Jumat, 04 Juni 2010

Siang dalam Sendu

Senja mengantarku ke dalam pelukan dinginnya malam. Membuat rasa malas menguasai tubuhku. Dengan rasa miris ku tatap suasana rumah, sungguh mengharukan. Di sudut dapur piring kotor bertumpuk, di luar kamar mandi setumpuk cucian kotor menggunung, belum lagi lantai rumah yang debunya menyerupai karpet tebal. Sungguh, membuatku tak nyaman.
Di luar rumah, hujan masih mengganas, deru petir membuat bulu kuduku berdiri, dan kilat yang menyambar melebihi terangnya lampu neon rumahku. Dalam derasnya hujan malam ini suasana sepi. Ayah sudah terlelap karena ia baru minum obat sedangkan ibu entah kemana. Tak biasanya ibu membiarkan rumah berantakan seperti ini. Dalam kelelahanku, ku coba sisingkan lengan baju. Ku tak mau ketika ibu datang, suasana rumah masih seperti ini. Dalam hati aku bertanya – tanya, kemanakah ibu? Mungkinkah ia mengalami musibah hingga ia sampai pulang selarut ini?
“TOK…TOK…TOK…”
Suara ketukan pintu seakan menjadi jawaban atas Tanya dalam hatiku.
“Bu Lastri? “
“Iya, ini ibu. Tadi ada salam dari ibumu. Malam ini dia menginap di rumah bu Dara, jadi dia minta maaf tidak bias pulang. Dia titip ayahmu.”
“Iya bu, terimakasih…”
“Iya, sama – sama”
Kehidupan rumah tangga yang selalu berada dalam kemiskinan membuat ibu dan ayah bekerja keras. Sedangkan pendidikan mereka hanya sebatas sekolah dasar. Dengan berbekal ijazah SD, ayah dan ibu mencoba keberuntungan mencari kerja. Alhasil, mereka hanya mendapat kerja sebagai buruh. Ayah sebagai buruh bangunan sedangkan ibu menjadi buruh rumah tangga. Alhamdulillah, dalam keadaan sesulit ini, aku masih bias mengenyam bangku perkuliahan dengan berbekal otak yang ku miliki.
Aku teringat malam itu, ketika ayah pulang diantar oleh teman bekerjanya. Katanya ayah terjatuh di sekitar proyek. Sesaat aku dan ibu bersyukur karena ayah tidak apa – apa. Namun, seminggu berlalu, ayah mengalami lumpuh. Lumpuh total. Ketika aku dan ibu membawanya ke puskesmas, kata dokter yang menanganinya, ayahku terkena stroke. Dan untuk kesembuhan selanjutnya, ayah perlu dibawa ke rumah sakit untuk perawatan.
Semenjak itu, tulang punggung keluarga berkurang. Aku tidak dapat hanya mengandalkan hasil kerja ibuku saja, oleh sebab itu aku memutuskan untuk bekerja part time. Untuk pengobatan ayahku, ku coba menyicil obatnya, karena aku sadar sepenuhnya aku tak mampu membayar biaya rumah sakit.
“Kamu yakin mau bekerja, nduk?”
“Iya ibu, memangnya kenapa?”
“Ibu tidak ingin kuliahmu terganggu, ndok. Bukannya kamu ingin jadi sarjana dengan nilai yang baik?”
“Dian yakin, Dian bisa bagi waktu, bu. Ridhoi Dian ya?” Aku menghela nafas menanti jawaban, “ini demi ayah bu, ibu juga ingin ayah sembuh kan?”
“Ya sudah, ibu kasih ijin. Tapi kamu harus janji, kamu harus lebih fokus pada kuliahmu, ibu tidak ingin kuliahmu hanya setengah jalan. Janji?”
“Janji” Aku tersenyum dalam pelukan ibu. Terima kasih ibu, bisikku dalam hati.
Malam ini sepertinya langit tak mau bersahabat. Dalam lelahku, aku mulai membersihkan rumah. Dari mencuci piring kotor yang ada, menyapu lantai dan mencuci pakaian kotor. Peluh yang mengucur di badanku, membuat pakaianku terasa menempel erat di kulitku. Jilbab yang baru saja aku ganti, terasa lembab di kepalaku. Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Rasanya aku begitu rindu pada tempat tidurku. Namun, tugas yang menumpuk membuatku begadang hari ini.
Tak terasa mentari mulai terbit, membawaku dalam hari berikunya. “Selamat pagi ayah……” Kubuka pintu kamar ayahku. Tubuh lemah itu masih tetap tak bergeming. Ku coba mendekatinya. “Ayah…” panggilku pelan. Tetap tak ada reaksi. Melihatnya aku semakin takut. Ya Allah, jangan kau ambil ayahku, aku mohon…..”Ayah….” Panggilku keras seraya ku sentuh badannya. Dingin……Aku mulai ketakutan. Ku coba bangunkan ayah, tetap tak ada hasil. “Inalillahi wa inna ilaihi rojiun….” Desahku pelan. Aku menangis sedih. Kini yang ada hanya ibuku.
Aku segera berlari menuju rumah ibu Dara. Aku tak perduli becek menodai bajuku, aku terus berlari. Hanya satu hal yang ku ingat, pergi menemui ibu dan membawanya pulang. Sesampainya di sana, rumah ibu Dara sepi. Ku coba ketuk pintu rumahnya, namun tetap tak ada hasil.
“Assalamu’alaikum, bu Dara….Ibu…..”
“Wa’alaikum salam” Pintu rumah terbuka. Ternyata bi Imah.
“Bi, Dian mau bertemu dengan ibu Dara, beliau ada? Apakah Ibu juga ada?”
“Maaf non, nyonya dan ibu non sedang di rumah sakit. Rumah sakit tempat Ndoro cuci darah.”
“Cuci darah bi? Memangnya Ndoro sakit lagi?”
“O….Tidak non Dian, dua hari yang lalu ndoro melakukan operasi transplantasi ginjalnya. Kalau non Dian mau bertemu ibu, non Dian ke sana saja. Non Dian tahu kan dimana rumah sakitnya?”
“iya bi, Dian tahu, terimakasih ya, dian permisi dulu, Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam….”
Aku terus berlari menuju rumah sakit. Kususuri koridor yang ada dan Alhamdulillah aku menemukanya. Pelan – pelan aku membuka pintu kamar inap. Dari pintu ku lihat bu Dara duduk di kursi dekat ranjang dan di sebelahnya duduk di kursi roda adalah pak Rahman. Lalu, siapa yang sakit?
“Assalamu’alaikum…..”
“Wa’alaikumsalam…..Dian?” Sepertinya bu Dara terkejut melihatku. Ku beranikan diri mendekati ranjang. “Ibu!!!!!!” Ternyata yang sakit ibu. Tapi, bagaimana mungkin?
“Bu Dara?” Aku menoleh kearahnya menuntut jawab atas semua ini.
“Jangan salahkan bu Dara, ndok…..Ibu yang minta.”
“Jangan bilang kalau ibu mendonorkan ginjal ibu untuk pak Rahman.” Tanyaku mulai emosi.
“Ini semua demi pengobatan ayah, Dian. Kamu juga ingin ayah sembuh kan?” Aku tak mampu menjawab. Hanya air mata yang membanjiri wajahku.
“Dian? Mengapa kamu menangis?” Tanya Bu Dara.
“Ibu tanya mengapa? Kenapa ibu membiarkan ibuku mendonorkan ginjalnya? Padahal Ibu tahu sendiri bagaimana keadaan Ibuku? Beliau sudah tua, kenapa? Aku benar – benar kecewa pada ibu”
“Dian…….Ibu minta maaf”
TIT…TIT…TIT…..Sepertinya ibu mengalami masa – masa kritis. Ku dengar Bu Dara berkonsultasi dengan dokter. Katanya usia Ibuku sudah tidak lama lagi. Dalam hati aku mengumpat, jika terjadi apa – apa pada ibuku aku tidak akan memaafkan bu Dara, walaupun aku tahu niat ibu untuk menjual ginjalnya untuk pak Rahman demi ayahku. Tapi sekarang ayah sudah tiada, jadi buat apa?
Aku melihat dokter yang menangani ibuku keluar masuk kamar inap ibuku. Aku hanya bisa berdoa semoga tidak terjadi apa – apa padanya. Tak terasa hampir satu jam aku di sini. Dan akhirnya, dokter keluar.
“Bagaimana dok?” Tanya bu Dara
“Maaf bu, sepertinya Allah berkehendak lain. Saya sudah berusaha sebisa mungkin, tapi sekali lagi maaf.
Aku menghambur masuk, kulihat tubuh ibuku di balik selimut putih, sungguh……..Aku menangis sejadi – jadinya Hari ini, Alloh mengambil kedua orangtuaku, orang yang menjadi tumpuan hidupku, tempatku mengadu di saat aku susah, dan tempatku berbagi di saat aku suka. Sungguh…..Engkau telah menguji kesabaranku.
Siang ini, angin bertiup lembut, menerbangkan kamboja di antara makam kedua orangtuaku. Perlahan isak tangisku mulai mereda. Aku sadar, hidup, ajal, rejeki dan jodoh ada di tangan Allah. Selamat tinggal ayah, selamat tinggal ibu, semoga kalian bahagia di sana, aku saying kalian berdua.
Kulangkahkan kaki keluar, meninggalkan makam dan semua kenanganku dan kedua orangtuaku. Angin berhembus menerbangkan kesedihanku. Aku harus sabar dan tegar. Aku harus memandang kea rah depan demi masa depanku.
Tak sengaja langkah kakiku berhenti di depan rumah bu Dara. Ku lihat pak Rahman sedang bercanda dengan cucunya. Aku ingin menangis. Gara – gara ibu mendonorkan ginjalnya untuk pak Rahman, aku sekarang kehilangan dua orang yang ku sayangi. Namun, aku tak punya hak untuk mengambil ginjal itu kembali, karena buat apa? Toh ibu sudah tak mungkin lagi hidup kembali. Semoga Allah memberi kesehatan dan kebahagiaan untuk mereka………….

02 Juni 2010
Rana
 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space