Jumat, 09 Mei 2014

Bersama Bintang ,,,,

   
          “Hai . . . Aku Anindhita Kurnia, senang berkenalan dengan kalian . . .” Beberapa decak kagum terdengar di telingaku. Bahkan Radit teman sebangkuku menyikutku, “Ni cewek cantik banget Dev, yang lain lewat . . .” Dia berbisik di telingaku. Aku tersenyum, sepertinya aku lebih sibuk dengan buku di tanganku.
          “Dhita silahkan duduk di belakang Devta, baiklah sekarang kita lanjutkan materi kita  . . .” Dialog akhir bu Meta memaksaku untuk mengalihkan perhatianku, aku mendongak, dan wajah itu . .  “Hai, boleh aku duduk di situ?” Tangan itu menunjuk kursi kosong di belakangku. Aku menatapnya. Radit menyenggolku ketika dia terburu-buru berdiri dan nyengir “Boleh kok Dhit, silahkan . . .” Aku membungkuk memungut pensilku yang terjatuh. “Kenapa hatiku gelisah seperti ini? Karena wajah cantik itu? Tidak, aku yakin dia adalah orang lain karena namanya Dhita, tapi kenapa wajahnya begitu mirip?” Aku bertanya dalam hati. Aku menggeleng “Inget Dev, dia hanya masa lalu kamu, kamu gak perlu nginget dia lagi karena dia bukan cewek yang baik, seenaknya mempermainkan perasaan kamu, setelah kamu jatuh dia meninggalkanmu begitu saja” Hatiku berontak. Aku menghela nafas panjang, “materi hari ini lebih penting, aku harus bisa konsentrasi” Aku bergumam sembari memperhatikan penjelasan Bu Meta.
.......................... * * *  ..........................
         
          Aku merenung menatap langit-langit kamarku. Hatiku sesak, rasanya dinding kamar ini runtuh dan mengahantamku. Ingin rasanya tangis ini pecah tapi egoku yang mencegahnya. “Hanya cowok lemah yang mudah menangis” kataku dalam hati. Tapi wajah itu yang membuatku lemah. Wajah seseorang yang dulu pernah tumbuh di hatiku, ketika benih-benih itu mulai tumbuh menjadi bunga-bunga indah, tak begitu lama harus tercabut paksa. Pedih memang, tapi mau bagaimana lagi, ketentuan Alloh lah yang lebih kuat dari akar bunga itu, dan  kini hanya menyisakan lubang. Seiring berjalannya waktu, lubang itu mulai tertimbun tanah. Tapi entah kenapa, hari ini hujan turun begitu lebat, membuat tanah itu lembek dan tergerus kembali. “Ya Alloh apa yang harus aku lakukan? Walaupun namanya berbeda, tapi kenapa wajahnya begitu mirip?” hatiku merintih.
          “BRAAAKKKK . .” Aku terlonjak. Tanpa menolehpun aku sudah tahu kalau itu Radit. Sudah kebiasaannya menutup pintu kamar keras. Berkali-kali dinasehati, berkali-kali diulangi. Bahkan omelan ibu kos pun hanya dianggap angin lalu.
          Raditya Sanjaya. Teman satu kamarku di tempat kos putra. Tinggi dan tampan itu yang membuatnya menjadi idola cewek di sekolahku. Hobi basket dan makan bakso pedas, paling tidak tahan kalau diputusin cewek, bisa murung seharian. Tapi itu bagaikan sepuluh dari seribu, karena sepengetahuanku sedikit dia ditolak cewek, yang ada malah mereka yang nangis karena cintanya ditolak. Hehehe . . .
          “Sialan tu cewek, kamu tahu Dev, masak di mading dia nulis puisi untukku?” Kata Radit sembari melempar handuknya. Aku menatapnya dan tersenyum, “Bagus dong, itu tandanya tu cewek bener-bener puitis, harusnya kamu bangga dong . . .”
          “Bangga apanya ?! Aku muak sama cewek gituan, mending si Dhita, cewek baru di kelas kita. Udah tinggi, cantik, hhhmmmm . . kira-kira aku bisa dapetin dia gak ya? Bakalan sulit deh . . .” Sepertinya Radit mulai hanyut dalam angannya. “Sulit?” Aku mengernyit “Kok bisa? Bukannya kamu pendekar cinta?” Aku berusaha membuat lelucon.
          “Kamu salah” Radit menggeleng. “Sulit karena sainganku adalah sahabat aku sendiri. Sepertinya Dhita suka sama kamu.” Aku terkejut.
          “Sayangnya tebakan kamu salah Radit, aku tegaskan ke kamu aku masih gak mau cari cewek, kalau kamu suka dia, ya sudah, kejar saja tu cewek, aku gak punya perasaan apa-apa ke dia.” Aku mencoba untuk tegar. Lagipula dia adalah Anindhita Kurnia, dia orang lain walaupun wajahnya sama.
          “Benarkah itu Dev? Yes !!!” Radit memelukku, dia begitu bahagia dengan ucapanku. Aku harus bisa menerima kenyataan bahwa dia adalah orang lain, bukan seseorang yang dulu pernah mengisi hatiku. Aku harus bangkit . . . .
          Hari-hari satu kelas dengan Dhita sungguh hari yang berat. Aku harus bersikap senatural mungkin kepadanya. Tapi jika magaku bertatapan dengannya, mau gak mau hatiku berdesir. Matanya yang teduh mengingatkanku pada mata indahnya, bagaimana cara dia tersenyum dan berbicara mengingatkanku padanya, jika saja Dhita memakai kaca mata dan lesung pipit menghias pipinya, sungguh aku pasti tahu Dhita adalah dirinya. Hal inilah yang menjadi alasan utamaku untuk tetap bertahan, karena Dhita adalah orang lain.
          “Hai Dev, kamu gak ikutan basket?” Tiba-tiba saja Dhita sudah duduk di sebelahku.
          “Tidak” Jawabku tanpa melihat ke arahnya.
          “Kenapa? Kalau dilihat kamu gak kalah kok ma Radit. Tinggi dan atletis. Sayang loh kalau kamu Cuma jadi kutu buku.” Sambil tertawa Dhita merebut bukuku. “Kamu baca apa sih? Serius amat sampai aku dicuekin”
          “Kembalikan !!!” Aku berdiri. Bukannya mengembalikan bukuku, dia malah berlari sambil tertawa. Sigap ku genggam pergelangan tangannya. Aku gak perduli dia merintih, aku butuh buku itu, aku harus selesai membacanya sebelum jam masuk berbunyi.
          “Iya-iya, ini ku kembalikan, susah ya kalau berhadapan dengan si kutu buku.” Bukannya minta maaf, dia malah berlalu sambil tersenyum ke arahku. “Huh . . gara-gara tu cewek hafalanku jadi terganggu.” Aku menggerutu sembari kembali duduk hingga aku tak menyadari sepasang mata mengawasiku.
          Aku menghela nafas, akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku sejenak. Hening yang ku rasakan, hanya detak jarum jam yang terdengar. Aku mendongak, sudah hampir maghrib, tapi Radit masih belum balik ke tempat kos. Tumben . . .
          “Ceklik . .” Suara pegangan pintu diputar. Wajah lesu Radit yang menyambut. Tanpa berbicara dia mulai berbenah.
          “Radit ? Kamu baik-baik saja kan? Kamu mau ke mana?” Aku mulai bersua ketika ku lihat Radit mulai memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas.
          “Aku butuh kamar yang baru.” Jawaban yang singkat dan cukup membuatku terkejut.
          “Ini ada apa? Bukankah sudah dua tahun ini kita bersama? Kenapa tiba-tiba kamu ingin pindah?” Aku berusaha untuk meminta kejelasan darinya, Radit tetap bergeming dan berlalu begitu saja. “Aneh . . .” Aku berusaha untuk berfikir, memutar kembali waktu dan aku teringat peristiwa tadi siang di lapangan basket. Aku menggeleng. “Bukan itu, bukankah saat itu aku hanya merebut bukuku dari tangan si Dhita, aku gak lakuin lebih dari itu.” Semakin keras aku berfikir, kepalaku terasa berdenyut lebih keras. “Ah sudahlah, mungkin ini hanya kesalahpahaman di antara kita, lebih baik aku membiarkannya dulu, siapa tahu dengan sendiri dia bisa lebih tenang.” Ku yakinkan diri dan mencoba untuk memejamkan mata sejenak.
.......................... * * *  ..........................

          “PRANGG . . .” Aku menjatuhkan gelas minumanku. Kulihat seseorang menyodorkan sapu tangan ke arahku. Dhita. “Pakai ini saja, baju kamu basah, aku yang salah, tadi aku yang menyenggol gelas minum kamu. Biar aku yang gantiin ya . . .” Gak ada pilihan, aku mengambil sapu tangan itu dan membersihkan beberapa noda di bajuku.
          “Sudah aku ganti, kamu tidak apa kan Dev? Maaf ya, aku tadi terburu-buru.” Aku menggeleng. Ku lihat Radit membuang muka padahal aku yakin tadi dia memandang ke arahku. Ini hari ke dua dia menjauhiku, bahkan sepertinya dia menghabiskan waktu dengan bermain basket. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu yang membuatnya resah. Aku tahu pasti. Jika hatinya sedang resah, dia akan melampiaskannya dengan bermain basket hingga lupa waktu. “Tapia apa ???” Aku bertanya dalam hati.
          “Dev, nanti boleh tidak aku mampir ke tempat kos kamu? Aku kesulitan dengan materi Kimia tadi, sekalian silaturohmi . . .” Aku tersentak. Bukan karena kata-kata Dhita, tapi karena tangan itu yang telah memegang lenganku. Aku berusaha mengelak tapi terlambat. “Bagaimana ?? Boleh tidak ??” Aku hanya mengangguk, aku ingin segera berlalu dari hadapannya.
          “Trims ya . . .” Dhita tertawa sembari mengacak-acak rambutku. Sigap aku menarik tangannya dari rambutku, tapi sayang, dia malah tertarik ke arahku, sangat dekat. Sekejap aku menatap ke dalam matanya, dan aku baru sadar mata itu begitu indah. Bulat dan hitam diaantara bulu mata yang lentik.
          “Maaf . . .” Aku segera menarik diri dan berlalu pergi. Aku mempercepat langkah menuju ruang kelas, aku gak boleh ngulanginnya lagi. Tapi entah kenapa, Dhita selalu menghantui hari-hariku. Wajahnya selalu membuat konsentrasiku bubar. Secarik kertas kecil menggelinding ke arahku. Aku menoleh. Bahkan Radit pun enggan ngomong langsung denganku.

Ku tunggu nanti di tempat parkir sepulang sekolah . . .

          “Baiklah . .” jawabku pelan, dan gak lama kemudian kelas pun bubar. Belum sempat aku bersua, Radit sudah hilang. Aku mengangkat bahu dan berjalan pelan menuju tempat parkir. Otakku terus berputar, memikirkan kata-kata apa yang akan aku katakan pada Radit nanti. “Ah itu dia” ku lihat dia berdiri tepat di bawah pohon.
          “Ada yang mau kamu omongin Radit?”  Aku segera bertanya ketika aku tiba di tempatnya. Tiba-tiba satu pukulan tepat mengenai wajahku. Aku kaget. Radit memukulku. Ku rasakan sesuatu mengalir dari sudut bibirku, aku menyapunya dengan punggung tanganku. Darah.
          “Kamu bilang kamu gak ada rasa ke Dhita, ya kan? Tapi sikap kamu sungguh munafik. Aku gak nyangka persahabatan kita retak hanya karena kamu terlalu munafik mengakuinya. Kenapa kamu gak jujur ?” Aku terperangah. Jadi ini yang membuatnya mendiamkan aku dan memilih untuk pindah kamar kos.
          “Kamu salah paham, tidak terbesitpun di hati aku untuk menyukainya. Dua tahun kita bersahabat, apa pernah aku berbohong? Aku terlalu menghargai persahabatan kita, aku gak mau hanya karena seorang cewek kemudian kita bertengkar seperti ini. Bahkan kamu memukulku.” Aku mencoba untuk menjelaskannya. Bukannya Radit tambah tenang, dia malah melayangkan pukulannya yang ke dua ke arahku. Aku berhasil mengelak.
          “Aduh . .” Dhita mengaduh sembari memegang pipinya. Lebam. Andai saja aku tadi gak mengelak, pasti pukulan tangan Radit gak mengenai wajah Dhita.
          “Kamu gak apa Dhit ?” Aku dan Radit berteriak. Bahkan reflek bersamaan kami menyodorkan tisu ketika darah mulai merembes di sudut bibirnya. “Gak apa kok, mungkin lebamnya bisa segera ku obati” Dhita berkata sembari mengambil tisu di tanganku. Ku palingkan muka menatap Radit, Tangannya masih teracung dengan tisu tergenggam erat di jemarinya. Menunduk malu, Radit berlalu dari hadapanku. Aku berusaha mengejarnya, namun Dhita mencegahku. “Jangan dikejar, dia butuh sendiri. Lagipula kenapa sih kalian berantem? Gara-gara aku ya???”                    
          Bukan sebuah pertanyaan melainkan suatu pernyataan. Aku menggeleng. “Aku harus pergi, Radit itu sahabatku, aku gak mau kesalahpahaman Radit semakin besar kepadaku .” Aku berusaha mengelak dan menjauh dari Dhita. Aku gak mau kedekatanku dengannya, itu akan memicu emosi Radit kepadaku.
              “Uch . . .” Aku menoleh. Dhita mengaduh kesakitan. Aku terdiam. Di satu sisi aku harus segera mencari solusi atas kesalahpahaman ini, namun di sisi lain, aku merasa kasihan. Kalau aku tetap pergi, aku akan jadi cowok yang gak manusiawi, tapi kalau aku tetap di sini, rasa bersalahku semakin besar kepada Radit.
          “Sepertinya darahnya semakin banyak . . .”Ku dengar Dhita merintih. Aku berbalik. “Sini, aku bantu bersihkan darahnya dulu . . . .” Ku ambil sapu tangan di kantong bajuku. Akhirnya rasa kasih yang mengalahkan egoku.
          “Sebenarnya kamu cowok yang perhatian Dev, tapi kenapa terkadang kamu cuek kepadaku?” Dhita mulai memecah keheningan.
          Aku menatapnya. “Tolong jangan kau salah artikan kepedulianku ini, aku melakukannya karena aku tahu kamu terluka gara-gara aku mengelak dari pukulan Radit. Sudahlah, sekarang darahnya sudah mengering, untuk mengurangi warna lebamnya, kamu kompres saja di rumah, aku harus segera pergi.” Aku bangkit dan beranjak pergi.
          “Dev, aku tahu kenapa kamu mencoba acuh kepadaku, suatu hari nanti kamu akan datang kepadaku, aku yakin itu . . .” Aku dengar teriakan itu, tapi tekadku sudah bulat. Aku tetap berlalu dan mengacuhkan teriakannya.
.......................... * * *  ..........................

          “Kau masih marah kepadaku?” Sudah dua hari ini Radit diam membisu. Walaupun kami sudah beda kamar kos, namun aku masih bisa mengbrol dengannya. Aku mencoba tersenyum, namun Radit tetap bergeming, bahkan dia tetap menatap halaman. “Baiklah, akan aku ceritakan yang sebenarnya tentang bagaimana perasaanku ke Dhita, ku harap kamu mau kasih kesempatan ke aku untuk jelasinnya.” Kediaman Radit kuanggap sebagai persetujuan darinya.
          “Lihatlah . .” Aku menyodorkan selembar foto ke Radit. Semula dia tetap bergeming, namun aku memaksanya. Kedua matanya menatap ke arahku, “Ini ???” Tanyanya kepadaku. Aku mengangguk.
          “Namanya Adelia Paramitha. Dia mirip kan sama Anindhita Kurnia. Hanya saja, Adel memakai kerudung dan berjilbab. Dia memakai kaca mata, dan lesung pipitnya yang membedakan antara Adelia dan Anindhita.” Radit mengangguk, sepertinya dia mulai memperhatikan foto itu.
          “Lalu dia ke mana?” Akhirnya Radit bersuara.
          “Dia menghilang begitu saja, sudah dua tahun ini aku gak denger kabar tentangnya.” Aku berusaha untuk tegar.
          “Aku ngerti gimana perasaan kamu Dev, aku minta maaf, aku sudah salah nilai kamu.” Tiba-tiba Radit memelukku. Aku tersenyum. “Ku kira kamu mau mukul aku lagi?” Aku mencoba memecah kecanggungan di antara kami. Kami pun tertawa bersama.
          “Tapi kamu masih punya hutang ke aku Dev . . .” Aku mengernyit. “Hutang? Seingatku enggak deh . .”
          “Kamu belum cerita ke aku kan, siapa Adelia Paramitha ini???” Kedua mata Radit berbinar, sepertinya dia benar-benar ingin tahu siapa sebenarnya Adelia itu. Aku menghela nafas, “Baiklah, aku akan cerita, tapi kamu janji kamu gak akan motong ceritaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang gak masuk akal kan ???” Radit hanya tertawa sembari mengacungkan ibu jari kanan tangannya.
          Aku merenung, mencoba memutar kembali memory dua tahun yang lalu.
          Aku terpana. Kedua bola mata itu, menatapku, tersimpan harapan yang besar, begitulah yang dapat ku baca. Ku perhatikan sosok itu, tubuhnya yang mungil, terbalut jilbab dan kerudung biru langit, ketika tersenyum, mata itu berbinar dan lesung pipi yang semakin membuat wajahnya tampak menawan. Sejenak aku sangsi dengan kemampuannya, karena setahuku cewek berjilbab itu lebih terbatas geraknya, tapi ini lain.
          “Ini . . .” Tangannya yang mungil menyodorkan secarik kertas kehadapanku.
          “Kamu yakin?” Tanyaku memastikannya. Dia mengangguk. “Baiklah, kamu ku terima di ekskul Pecinta Alam.” Kataku sembari memeriksa dua lembar kertas darinya. Ku telusuri baris per baris, ternyata dalam waktu satu hari dia berhasil mengumpulkan lima belas tanda tangan pengurus organisasi.,hebat . . .
          “Terima kasih, ini nomor hand phone aku, kalau kamu butuh asisten, dengan senang hati aku menunggu info dari kamu.” Aku mengangguk, dan dia pun berlalu.
          Namaku Devta Prasetyo, ketua dua organisasi pecinta alam di sekolahku. Suka berpetualang. Eits . . . jangan salah paham, bukan berpetualang cinta loh ya, selain suka bersemedi di ruang ekskul, aku juga suka bermain basket. Pasti tanpa aku jelaskan kalian sudah tahu apa dan bagaimana bermain basket itu. Bagiku, basket adalah hidupku yang kedua setelah berpetualang.
          Oh iya, cewek mungil itu bernama Adelia Paramitha. Selama ini tak pernah terlintas di benakku untuk berusaha mendekatinya. Maklumlah, walaupun dia bertubuh mungil, tapi keelokan wajahnya membuatnya menjadi nomor satu di antara beratus cewek di sekolahku. Setahuku, dia tak pernah lepas dari beberapa buku yang hampir tiap hari dia gendong di tangannya, kaca mata berbingkai kecil juga selalu menghias wajahnya. Tapi sekarang, dia datang kepadaku dengan selembar formulir pendaftaran yang sudah terisi, memohon agar dia diijinkan untuk ikut serta dalam kegiatan ekskul yang aku naungi. Semula aku sangsi, apakah dia mampu menjalankan beberapa audisi yang aku lakukan sebagai persyaratan masuk keanggotaan. Aku ragu karena tubuhnya yang terlalu mungil bahkan hanya sebatas daguku saja. Tapi ternyata . . . .
          Adelia  bukan sosok cewek manja, bukan pula sosok cewek pasif, baginya, jilbab bukan penghalang untuknya beraktifitas. Gerak-geriknya yang penuh semangat, senyum yang hampir tak pernah hilang dari wajahnya, membuatnya banyak memperoleh pujian dan penghargaan karena ide dan perilakunya, semua itu tak membuatnya takabur. Adelia tetap rendah hati dan mudah bergaul. Tangan-tangan mungilnya tak pernah lelah menolong sesama, otaknya pun tak pernah berhenti berimajinasi dan memunculkan suatu ide atau gagasan yang tepat. Bagiku, Adelia begitu sempurna.
          Hutan, gunung bahkan desa-desa kecil di pelosok sudah pernah kami kunjungi. Hampir dua minggu sekali kami mengadakan penjelajahan, dari tempat yang terdekat hingga ke luar pulau dan tentunya atas ijin kepala sekolah. Semakin banyak aktivitas, kami tak pernah lupa untuk belajar. Bagi kami sekolah itu tetap menjadi prioritas. Kami juga mengadakan kelompok belajar yang kami namai PA Study. Di sela-sela kesibukan kami dalam berorganisasi, PA Study tetap berjalan.
          Tak terasa hampir satu tahun aku berkecimpung dalam organisasi. Kegiatanku hanya terbatas pada PA, Study dan organisasi. Untuk menghilangkan rasa penat, aku sering bermain basket. Hampir setahun pula aku bersama-sama dengan Adelia. Dulu hubungan kami hanya sebatas ketua dan anggota, namun sekarang, hubungan itu pun lebih dari hubungan seorang teman. Adelia mulai terbuka kepadaku. Adelia cewek yang asyik. Walaupun dia berjilbab, dia tak menutup diri dan menjembatani sikapnya. Apapun dia lakukan, yang pasti masih di jalan yang benar, Adelia cewek pemberani, pernah dia berkata, “Aku diberi-Nya nafas untuk menikmati dan bersyukur pada kehidupan ini. Begitu besar nikmat dan Dia yang maha Agung. Jadi kita bebas melakukan apa saja selama Dia tidak murka. Karena tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang mampu lari dari murka-Nya. Aku hanya takut pada satu hal, aku takut Dia mengambil nafas ini, tanpa nafas ini, aku hanyalah seonggok daging yang tak berguna.” Aku merasa trenyuh dengan kata-katanya. Aku sadar, Adelia bukan cewek biasa, dia punya sesuatu yang lain, yang aku tak punya, yaitu Tuhan.
          Aku dibesarkan dalam keluarga yang bisa dibilang makmur. Semua yang aku inginkan pasti terpenuhi. Semula aku merasa senang. Setiap kali aku menginginkan sesuatu, tanpa beranjak dari tempatku berada, tinggal tekan bel dan berteriak, semuanya sudah tersedia. Semakin aku besar, aku mulai merasa kesepian. Ketika aku membuka kedua mata di pagi hari, hanya senyum Bi Inah yang menyapaku, ketika aku mulai menutup mata untuk menutup malam, aku pun tak melihat wajah kedua orang tuaku. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan mereka lebih mementingkan bisnis mereka daripada anak semata wayangnya. Pernah suatu ketika aku menggigil demam. Bukannya memperdulikanku, mereka bahkan pergi meeting di luar kota. Hanya tangan mulia Bi Inah yang marawatku. Membuatkan aku bubur, segelas susu bahkan ketika aku harus menginap di rumah sakit, kepala Bi Inah lah yang tertidur di pinggir ranjangku. Bukan kedua orang tuaku.
          Kedekatanku dengan ekskul PA dan Adelia, membuatku semakin sadar bahwa sesungguhnya dunia ini indah. Kita dapat belajar apapun dari alam. Selama nafas ini masih ada, Tuhan memberikan jalan untukku berbuat lebih baik dari sebelumnya. Semakin lama, rasa kagumku kepada Adelia semakin besar. Hingga tak ku sadari, benih-benih cinta itu mulai tumbuh, namun aku tak mau benih itu terbang, tak akan kubiarkan burung itu tahu bahwa telah tumbuh benih di hatiku.
          Aku seperti terhipnotis. Aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Ada satu kebiasaan Adelia yang membuatku penasaran. Jika langit malam sudah dipenuhi dengan beribu bahkan berjuta bintang, tak perduli dinginnya malam dan dimanapun dia berada, dia selalu duduk menengadah menatap langit. Bahkan dia sering lupa diri. Tak hanya satu malam saja, malam kedua hingga malam berikutnya, dia tak bosan-bosannya menatap langit. Pernah suatu ketika, mendung menghias langit malam kala itu. Seperti langit, wajah Adeliapun menjadi murung. Dia hanya diam seribu bahasa dan tak mau memandang langit. Terkadang aku sering berdoa agar setiap malam langit menjadi mendung, turun hujanpun tak mengapa, namun ternyata doaku ini membuat Adelia kecewa kepadaku. “Kenapa Kamu malah berharap agar turun hujan malam ini? Bukankah hujan itu hanya membawa petaka?” Aku terkejut. “Kamu salah Adel, selama hujan itu masih turun dengan intensitas yang normal, hujan itu akan selalu menjadi berkah untuk kita. Tanpa hujan, sawah menjadi tandus, mereka tidak bisa mengairi sawah mereka. Apa akibatnya? Mereka gagal panen dan imbasnya juga ke kita, stok beras berkurang, banyak warga miskin harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan jatah raskin mereka. Belum lagi, pejabat yang korup, mereka salah gunakan jatah raskin. Seharusnya mereka bagikan, raskin yang ada mereka nikmati sendiri hasil penjualannya, apa kamu tidak kasihan?” Aku mulai bersitegang dengannya, aku tidak setuju jika hujan hanya dianggap sebagai petaka.
          “Kamu sungguh menyebalkan !!!!” Sungguh jawaban yang menyakitkan. Dengan menyeka air mata, Adelia berbalik dan berlari menjauh. Aku hanya berdiri mematung, tak menyangka jika Adel begitu marah kepadaku.
          Dari kejauhan aku mengamatinya. Mala mini langit begitu cerah, terlihat seperti lomba sinar bintang, antara yang satu dengan yang lain saling menonjolkan cahayanya. Aku pun tak heran jika Adelia asyik menatap langit dari 2 jam yang lalu. Namun ada yang aneh, senyum tak ada di bibirnya. Kedua mata yang selalu berbinar, kini redup.
          “Hai, malam yang indah . . .” Aku berusaha menciptakan kembali percakapan di antara kami yang sudah terbelenggu semenjak perdebatan kemarin.
          “Iya, kamu benar. Tapi sayang, rasanya hatiku hampa, gelap tanpa tersentuh cahaya sedikitpun.” Kedua mata itu tetap menatap langit. “Aku senang menikmati langit malam yang berbintang. Bagiku, hidup mereka sangat mulia. Dengan senang hati mereka menyinari malam walaupun tubuh mereka terkadang lebih kecil dari bulan. Mereka tak perduli jika banyak manusia di bumi yang enggan menganggap mereka ada. Bagi manusia, bintang hanyalah bintang, kecil dan tak menarik. Aku menyukai mereka bahkan melebihi diriku sendiri. Mereka juga tak bosan menjadi tempat mengaduku selain Sang Pencipta. Mereka juga punya beribu solusi dari setiap permasalahanku, begitu juga dengan konflik di antara kita.”
          “Maksud kamu apa?” Aku berusaha mengklarifikasi pernyataannya.
          “Selama ini aku telah memberimu harapan tentang hatiku, hingga tak sadar tumbuh benih-benih yang lain di antara kita. Tapi itu semua aku lakukan dengan terpaksa. Aku tidak benar-benar tulus bersahabat denganmu. Bagiku kamu hanyalah batu loncatan untuk prestasiku di sekolah. Maaf, aku sudah bosan bersamamu.Bagiku, kamu bukan siapa-siapa di hatiku, bahkan tak pernah terbesit sedikitpun di hatiku rasa yang lain untukmu”
          DEEEGGGG . . .
          Hati ini rasanya sakit. Ku tatap kedua mata itu, dingin dan beku. Aku merasa dilempar dari suatu tebing yang terjal, begitu dalam, tak ada cahaya sedikitpun. Gadis yang selama ini mengisi relung hatiku, yang telah mengajariku siapa itu Tuhan dan bagaimana aku harus bersikap yang religius, kini dengan mudahnya dia mengatakan, maaf aku sudah bosan denganmu. Sungguh, aku salah menilai Adelia. Tanpa menuntut penjelasan aku bangkit, “Terima kasih, selama ini kamu sudah mau menjadi guru kehidupanku, sudah menjadi pengisi hatiku, jujur, jika hati ini tak memiliki rasa apapun terhadapmu, akan dengan mudahnya aku berpaling. Tapi hati ini sudah terlanjur luka, aku suka kamu Adelia, dan dengan mudahnya kamu campakan aku. Kukira kamu adalah bintang di hatiku, tapi aku salah, kamu tak ada bedanya dengan cewek lainnya, Jilbab dan kerudungmu telah menipuku. Persetan dengan semuanya, aku bersumpah dan bintang-bintang di atas sana yang menjadi saksiku, mulai detik ini enyahlah kamu dari hadapanku, pergilah sejauh mungkin dari kehidupanku. Bagiku, kau dan bintang, cahaya kalian adalah cahaya semu dan penipu !!!!!.” Aku beranjak meninggalkannya. Hatiku benar-benar luka. Sejak itu aku berhenti dari organisasi PA dan memilih pindah sekolah dan memutus kontak dengan Adelia. Hingga sekarang aku muak melihat bintang.
          Tanpa terasa kedua mata ini basah. Aku terlalu larut dalam ceritaku. Bahkan Radit mulai berkaca-kaca. “Itulah mengapa tiap kali kamu aku ajak bermain basket, kamu menolak. Tiap kali aku ajak kamu mendaki gunung dan keluar malam kamu selalu menolak. Bahkan kamu seolah menutup diri pada semua cewek.” Aku mengangguk mendengar kesimpulan Radit. “Dan hatimu mulai galau ketika Anindhita muncul karena wajahnya menginatkanmu pada Adelia? Dan itu berarti kamu tidak suka Anindhita kan?” Radit berseru sembari menepuk dahinya sendiri. “Sory sobat aku sudah salah nilai kamu. Tapi sebegitu bencinya kamu kepada Adelia, tapi kenapa kamu masih nyimpen ni foto?”
          Aku menggeleng. “Tidak, sejak saat itu sudah kukubur dalam-dalam semua kenangan itu, aku tak sengaja menemukan foto itu di antara tumpukan novel koleksiku. Rencananya tu foto mau aku pakai bukti bahwa aku gak suka pada Anindhita, bahkan merelakan persahabatan kita untuknya.”
          “Thank’s sobat, kamu sungguh berjiwa besar.” Radit memelukku. Sungguh, lega rasa hati ini setelah menceritakan rahasia yang selama hampir dua tahun aku pendam sendiri. Sudah saatnya aku bersikap tegas terhadap Anindhita. Jika aku luluh kepadanya, wajah itu akan selalu menyiksaku.
.......................... * * *  ..........................

          Aku bersorak sembari memeluk Radit ketika namaku tercantum sebagai lulusan terbaik di SMA tempat aku belajar. Walaupun beda tingkat, Radit ikut bersorak bahagia ketika namanya menempati urutan ke dua puluh dari seratus delapan puluh lima siswa yang dinyatakan lulus. Bagiku, semua kerja kerasku selama ini bukan hal yang sia-sia. Kegembiraanku semakin menjadi ketika kedua orang tuaku ikut hadir di acara pelepasanku. “Terima kasih Tuhan, karunia-Mu begitu besar kepadaku. Aku janji, aku gak akan menyia-nyiakan bea siswa yang aku dapatkan ini untuk melanjutkan studi ke Singapore. Karena relasi papa di sana sudah siap menerimaku kerja part time di perusahaan yang dia kelola.” Aku berdoa.
          Aku berhenti bersorak ketika sosok itu mendekatiku. Sejak perselisihanku dengan Radit, aku mulai menghindari Anindhita. Aku sudah berjanji tidak akan mencari cinta lagi hingga aku sudah menjadi pengusaha yang sukses. Mungkin aku sudah gila dengan karir, tapi bagiku cinta hanyalah batu loncatan untuk mencapai karir yang lebih tinggi. Aku yakin, cinta itu akan datang dengan sendirinya jika cinta itu adalah cinta sejatiku.
          “Kau bahkan gak mau ngucapin selamat tinggal kepadaku? Bukankah selama ini aku sudah menjadi teman yang baik intuk kamu?” Anindhita tersenyum ke arahku. Tangannya terulur kepadaku.
          “Aku menerima uluran tangannya dan menjabatnya, “Selamat ya, walaupun kamu anak baru di sini, kamu sudah bisa menempati posisi ketiga, bahkan berhasil mengalahkan Radit.” Aku berusaha untuk tersenyum. Aku berfikir, hari ini adalah hari terakhir aku di Indonesia, jadi aku tidak ingin meninggalkan jejak yang jelek di hadapan teman-temanku.
          “Itu benar, tak hanya prestasi Radit, bahkan aku sudah mengalahkan hatinya.” Anindhita tersenyum manja kepadaku. Aku mngernyit, aku masih belum paham.
          “Kita jadian, sobat . .” Radit menepuk bahuku dari belakang. Aku terkejut. “Dan kami sepakat, kami akan melanjutkan studi di niversitas yang sama.” Jelas Anindhita.
          “Benarkah???!!!!” Aku bersorak, ternyata . . .
          Aku senang mendengarnya. Selama ini usaha Radit gak sia-sia, dia berhasil mendapatkan hati Anindhita. Sontak aku menyemprotkan pilox kea rah mereka dan kamipun berbaur dalam suka.
          Sebelum pergi, aku memutuskan untuk menghadiri acara ultah Anindhita sekaligus acara perpisahan kelas kami. Undangan tertera pukul 19.00 WIB, dan aku sudah tiba tepat satu menit sebelum acara dimulai. Malam itu kami habiskan dengan saling bertukar cerita dalam tawa dan canda. Di sela-sela acara, aku mulai memisahkan diri dari teman-teman yang lain. Entah kenapa, hati aku tergerak untuk menatap foto dinding itu lebih teliti. Di suatu ruang tepatnya sebuah ruang keluarga, ada sebuah foto besar, dan disekelilingnya beberapa foto kecil berdiri tegak di atas almari kecil. Aku menghentikan langkah seketika, ketika di foto itu . . . .
          “Itu foto aku, mama, papa, kak Angga dan saudara kembarku Adelia.” Tiba-tiba saja Anindhita sudah berdiri di sebelahku. Dia tersenyum ketika melihat keterkejutanku. “Ayo sini aku tunjukkan sesuatu kepadamu.” Tanpa menunggu persetujuanku, dia menarik tanganku dan mengajakku ke suatu kamar. Ketika pintu kamar itu terbuka, aku terkesima. Kamar yang indah. Anindhita berjalan ke suatu almari dan mengambil sebuah album foto dan menyerahkannya kepadaku. “Sebaiknya kita ngobrol di taman, kalau di sini aku takut terjadi salah paham di antara kamu dan Radit.” Aku mengangguk setuju.
          Kubuka lembar demi lembar album foto itu, semua berisi fotoku dan foto Adelia. Dari masa Adelia kecil, besar, hingga dia mulai ikut berorganisasi denganku. Ada satu foto yang aku suka, foto itu diambil ketika kami mendaki gunung Bromo, dia tertawa lepas ketika melihatku terjatuh. Entah siapa yang mengambil gambarnya, saat itu aku dan dia sama-sama tersenyum ketika aku tidak berhasil meraih tangannya yang berniat membantuku berdiri. “Ah, masa itu . . .” Aku tersenyum mengingatnya. Namun, ketika aku teringat malam dimana dia mencampakku, aku segera menutup album dan berniat pergi, namun tangan Radit menahanku, “Kami gak akan ijinkan kamu pergi sebelum kamu tahu kejadian yang sebenarnya.”
          Aku menepisnya. “Cukup, persekongkolan apa lagi yang kalian rencanakan hah? Kamu Radit !!!” Aku menunjuk ke arahnya, “bukankah kamu tahu aku begitu muak kepadanya, kenapa kamu malah menahanku di sini?” Aku benar-benar marah.
          “Aku harus menyampaikan pesan terakhir Adelia sebelum dia meninggal.” Anindhita berusaha meyakinkanku. “Meninggal?” Aku memastikan pendengaranku. Anindhita mengangguk. “Baiklah, sekarang jelaskan kepadaku, aku gak mau berlama-lama di sini.” Aku kembali duduk di samping Radit, Aku siap mendengarkan penjelasan dari Anindhita walaupun aku masih sangsi kepadanya, dan Anindhita mulai bercerita.
          Tak lama setelah kamu beranjak dan pergi meninggalkan Adelia sendiri, dia mulai menangis dan berkata “Bintang, kau tahu, sudah lama aku menyimpan rasa ini untuknya. Aku gak perduli, walaupun aku lemah, aku memaksakan diri untuk gabung dalam organisasi yang dia naungi. Semua itu aku lakukan karena aku menyukainya. Aku ingin selalu ada di sisinya walau aku tahu waktuku gak lama lagi. Aku sedih jika kamu gak muncul, aku juga benci jika langit turun hujan. Bukannya aku gak bersyukur karena hujan juga nikmat untukku, tapi hujan selalu mengingatkanku pada bencana itu.”
          Saat itu, dia masih berumur delapan tahun. Dia sangat suka hujan. Adelia bahkan rela bermain di antara genangan air hujan, bahkan dia sering duduk di bawah talang air dan membiarkan rambutnya terguyur begitu saja. Beda denganku, walaupun kami saudara kembar, aku justru sangant membenci hujan. Hujan membuat tanah becek, dan mengotori sepatuku. Sore itu, kami bermain di teras. Karena hujan turun deras, aku memaksa Adelia untuk tetap bermain di teras. Namun karena kecerobohanku, bola itu terlempar kea rah jalan raya. Adelia mulai merajuk Kak Angga, kakak tertuaku untuk mengijinkannya mengambil bola tanpa memakai payung. Sebenarnya aku tahu, dia ingin sekali bermain hujan di luar sana, namun kak Angga tetap bergeming. Akhirnya, Adelia nekat dan berlari keluar halaman. Dia melompat riang sambil memainkan air hujan yang membasahi tubuhnya, bahkan dia sengaja berlama-lama mengambil bola. Karena aku sebal, aku memberitahu kak Angga, dan dengan emosi kak Angga mengambil paying dan menarik Adel masuk. Memang dasar Adel anak yang keras kepala, dengan sekuat tenaga dia melempar bola ke arah kak Angga, dan kak Angga terlempar dan tubuhnya jatuh tepat mengenai badan truk yang sedang lewat. Saat itu juga kak Angga tewas. Sejak itu, Adel selalu menyalahkan dirinya. Dia merasa dirinyalah penyebabnya. Kami yang berduka atas kepergian kak Angga, memutuskan untuk pindah ke Surabaya dan meninggalkan Adelia tinggal bersama nenek di Surabaya. Sejak peristiwa itu, Adel mulai membenci hujan.
          Walaupun kami tidak satu rumah, tapi mama dan papa sering datang mengunjungi Adel di Surabaya. Adel tumbuh sebagai gadis yang religius, yang dia punya dan dia anggap sebagai teman hidupnya adalah bintang-bintang di atas sana. Dia sering menghabiskan malam dengan duduk di atas genteng menatap bintang. Sering aku lihat, dia suka bercerita kepadanya.
          Ketika dia mulai mengenalmu, kamipun mulai tahu kalau dia mengidap Leukimia akut. Adel gak pernah cerita bahkan dia terkesan menutup diri. Dia ingin merasakan apa itu jatuh cinta dan dia gak perduli dengan larangan dokter untuk selalu mengurangi aktivitasnya. Namun seperti yang kamu lihat, karena rasa kagumnya kepadamu, dia rela mengikuti semua aktivitasmu dengan resiko penyakitnya semakin parah. Dia gak mau operasi, aku masih ingat ketika dia berkata “Manusia itu suatu saat nanti pasti akan mati. Itu adalah takdir. Kita gak bisa mengingkarinya. Jadi biarlah aku seperti ini, tolong, jangan kalian jadikan aku sebagai beban. Aku gak mau dikasihani karena penyakitku ini.” Begitulah Adelia. Mendengar kemauan dan menghadapi keras kepalanya, kami hanya tersenyum sedih dan membantunya untuk menjalankan kemoterapi.
          Puncak penderitaannya di malam ketika kamu bertengkar dengannya. Saat itu Adel gak mau kamu tahu tentang penyakitnya yang semakin parah. Begitu besar rasa sayangnya kepadamu, dia sengaja membuatmu benci dan meninggalkannya, dia berharap kamu suatu saat nanti kamu akan mendapatkan yang lebih baik darinya. Ketika kamu tersinggung dengan ucapannya dan pergi darinya, kondisi Adel mulai kritis. Dia mengalami pendarahan. Dua minggu berikutnya, dia koma, dan tepatnya dua tahun yang lalu dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
          Dia tetap ngotot gak mau ngubungi kamu, bahkan saat dia dimakamkan nanti dia tetap ngotot merahasiakannya dari kamu. Mau gimana lagi, wasiat tetap wasiat. Aku sebagai saudara kembarnya gak bisa merahasiakannya lagi. Aku tahu kamu begitu kecewa hingga tak pernah sedikitpun kamu mau angkat telfon dan balas sms darinya. Tepatnya tiga bulan yang lalu aku memutuskan pindah ke Surabaya dan sengaja memilih satu sekolah dengan kamu. Gak susah kok ngelacak data kamu, dan aku beruntung aku ditempatin satu kelas sama kamu.
          Mulanya aku mulai menarik perhatian kamu. Aku ingin buktikan pada mendiang Adelia dan pada diriku sendiri kalau kamu sama seperti cowok-cowok yang lain. Aku ingin buktikan kalau semua cerita Adelia tentang kamu itu salah, dan ternyata, justru aku yang salah. Kamu benar-benar cowok yang tangguh, walaupun aku tahu sejak kisah kamu dan Adel berakhir kamu mulai menutup diri dari yang namanya cewek, kukira kamu trauma. Atas nama mendiang Adelia, aku minta maaf, karena sikapnya yang keras kepala, dia harus mengorbankan perasaan kamu. Tapi tolong, jangan kamu benci dia lagi ya, mungkin dia masih belum bisa tenang di sana . . .
.......................... * * *  ..........................
          Aku menatap koper besar di tempat tidurku. Sudah saatnya aku harus meninggalkan negara ini dan terbang ke Singapore. Udara berhembus menyibakkan tirai jendela kamarku. Aku sengaja membukanya agar aku bisa leluasa menatap langit. Ada satu bintang di atas sana, cahayanya telah mengalahkan hatiku. “Adelia Paramitha, mungkin lewat bintang itu kamu mau menyapaku. Kamu tahu, sejak aku kenal kamu, aku mulai terbiasa duduk diam menatap bintang dan terkadang aku mengajaknya bicara. Namun kebiasaan itu pudar ketika kamu campakkan aku begitu saja. Mungkin aku yang terlalu egois, hingga aku memutuskan kontak denganmu saat itu juga. Aku benci kamu Adel. Tapi aku sadar, kamu melakukan yang terbaik untuk kita. Maaf, mungkin hanya itu yang bisa aku katakan, semoga kamu tenang di sana. Trims Adel, aku merasa lebih tenang sekarang, dan oia, trims juga ya udah kasih aku album foto itu, karena di situlah aku menemukan jati diri aku, bersamamu dan bersama bintang di atas sana . . .” Ku dekap album foto itu, aku janji, aku akan merawatnya, gak akan ku biarkan kenangan-kenangan itu musnah begitu saja. Aku berharap siapapun pengisi hatiku nanti, dia memiliki hatimu, hati yang indah, seindah cahaya bintang . . . .


END
^_^

Kamis, 08 Mei 2014

TRIMS AMEL ,,,,,,

For my friend, ayu kim ,,,,,, ^_^
Sering aku melihat satu atau dua cewek berjilbab melewati jalan ini. Anggun sekali. Namun ketika satu jam berlalu, di jalan yang sama namun berbalik arah, jika kita tak jeli kita tidak akan tahu perubahan gaya berpakaian mereka. Rok mini, tank top dan high heels, seakan menjadi trend mereka. Belum lagi gaya rambut mereka, merah, kuning, hijau  dan kelabu. Aku jadi keinget traffic light di persimpangan. Sebetulnya mereka dari mana dan apa yang akan mereka lakukan ???
            “Kamu tuh aneh ya Mif, gak ada kerjaan lain apa? Kok kerjaannya nyelidiki orang-orang kayak gitu . . . “ Kata Anggi suatu hari ketika aku mendiskusikan masalah ini. Aku Cuma merenung. Aku semakin penasaran, sebenarnya mereka siapa . . .
------------------------------- *** --------------------------
            Aku menggerutu. Siang ini matahari sangat terik. Dua gelas es cendol pun tak mampu menaungi dahagaku. Belum lagi jalanan yang macet. Menambah sesak udara saja. Aku melongok ke dalam gerobak. Hari ini hari rejeki si abang es cendol. Es cendolnya laris manis, gak ada sisa sedikitpun. Aku memperhatikan senyum si abang, indah sekali, rasanya tidak ada sedikitpun rasa kesal di hatinya. Mengingatkanku pada senyum umi dan abi, tapi . . . .
            “Pagi sayang, lihat deh kak Anggun makin cantik ya kalau pakai jilbab itu . . .” Aku mengerling Kak Anggun. Di sebelahku dia hanya tersenyum. “Coba kalau Mifta mau berjilbab kayak kak Anggun dan umi, pasti abi lebih seneng . . .” Aku membanting sendok. “Selalu saja abi dan umi membanding-bandingin Mifta dan Kak Anggun. Memangnya kenapa kalau Mifta gak mau pakai jilbab? Dunia aja gak peduli.” Kursi berderak keras ketika aku berdiri. Selalu saja pagiku berawal dengan kemarahan. Aku sadar umi pasti terluka, Kak Anggun juga. Tapi sepertinya hatiku sudah berkobar. Aku iri jika abi dan umi memuji kak Anggun. Aku jadi curiga, aku ini anak kandung mereka atau bukan.
            “Maaf neng Mifta, gelasnya boleh abang ambil, sekalian abang mau berbenah . . .”Aku terkejut. Membuatku sadar dari lamunanku. Gelas es cendol masih di tanganku. “Ini bang, jadi semuanya berapa?” Tanyaku malu.
            “Kalau sama neng Anggi jadi tiga ribu. . .” jawab si abang es sambil tersenyum. Senyum yang indah. Andai aku bisa tersenyum sepertinya. Hari ini cukup membuat bibirku kelu untuk tersenyum. “Maaf bang, ini uangnya, terima kasih” Kataku buru-buru.
            Waktu berlalu lambat seakan ingin ditujukan kepadaku. Aku menghela nafas. Langkah terakhirku sudah tiba. Aku berdiri di depan pintu. Aku rindu suasana rumah yang dulu. Tapi mengingat peristiwa pagi tadi, aku jadi termenung di depan pintu.
            “Mifta . . . Kenapa tidak masuk? Ayo, ada yang mau umi tunjukan ke kamu nak . . .” Suara itu membuatku menoleh, aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah umi.
            Suasana rumah sepi, jam segini memang abi masih di kantor dan Kak Anggun masih di kampusnya. Aku menghela nafas sesak. Rasanya sudah berhari hari aku tidak masuk ke ruang keluarga. Ruang dimana kami menghabiskan hari libur. Di pojok ruang sebuah foto besar menarik perhatianku. Saat itu masa kelulusan kak Anggun. Rambutnya yang hitam berayun manja di bahuku. Kontras sekali dengan warna merah rambutku. Aku yang lebih fashion dari kak Anggun, saat itu terlihat lebih tomboy. Tak sadar aku tersenyum.
            “Kangen ya pada masa itu?” Aku menoleh. Umi masih sibuk dengan bunga di tangannya. Aku baru sadar kalau umi tadi dari kebun, seperti biasa, umi selalu mengisi setiap pojok ruang dengan bunga-bunga taman, sehingga hampir tiap hari umi selalu menggantinya.
            “Mifta dan kak Anggun adalah bunga umi dan abi. Kami berharap kalian akan tumbuh indah seperti bunga di taman depan, tetapi tidak hanya di musim semi. Umi dan abi ingin kalian bermekaran di setiap waktu.” Aku tetap di tempat. Sepertinya amarah masih menaungi hatiku.
            “Umi pengen Mifta pakek jilbab kayak Kak Anggun . . .” Kalimat yang singkat. Aku menoleh. Lagi-lagi masalah itu. Ku rebahkan diri di kursi, menghela nafas, mulai menata hati.
            “Buat apa pakek jilbab kalau kelakuan kita gak baik, cuma nambahin dosa saja.” Kataku pelan. Umi menatap wajahku, tersenyum. “Banyak kok mi, cewek-cewek di luar sana yang pakek jilbab tapi cuma untuk tudung kepala saja. Pagi pakek jilbab, malamnya keluar sama om-om . . .”
            Aku menghela nafas, mengingatkanku pada malam itu. Aku sengaja duduk di teras rumah sambil sesekali mengamati jalan. Aku ingin tahu siapa cewek-cewek berjilbab yang tempo hari lewat depan rumah. Aku penasaran. Menit
            Mengendap-endap, ku pelankan suara, ku ikuti mereka. 5 menit berjalan, kulihat mereka berhenti di depan sebuah rumah. Rumah terbesar di antara rumah lainnya. Seorang ibu muda, tinggi, cantik, tersenyum ke arah mereka. Merekapun masuk ke dalam rumah. Dalam hati aku menggerutu. “Sial . . . !!!! Kenapa aku gak bawa jaket tadi.” Udara malam mulai menusuk persendian tulangku. Aku berjongkok di semak-semak, menyembunyikan diri. Walaupun ini malam hari, tapi aku yakin jika aku tak berhati-hati orang-orang di sana akan tahu keberadaanku. Ku lihat beberapa orang laki-laki berjaga di sekitar rumah besar. Dari kejauhan saja sudah jelas siapa mereka, body guard. Kalau aku tertangkap, hhhhmmm mungkin aku akan dikuliti bersama-sama.
            10 menit berlalu. Sedan hitam melintas di depanku. Berhenti di depan body guard tadi. Satu dari mereka terlihat berbincang di kaca mobil, kemudian mengangguk dan sedan hitam itupun berlalu. Dari dalam rumah keluar tiga cewek berjilbab tadi. Masing-masing memakai gaun malam yang berbeda. Aku kenal tawa mereka. Bertiga masuk ke dalam mobil, kemudian diikuti oleh wanita cantik tadi bersama seorang pria berkaca mata hitam. Sekilas terlihat pria itu terlihat seperti pria hidung belang. Aku mulai menahan nafas ketika sedan hitam itu mulai melaju. Belum sempat aku bernafas lega, sedan hitam itu berhenti. Seperti memberi kata sandi, kemudian sedan hitam itu melaju, melewati semak-semak tempatku bersembunyi. Aku mengikuti arah sedan hitam tersebut, hingga aku mulai sadar, dua orang body guard mulai berjalan ke arahku. Dan sialnya . . . .
            “Insya Alloh, Insya Alloh . . . Insya Alloh, you find the way . .” hp ku berbunyi. Ring tone dari Maher Zain membuatku terkejut. Umi memanggil . . . . “Siapa di situ?” Bentakan itu membuatku segera menekan tombol reject hp ku. Aku berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Semak belukarpun ku terjang, bahkan aku tak berhenti ketika ada parit kecil. Aku tak peduli. Keringat dingin dan kecemasan mulai menguasai hatiku. Bagaimanapun caranya aku harus scepatnya tiba di rumah. Hampir saja aku kehabisan nafas ketika ku dengar suara beberapa ibu mengobrol. Aku menoleh. Masjid. Alhamdulillah aku tahu di mana aku saat ini. Rumahku hanya beberapa meter dari masjid. Sembari menata nafas, aku mulai berjalan tenang.
            “Mifta . . . Ada yang kamu risaukan nak?” Aku tersadar. Ternyata aku melamun, mengenang peristiwa malam itu hingga tak sadar wajah khawatir umi masih memperhatikanku. Tanpa menjawab, aku berlalu menuju pintu, “Sudahlah umi, jangan paksa Mifta untuk berjilbab. Sampai kapanpun Mifta gak akan mau. Karena Mifta yakin gak semua cewek berjilbab itu baik, buktinya mereka pakek jilbab tapi umi lihat sendiri bagaimana pakaian mereka. Cuma buat mata lelaki melotot. Lebih baik Mifta seperti ini. Lagipula umi tahu sendiri, Mifta masih mau sholat dan membaca qur’an. Bukankah itu lebih baik kan umi ??” Tanpa menoleh lagi, aku menuju pintu kamar dan menutupnya.
            Ku pandang langit-langit kamar, tatapanku kosong. Dulu rumah ini terasa surga bagiku. Damai dan penuh canda. Sejak Kak Anggun memutuskan memakai jilbab. Di usianya yang memasuki 20 tahun, Kak Anggun menyampaikan niatnya kepada abi dan umi.
            “Abi, umi . . . boleh tidak kalau Anggun pakai jilbab? Walaupun tidak sesempurna umi, tapi Anggun pengen belajar.” Kak Anggun yang ku kenal sebagai cewek modis, selalu merawat setiap centi rambutnya dengan tonik, yang selalu kalang kabut kalau ada sehelai rambutnya yang rontok, kini tiba-tiba memutuskan berjilbab. “ Kakak yakin?” Aku memastikan pendengaranku.
            “Insya Alloh kakak yakin, doakan kakak ya . .” Senyum khasnya seakan mempertegas kata-katanya. Aku menggaruk kepala. Aneh, dan aku juga tak meragukan bagaimana ekspresi abi dan umi. Mereka begitu antusias. Dan akhirnya sisa hari itu dihabiskan untuk membantu Kak Anggun memilih beberapa jilbab dan pakaian muslimah. Semenjak itu, abi dan umi selalu membujukku untuk ikut berjilbab seperti Kak Anggun. Mereka bilang berjilbab itu adalah perintah Alloh dan kewajiban kaum hawa. Tapi bagaimana dengan mereka yang hanya menggunakan jilbab mereka untuk menutupi aib mereka? Seperti cewek-cewek centil di lokalisasi yang aku lihat. Aku menghela nafas. Mengapa persoalannya jadi rumit seperti ini . . . .
            Hp ku bergetar. Satu pesan masuk dari umi. Sholat ashar dulu ya, setelah itu baru istirahat. Umi yang baik. Setiap aku gelisah, umi tahu bagaimana menenangkanku. Andai saja umi dan abi tidak selalu membujukku . . .
------------------------------- *** --------------------------
            Suasana pagi ini tidak seperti biasa. Di meja makan hanya ada umi. Dua kursi kosong. “Semalam Abi berangkat ke Bandung mengantar Kak Anggun untuk study penelitiannya. Semalam mereka mau membangunkan Mifta, tapi sepertinya Mifta lelah sekali. Jadi mereka titip salam ke umi.” Jelas umi menjawab tatapanku tadi. Aku mengangguk. Segera ku nikmati sepiring nasi goreng dan segelas susu buatan umi. Mulai semalam aku gak makan. “Pelan-pelan Mifta, nanti kesedak . . .” kata umi memperhatikanku. “Iya . . .” Jawabku singkat.
            “Langsung berangkat Mif? Dijemput Anggi atau diantar umi?” Umi bertanya ketika aku mulai bergegas. “Anggi jemput Mifta um, ya sudah, Mifta berangkat, Assalamu’alaikum . . .” Sembari mencium tangan umi, aku berlalu.
            “Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan ya sayang . .” Aku mengangguk.
            Pagi ini lagi-lagi suasana hatiku suram. Dua jam materi yang dijelaskan di depan kelaspun tak bisa sepenuhnya aku cerna. Hingga bel berbunyi, menandakan pergantian jam. Seperti biasa, suasana kelas sudah campur aduk. Dua jam diam sepertinya membuat seisi kelas gerah. Beberapa ada yang keluar kelas. Cari angin dan cuci mata. Aku mulai mengantuk. Ku jatuhkan kepalaku di atas meja. Pandanganku tertuju ke arahnya, Sosok berjilbab yang sedang duduk manis di pojok depan kelas. Sepertinya dia asyik membaca buku sehingga tak sadar kalau aku sedang memperhatikannya. Siapa dia? Anak barukah? Seingatku, di kelas ini hanya 2 anak yang berjilbab, Sonya dan Lian dan mereka ada di luar sekarang. Ah . . masa bodoh, pasti kelakuannya juga gak beda jauh sama mereka. Genit . . .
            Seperti biasa, sepulang sekolah aku selalu mampir ke abang es cendol. Dari jauh aku melihat beberapa tempat duduk sudah dipenuhi dengan siswa berseragam putih abu-abu. Kalau jam segini pasti warna seragam itu yang mendominasi, tak jarang terlihat juga bapak-bapak berdasi dan bercelana panjang. Aku tersenyum. Sepertinya aku harus siap antri saat ku lihat beberapa siswa mengerumuni si abang, hanya rambut cepak si abang yang berhasil diidentifikasi. “Yuk, buruan !!!” Aku menarik lengan Anggi agar bergegas. Aku tak mau kehabisan es cendolnya si abang. “Iya Mif, sabar dong, gak lihat apa jalanan di depan rame, kamu mau kita mati muda? Kalau aku sih enggak, aku kan masih jomblo . . .” Anggi menahan langkahku. Aku tersenyum, Ada-ada saja ni anak . . .
            Akhirnya . . . . Es cendol yang manis, dingin, dan warnanya yang hijau lumut, hhhmmmm . . . makin ayem rasanya. Setelah berdiri antri, sekitar 3 menit, dua gelas es cendol kini ada di genggaman. Tanpa fikir a, b, c, d, e, f, gelas di tangankupun ludes. Kosong . . .
“Gelasnya pecah ya mbak, cepet amat habisnya . . .” Seorang bapak tersenyum ke arahku. Aku tertawa. “Iya pak, gak tahu nih, si abang kok kasih aku gelas yang pecah, jadinya es cendolnya pada tumpah . . .” Mendengar jawabanku, sontak si bapak dan tentunya si abang cendol tertawa. “Mau tambah lagi es cendolnya mbak Mifta? Kalau kurang besar, biar aku ganti gelasnya dengan . . . .” Belum selesai si abang berkata, Anggi menyahut “Diganti ember saja bang, perutnya Mifta kan karet, jadi elastis.” Hahahahaha . . .  Aku tersipu malu. Tak sengaja tatapanku terarah pada sosok itu. Dia kan . . . .
“Hai Mel !!!” sosok itu menoleh dan tersenyum. Anggi segera bangkit dan menghampirinya, “Kamu mau beli es cendol? Sini gabung sama kita” Anggi menawarkan bangku kosong di sebelahnya. Dia hanya mengangguk dan tersenyum. “Maaf Nggi, es cendolnya aku bawa pulang, lain kali saja ya aku gabung ma kalian.” Pandangannya tertuju ke arahku. Aku berpaling, pura-pura menatap jalan.
“Tak apa, pasti buat ortu di rumah ya?” Dia mengangguk. “Kalau begitu hati-hati ya, jam segini para pengemudi gak peduli sama pejalan kaki. Bagi mereka, jalanan ini hanya milik mereka.” Anggi tersenyum. Dia mengangguk dan melambai kea rah kami. Dia pun berlalu.
“Siapa dia?” Tanyaku setelah Anggi kembali duduk. Anggi tersenyum. “Hallo ….. Nona Mifta yang sok cuek, selama di kelas kamu tadi ngapain? Bukankah Bu Dara sudah memperkenalkan Amel pada kita semua????” Aku hanya angkat bahu. “Dasar …. Makanya kalau di kelas tuh jangan molor terus, gini nih jadinya . . .”
“Kamu mau kasih tahu apa enggak sih? Dari tadi mojokin aku terus” Aku mulai jengkel. Bukannya minta maaf, eh si Anggi malah tertawa. “Kamu makin manis kalau cemberut Mif . . .” Sial !!! Memangnya aku gula, hufth . . .
“Dia namanya Amel Prameswari. Pindahan dari Surabaya. Ortunya dipindahtugaskan di sini. Jadi mau tak mau dia harus ikut ortunya. Hanya itu yang aku tahu.” Aku mengangguk.
Entah mengapa, ada sedikit rasa tidak suka terhadapnya. Memang, semenjak peristiwa di lokalisasi itu, aku semakin ilfeel dan benci dengan cewek berjilbab. Terkecuali umi dan kak Anggun, karena mereka adalah keluargaku dan aku mengenal mereka dengan baik. Bagiku, kebanyakan gadis di sini hanya menggunakan jilbab mereka seadanya. Bahkan ada yang hanya memakai jilbab di saat sekolah saja. Begitu bel pulang berbunyi, jilbab mereka lepos begitu saja. Ada pula yang berjilbab karena mengikuti kekasihnya. Setelah putus, merekapun kembali tidak berjilbab. Bukankah itu jelas? Bagi mereka jilbab hanya dijadikan sebagai tudung kepala saja. Lain halnya dengan mereka yang memutuskan tidak berjilbab. Tak jarang pula, sikap mereka lebih baik ketimbang cewek berjilbab lainnya. Aku berfikir, banyak kok cewek yang gak berjilbab, kelakuannya begitu mulia. Seperti gadis kecil itu. Di tengah hiruk pikuknya jalan, gadis itu dengan senang hati merelakan tangannya yang kecil untuk membimbing seorang nenek yang sedang terjebak kendaraan. Aku tersenyum. Selama aku masih mampu menjaga sikapku, buat apa aku berjilbab. Bukankah yang terpenting adalah bagaimana akhlak dan aqidah kita.
------------------------------- *** --------------------------
“Sebenarnya aku gak mau jika harus meminjam buku catatan ke Amel. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya dia yang punya catatan itu.” Aku menggerutu. Ku lihat catatan di kertas kecil, Jalan Anggrek II nomor 4A. Ini dia.  Rumah sederhana dengan halaman yang luas. Beberapa buah terlihat ranum dan siap dipanen, ditambah warna-warni bunga yang tumbuh sumbur, hhhmmmm . .  sepertinya halamannya terawat rapi. Walaupun rumah ini kecil, aku menemukan kedamaian di dalamnya.
Sebuah sedan abu-abu keluar dari pagar dan berhenti di depanku. Seraut wajah yang elok, seumuran dengan umi, tersenyum ke arahku. “Temannya Amel ya?” Aku mengangguk. “Amel ada di dalam, tante dan om pergi dulu ya” Matanya mengisyaratkan ke lelaki di sebelahnya. “Iya tante . . .” Wanita itu melambai. Ku lihat Amel sudah berdiri di pintu dan melambai. Aku bergegas ke arahnya.
“Hai Mif, gak susah kan nyari alamatku?” Mifta menghampiriku sembari membawa minuman dingin. Aku menggeleng. “Diminum airnya ya, maaf hanya segelas air putih.” Aku mengangguk, “Tidak apa . . .” Aku menatap dua foto besar di dinding. Foto yang sama, seorang pria dan wanita yang sedang duduk dan di belakangnya sepertinya dua orang anaknya. Seorang laki-laki dan perempuan. Tapi kenapa dua foto itu berbeda ???
“Foto yang sebelah kanan itu adalah foto kami bersama ayah kandungku. Kalau yang di sebelah kiri, itu foto kami bersama ayah tiriku. Ayahku telah berpulang ketika aku berumur 13 tahun. Dua tahun yang lalu bunda menikah lagi, tentunya kamu sudah bertemu mereka tadi.” Amel menjelaskan kepadaku.
“Maaf Mel, aku turut berbela sungkawa.” Kataku murung. Tak ku sangka Amel punya ayah tiri. “Oiya, di foto yang itu kenapa kamu gak pakai jilbab?” Tanyaku sembari menunjuk foto di sebelah kanan. Amel mengangguk. “Aku mulai berjilbab ketika masuk SMP, tepatnya setahun setelah foto itu diambil.” Aku mengangguk. Mataku mulai menjelajah isi ruangan, dan hampir saja aku tersedak. Tanda itu . . .
“Kamu kaget ya Mif ada salib di rumahku? Sedangkan aku berjilbab.” Aku mengangguk. Sembari menatapku, Amel bercerita. “Dua tahun setelah ayah meninggal, bunda memutuskan untuk menikahi seorang lelaki yang pernah membantunya melunasi hutang-hutang ayahku. Namanya Om Revan. Dia bekerja di sebuah bank dan tepatnya atasan bunda. Pada mulanya aku tidak setuju bunda menikah dengannya, begitu pula kakak ku, Irvan. Sebenarnya om Revan orangnya baik, tapi kami tidak setuju kami beda keyakinan.”
Ku dengar Amel menghela nafas. Sepertinya pilihannya begitu berat. “Namun apa daya, kami tak bisa mencegah bunda. Akhirnya kami menyetujuinya dengan syarat om Revan bisa menghormati keyakinan kami. Bunda pun menyetujuinya. Kami pun lega sampai bunda memutuskan pindah keyakinan mengikuti om Revan. Saat itu Kak Irvan murka dan memutuskan untuk pergi dari rumah. Sedangkan aku ikut paman.”
“Setahuku, di agama muslim ketika kita pindah keyakinan, itu dosa besar.” Aku memberanikan diri untuk bersuara. Amel mengangguk. “Tapi kenapa kamu membiarkan bundamu begitu saja?”
Amel menggeleng. “Aku dan kak Irvan sudah mencoba segala cara. Sampai kak Irvan dan aku mengancam gak pulang ke rumah, tapi bunda tetap teguh pada pendiriannya. Kami sempat kabur dari rumah, bahkan hampir sebulan. Bunda malah masuk rumah sakit. Akhirnya kami menyerah dan kembali ke rumah. Dan bunda pun pindah keyakinan. Ya inilah jadinya, seperti yang kamu lihat.”
“Apakah kamu tidak terganggu dengan ibadah ortu kamu?” Sepertinya rasa penasaranku kambuh lagi. Amel tersenyum. “Enggak Mif, mereka lebih sering ibadah di gereja. Aku gak tahu pasti bagaimana ibadah mereka, yang aku tahu mereka berdoa tiga kali dalam sehari.”
“Wah, seperti makan obat dong, hehehe” Aku mencoba bercanda. “Kamu tuh ada-ada saja Mif, hehehehe, setahuku mereka berdoa setiap pagi hari ketika mereka bangun tidur, sore hari menjelang maghrib dan malam sebelum tidur. Selain itu mereka juga punya beberapa kegiatan di gereja. Ada kebaktian, pendalaman injil, siraman rohani kalau di kita namanya pengajian.”
“Memangnya ada tempat tersendiri ketika mereka berdoa?” Aku mulai tertarik untuk berdiskusi. “Mereka berdoa di depan salib yang sudah diberkati. Setelah itu mereka beraktifitas biasa seperti kita.” Mifta menjelaskan. Aku mengangguk paham. “Aku pernah tahu ada beberapa umat Kristen ketika mereka beribadah mereka selalu menyanyikan lagu-lagu. Sebenarnya itu lagu apa?”
Mifta beranjak dari kursi dan berjalan menuju tumpukan buku di almari. Sepertinya dia membawa sebuah buku, tapi apa??? “Ini adalah buku kumpulan dari lagu-lagu itu.” Amel menyerahkan kepadaku. “Lagu-lagu itu adalah pujian untuk Tuhan mereka. Kalau kita biasanya bersholawat untuk Nabi Muhammad dan berdzikir untuk mendekatkan kita kepada Alloh. Begitu pula dengan lagu-lagu itu. Aku pernah tahu ketika Bunda mengundang pendeta di rumah. Sebelum memulai kajian injil biasanya mereka menyanyikan puji-pujian diiringi alat musik. Kadang piano, gitar dan lainnya. Setelah kajian selesai, biasanya mereka makan-makan.” Setelah puas melihat-lihat isi buku, aku mengembalikannya.
“Apa kamu pernah ikut makan bersama mereka?” Tanyaku berlanjut. Amel menggeleng. “Enggak Mif, biasanya aku memilih makan di luar dengan kak Ivan.”
Aku merenung . . .  “Pernah nggak kamu tanya ke om Revan dan bunda kamu, kenapa mereka menganggap yesus sebagai Tuhan mereka?” Sepertinya Amel terkejut. “Sorry . . .” Aku meringis. Aku tak tahu jika reaksi Amel seperti ini, jadinya aku merasa bersalah. Ku lihat Amel merenung, beberapa menit kemudian dia menghela nafas. “Jujur aku tidak pernah bertanya, karena aku yakin itu adalah privasi mereka. Aku harus menghormati mereka Mif. Aku berfikir, jika kita umat muslim ditanya, mengapa kita menganggap Alloh sebagai Tuhan kita, pastinya ada beberapa orang yang tersinggung. Mungkin beberapa dari mereka berfikir kalau mereka meragukan Tuhan kita. Begitu pula dengan bunda dan om Revan. Selama mereka masih bisa menghormati keyakinanku aku tidak akan ikut campur urusan mereka.”
Aku merasa ditampar. Selama ini aku selalu ingin ikut campur pada semua masalah orang lain. Rasa ingin tahuku yang gak bisa ku kendalikan, terkadang justru membuat orang lain gak nyaman. Astaghfirulloh, aku baru sadar dengan kesalahanku ini.
“Setahuku pemeluk agama Kristen mengimani bahwa yesus kristus adalah Tuhan dan juru selamat dan mereka memegang ajaran yang disampaikan oleh Yesus kristus. Selain itu, mereka percaya bahwa Yesus Kristus adalah pendiri jemaat dan kepemimpinan gereja yang abadi. Maaf ya Mif, aku gak gitu paham dengan agama mereka” Jelas Amel sembari mengembalikan buku di tempatnya.
Aku mengangguk. Aku juga gak boleh memaksa Amel untuk menjelaskan secara rinci tentang keyakinan bundanya, karena itu adalah hak mereka. “Lalu apakah kamu tidak kesuliatan ketika melakukan ibadah? Ya seperti sholat dan puasa Ramadhan?”
Amel menatapku. “Alhamdulillah tidak Mif, mereka sangat menghormatiku. Ketika Ramadhan, mereka juga tidak ikut makan. Tapi bedanya sahurnya mereka jam 7 pagi, setelah itu mereka tidak makan hingga waktu buka.”
“Oooo…. Alhamdulillah ya, ortu kamu sangat pengertian. Aku salut ma kamu Mel, kamu bisa tetap teguh mempertahankan keyakinan kamu sedangkan ortu kamu sendri berbeda keyakinan. Dulu aku menganggap cewek berjilbab itu hanya menggunakan jilbab mereka sebagai penutup kepala seperti topi, setelah gerah mereka lepas begitu saja. Tak jarang pula sikap mereka bertolak belakang.”
“Kalau kamu berfikiran seperti itu, kamu salah Mif. Berjilbab itu memang kewajiban bagi semua kaum hawa di agama kita karena hampir seluruh badan kita adalah aurat. Berjilbab itu harus dimulai dari diri sendiri. Kita jilbabin hati kita dulu. Kalau ada niat yang tulus, pasti hati dan badan kita bisa berjilbab dengan benar. Kalau kamu melihat cewek-cewek berjilbab tapi akhlak mereka bertolak belakang, itu tandanya niat mereka belum tulus. Mereka masih belum mengerti bagaimana berjilbab dengan benar. Itu semua butuh waktu dan butuh pembelajaran Mif, Insya Alloh suatu saat nanti mereka akan dibuka hatinya. Aku menghela nafas dan Amel manatapku tajam “emang banyak cewek yg mengatakan ingin menjilbabi hati dulu baru pake jilbab buat nutup aurat, tapi selama mereka gak ada niat ya.. sampai kapan pun mereka gak akan berjilbab, kamu gak mau dimasukin ke dalam golongan cewek2 itu kan mif? Apa kamu mau terus-terusan bilang ingin menutupi hati dulu? Hingga akhirnya kain kafan memaksamu buat nutupin auratmu, kamu mau kayak gitu?”
Aku tersentak dan memaksaku untuk merenungkan perkataan Amel. Jika difikir-fikir lagi, ada benarnya juga perkataan Amel. Jika kita ingin berhasil, tentunya kita harus punya niat untuk menjadi lebih baik. Pastinya niat itu harus sungguh-sungguh, jika tidak, pasti perbuatan kita tidak akan sesuai dengan niat kita sebelumnya. “Kalau ada seseorang yang akhlaknya baik, santun dan pokoknya TOP BGT dah, tapi dia belum mau berjilbab bagaimana?”
Ku lihat Amel terdiam, sepertinya dia memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian dia berkata “Berjilbab selain sebagai kewajiban juga sebagai penyempurna akhlak. Kalau seseorang akhlaknya sudah baik, dia selalu menjaga ibadah, hati, lisan dan inderanya, pasti akhlaknya menjadi lebih sempurna dengan berjilbab. Jika dari semula kita sudah bisa menata hati, insya alloh, jilbab itu akan menambah keyakinan kita pada-Nya. Kalau diibaratkan ada sebuah kain yang indah. Kainnya yang sehalus sutra dengan warna lembut akan terlihat mempesona. Terlebih lagi, jika kita bawa kain tersebut ke penjahit, lalu kita bentuk kain tersebut menjadi sebuah gaun dengan hiasan pita atau pernak-pernik yang sesuai, pasti kain itu akan lebih bermanfaat dan lebih sedap dipandang mata. Akhlak kita yang baik adalah kain sutra dan jilbab kita adalah aneka pita dan pernak-pernik tersebut. Selain itu, untuk menjadi hijaber yang baik, kita butuh pembelajaran dan panutan seperti penjahit yang mendesain kain tersebut menjadi sebuah gaun yang indah. Kita tidak bisa memaksa seseorang untu berjilbab ketika mereka belum siap. Karena apapun yang dipaksakan pasti hasilnya tidak akan baik dan sesuai dengan harapan. Kita hanya perlu membimbingnya. Seperti batu, sekeras-kerasnya batu jika diguyur dengan hujan terus menerus pasti akan lapuk, begitu juga dengan hati manusia. Pasti suatu saat nanti ada jalan untuk mereka.”
Subhanalloh, ternyata aku salah menilai Amel. Pandangannya yang luas membuatnya terlihat bijak. Padahal aku sadar bagaimana kesulitannya untuk tetap beribadah padahal dia harus berbagi rumah dengan keyakinan lain. Beda denganku. Aku yang dibesarkan dari keluarga muslim, ortu aku juga masih utuh, mereka menyayangiku, tapi kenapa aku mudah marah jika abi dan umi memintaku untuk berjilbab. Sungguh aku keterlaluan.
Aku jadi teringat hari dimana aku menumpahkan tangis umi. Aku begitu marah ketika umi menyampaikan keinginannya agar aku mau berjilbab. Saat itu aku hanya berfikir pendek dan sempit. Aku hanya memandang dari sisi negatifnya saja. Aku juga tidak sadar bahwa tidak semua cewek atau wanita yang berjilbab itu buruk akhlaknya. Seperti umi dan kak Anggun. Bukankah mereka juga  berhati indah. Kata-kata Amel terasa lekat di telingaku, membuatku untuk berfikir lebih luas.            
------------------------------- *** --------------------------
Dua jam aku berpatut diri. Berputar-putar di depan cermin. Aku masih gugup. Berulang kali aku membetulkan letak jilbabku. Ya . . . Dua minggu setelah percakapanku dengan Amel aku memutuskan untuk berjilbab. Aku malu pada Alloh. Jika Amel bisa mempertahankan jilbabnya, kenapa aku tidak bisa? Bukankah orang-orang di keluargaku juga berjilbab. Diam-diam aku mulai membeli beberapa kain untuk seragam baruku bersama Amel. Dia yang membantuku bagaimana memilih baju muslimah yang sesuai dengan seleraku. Dia  juga yang menjadi guru prifatku berjilbab, dengan sabar dia membimbingku. Alhamdulillah, Amel benar-benar tulus membantuku. Aku menatap jam dinding di kamarku. Sudah waktunya aku turun, sebelum umi mengetuk kamarku. Ku raih tas dan ku lirik cermin, aku tersenyum, Bismillah . . .
Di meja makan ada abi, umi dan kak Anggun. Seperti biasa, sembari menungguku abi membaca Koran, umi membantu bibi menyiapkan piring dan kak Anggun sibuk otak-atik handphone. Aku melangkah mendekati meja. Sejenak mereka menyadari kehadiranku dan terdiam. Aku tersenyum gugup. “Subhanalloh Mifta . . .” Suara umi memecahkan sunyi. Aku menggaruk kepala salah tingkah. “Kamu cantik Mif, kakak suka, jadi takut tersaingi nih . . .” Hahaha, semua tertawa mendengar celoteh kak Anggun.
Alhamdulillah, aku merasa lega. Sudah seharusnya aku berjilbab mengikuti langkah umi dan kak Anggun. Mereka sempat bertanya, kenapa aku mau memakai jilbab, aku hanya tersenyum. Aku malu menceritakannya. Biarlah ini semua menjadi rahasia antara aku, Alloh dan tentunya Amel. Tanpanya aku bukanlah Mifta yang sekarang. Trims Amel, aku tersenyum, semoga aku bisa mempertahankan citra jilbab ini di mata semua, Aamiin . . .
  
End . . . . . . . .
^_^


           
 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space