalnya ibu, kini adiku menyusulnya.
Bersama hujan ku bawa tubuh Wanda pergi. Aku tak tahu lagi bagaimana Nanda jika tahu hal ini. Dalam sedih ini aku mencoba memakamkan jenazah Wanda, karena aku tahu, tetanggaku tak kan ada yang mau membantuku. Mereka masih menaruh kebencian pada Wanda karena dia seorang pembunuh, pembunuh ibuku, ibu kandungnya sendiri.
Kehidupan ini begitu kejam. Karena hidup, aku telah kehilangan satu persatu orang yang aku sayangi. Mungkin, jika hidupku masih senyaman dulu dan takdir mau berbaik hati padaku, aku masih bisa melihat senyum dan tawa mereka. Masih bisa merasakan belaian kasih sayang mereka. Namun, aku tak mau berlarut dalam kesedihan, kutatap kedua bola mata Nanda yang penuh air mata. Aku masih punya Nanda dan dia membutuhkanku. Aku harus membesarkannya dan membuatnya tetap memiliki seseorang yang dia sayangi. Selamat tinggal Wanda…..salam sayang dari kami, semoga kau bahagia di sana
Angin berhembus pelan saat itu, mengibarkan ujung jilbabku. Kulangkahkan kaki seiring langkah kecil Nanda di sebelahku. Selamat tinggal kesedihan………


16 Juni 2010
RANA

 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space