Kamis, 08 Mei 2014

TRIMS AMEL ,,,,,,

For my friend, ayu kim ,,,,,, ^_^
Sering aku melihat satu atau dua cewek berjilbab melewati jalan ini. Anggun sekali. Namun ketika satu jam berlalu, di jalan yang sama namun berbalik arah, jika kita tak jeli kita tidak akan tahu perubahan gaya berpakaian mereka. Rok mini, tank top dan high heels, seakan menjadi trend mereka. Belum lagi gaya rambut mereka, merah, kuning, hijau  dan kelabu. Aku jadi keinget traffic light di persimpangan. Sebetulnya mereka dari mana dan apa yang akan mereka lakukan ???
            “Kamu tuh aneh ya Mif, gak ada kerjaan lain apa? Kok kerjaannya nyelidiki orang-orang kayak gitu . . . “ Kata Anggi suatu hari ketika aku mendiskusikan masalah ini. Aku Cuma merenung. Aku semakin penasaran, sebenarnya mereka siapa . . .
------------------------------- *** --------------------------
            Aku menggerutu. Siang ini matahari sangat terik. Dua gelas es cendol pun tak mampu menaungi dahagaku. Belum lagi jalanan yang macet. Menambah sesak udara saja. Aku melongok ke dalam gerobak. Hari ini hari rejeki si abang es cendol. Es cendolnya laris manis, gak ada sisa sedikitpun. Aku memperhatikan senyum si abang, indah sekali, rasanya tidak ada sedikitpun rasa kesal di hatinya. Mengingatkanku pada senyum umi dan abi, tapi . . . .
            “Pagi sayang, lihat deh kak Anggun makin cantik ya kalau pakai jilbab itu . . .” Aku mengerling Kak Anggun. Di sebelahku dia hanya tersenyum. “Coba kalau Mifta mau berjilbab kayak kak Anggun dan umi, pasti abi lebih seneng . . .” Aku membanting sendok. “Selalu saja abi dan umi membanding-bandingin Mifta dan Kak Anggun. Memangnya kenapa kalau Mifta gak mau pakai jilbab? Dunia aja gak peduli.” Kursi berderak keras ketika aku berdiri. Selalu saja pagiku berawal dengan kemarahan. Aku sadar umi pasti terluka, Kak Anggun juga. Tapi sepertinya hatiku sudah berkobar. Aku iri jika abi dan umi memuji kak Anggun. Aku jadi curiga, aku ini anak kandung mereka atau bukan.
            “Maaf neng Mifta, gelasnya boleh abang ambil, sekalian abang mau berbenah . . .”Aku terkejut. Membuatku sadar dari lamunanku. Gelas es cendol masih di tanganku. “Ini bang, jadi semuanya berapa?” Tanyaku malu.
            “Kalau sama neng Anggi jadi tiga ribu. . .” jawab si abang es sambil tersenyum. Senyum yang indah. Andai aku bisa tersenyum sepertinya. Hari ini cukup membuat bibirku kelu untuk tersenyum. “Maaf bang, ini uangnya, terima kasih” Kataku buru-buru.
            Waktu berlalu lambat seakan ingin ditujukan kepadaku. Aku menghela nafas. Langkah terakhirku sudah tiba. Aku berdiri di depan pintu. Aku rindu suasana rumah yang dulu. Tapi mengingat peristiwa pagi tadi, aku jadi termenung di depan pintu.
            “Mifta . . . Kenapa tidak masuk? Ayo, ada yang mau umi tunjukan ke kamu nak . . .” Suara itu membuatku menoleh, aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah umi.
            Suasana rumah sepi, jam segini memang abi masih di kantor dan Kak Anggun masih di kampusnya. Aku menghela nafas sesak. Rasanya sudah berhari hari aku tidak masuk ke ruang keluarga. Ruang dimana kami menghabiskan hari libur. Di pojok ruang sebuah foto besar menarik perhatianku. Saat itu masa kelulusan kak Anggun. Rambutnya yang hitam berayun manja di bahuku. Kontras sekali dengan warna merah rambutku. Aku yang lebih fashion dari kak Anggun, saat itu terlihat lebih tomboy. Tak sadar aku tersenyum.
            “Kangen ya pada masa itu?” Aku menoleh. Umi masih sibuk dengan bunga di tangannya. Aku baru sadar kalau umi tadi dari kebun, seperti biasa, umi selalu mengisi setiap pojok ruang dengan bunga-bunga taman, sehingga hampir tiap hari umi selalu menggantinya.
            “Mifta dan kak Anggun adalah bunga umi dan abi. Kami berharap kalian akan tumbuh indah seperti bunga di taman depan, tetapi tidak hanya di musim semi. Umi dan abi ingin kalian bermekaran di setiap waktu.” Aku tetap di tempat. Sepertinya amarah masih menaungi hatiku.
            “Umi pengen Mifta pakek jilbab kayak Kak Anggun . . .” Kalimat yang singkat. Aku menoleh. Lagi-lagi masalah itu. Ku rebahkan diri di kursi, menghela nafas, mulai menata hati.
            “Buat apa pakek jilbab kalau kelakuan kita gak baik, cuma nambahin dosa saja.” Kataku pelan. Umi menatap wajahku, tersenyum. “Banyak kok mi, cewek-cewek di luar sana yang pakek jilbab tapi cuma untuk tudung kepala saja. Pagi pakek jilbab, malamnya keluar sama om-om . . .”
            Aku menghela nafas, mengingatkanku pada malam itu. Aku sengaja duduk di teras rumah sambil sesekali mengamati jalan. Aku ingin tahu siapa cewek-cewek berjilbab yang tempo hari lewat depan rumah. Aku penasaran. Menit
            Mengendap-endap, ku pelankan suara, ku ikuti mereka. 5 menit berjalan, kulihat mereka berhenti di depan sebuah rumah. Rumah terbesar di antara rumah lainnya. Seorang ibu muda, tinggi, cantik, tersenyum ke arah mereka. Merekapun masuk ke dalam rumah. Dalam hati aku menggerutu. “Sial . . . !!!! Kenapa aku gak bawa jaket tadi.” Udara malam mulai menusuk persendian tulangku. Aku berjongkok di semak-semak, menyembunyikan diri. Walaupun ini malam hari, tapi aku yakin jika aku tak berhati-hati orang-orang di sana akan tahu keberadaanku. Ku lihat beberapa orang laki-laki berjaga di sekitar rumah besar. Dari kejauhan saja sudah jelas siapa mereka, body guard. Kalau aku tertangkap, hhhhmmm mungkin aku akan dikuliti bersama-sama.
            10 menit berlalu. Sedan hitam melintas di depanku. Berhenti di depan body guard tadi. Satu dari mereka terlihat berbincang di kaca mobil, kemudian mengangguk dan sedan hitam itupun berlalu. Dari dalam rumah keluar tiga cewek berjilbab tadi. Masing-masing memakai gaun malam yang berbeda. Aku kenal tawa mereka. Bertiga masuk ke dalam mobil, kemudian diikuti oleh wanita cantik tadi bersama seorang pria berkaca mata hitam. Sekilas terlihat pria itu terlihat seperti pria hidung belang. Aku mulai menahan nafas ketika sedan hitam itu mulai melaju. Belum sempat aku bernafas lega, sedan hitam itu berhenti. Seperti memberi kata sandi, kemudian sedan hitam itu melaju, melewati semak-semak tempatku bersembunyi. Aku mengikuti arah sedan hitam tersebut, hingga aku mulai sadar, dua orang body guard mulai berjalan ke arahku. Dan sialnya . . . .
            “Insya Alloh, Insya Alloh . . . Insya Alloh, you find the way . .” hp ku berbunyi. Ring tone dari Maher Zain membuatku terkejut. Umi memanggil . . . . “Siapa di situ?” Bentakan itu membuatku segera menekan tombol reject hp ku. Aku berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Semak belukarpun ku terjang, bahkan aku tak berhenti ketika ada parit kecil. Aku tak peduli. Keringat dingin dan kecemasan mulai menguasai hatiku. Bagaimanapun caranya aku harus scepatnya tiba di rumah. Hampir saja aku kehabisan nafas ketika ku dengar suara beberapa ibu mengobrol. Aku menoleh. Masjid. Alhamdulillah aku tahu di mana aku saat ini. Rumahku hanya beberapa meter dari masjid. Sembari menata nafas, aku mulai berjalan tenang.
            “Mifta . . . Ada yang kamu risaukan nak?” Aku tersadar. Ternyata aku melamun, mengenang peristiwa malam itu hingga tak sadar wajah khawatir umi masih memperhatikanku. Tanpa menjawab, aku berlalu menuju pintu, “Sudahlah umi, jangan paksa Mifta untuk berjilbab. Sampai kapanpun Mifta gak akan mau. Karena Mifta yakin gak semua cewek berjilbab itu baik, buktinya mereka pakek jilbab tapi umi lihat sendiri bagaimana pakaian mereka. Cuma buat mata lelaki melotot. Lebih baik Mifta seperti ini. Lagipula umi tahu sendiri, Mifta masih mau sholat dan membaca qur’an. Bukankah itu lebih baik kan umi ??” Tanpa menoleh lagi, aku menuju pintu kamar dan menutupnya.
            Ku pandang langit-langit kamar, tatapanku kosong. Dulu rumah ini terasa surga bagiku. Damai dan penuh canda. Sejak Kak Anggun memutuskan memakai jilbab. Di usianya yang memasuki 20 tahun, Kak Anggun menyampaikan niatnya kepada abi dan umi.
            “Abi, umi . . . boleh tidak kalau Anggun pakai jilbab? Walaupun tidak sesempurna umi, tapi Anggun pengen belajar.” Kak Anggun yang ku kenal sebagai cewek modis, selalu merawat setiap centi rambutnya dengan tonik, yang selalu kalang kabut kalau ada sehelai rambutnya yang rontok, kini tiba-tiba memutuskan berjilbab. “ Kakak yakin?” Aku memastikan pendengaranku.
            “Insya Alloh kakak yakin, doakan kakak ya . .” Senyum khasnya seakan mempertegas kata-katanya. Aku menggaruk kepala. Aneh, dan aku juga tak meragukan bagaimana ekspresi abi dan umi. Mereka begitu antusias. Dan akhirnya sisa hari itu dihabiskan untuk membantu Kak Anggun memilih beberapa jilbab dan pakaian muslimah. Semenjak itu, abi dan umi selalu membujukku untuk ikut berjilbab seperti Kak Anggun. Mereka bilang berjilbab itu adalah perintah Alloh dan kewajiban kaum hawa. Tapi bagaimana dengan mereka yang hanya menggunakan jilbab mereka untuk menutupi aib mereka? Seperti cewek-cewek centil di lokalisasi yang aku lihat. Aku menghela nafas. Mengapa persoalannya jadi rumit seperti ini . . . .
            Hp ku bergetar. Satu pesan masuk dari umi. Sholat ashar dulu ya, setelah itu baru istirahat. Umi yang baik. Setiap aku gelisah, umi tahu bagaimana menenangkanku. Andai saja umi dan abi tidak selalu membujukku . . .
------------------------------- *** --------------------------
            Suasana pagi ini tidak seperti biasa. Di meja makan hanya ada umi. Dua kursi kosong. “Semalam Abi berangkat ke Bandung mengantar Kak Anggun untuk study penelitiannya. Semalam mereka mau membangunkan Mifta, tapi sepertinya Mifta lelah sekali. Jadi mereka titip salam ke umi.” Jelas umi menjawab tatapanku tadi. Aku mengangguk. Segera ku nikmati sepiring nasi goreng dan segelas susu buatan umi. Mulai semalam aku gak makan. “Pelan-pelan Mifta, nanti kesedak . . .” kata umi memperhatikanku. “Iya . . .” Jawabku singkat.
            “Langsung berangkat Mif? Dijemput Anggi atau diantar umi?” Umi bertanya ketika aku mulai bergegas. “Anggi jemput Mifta um, ya sudah, Mifta berangkat, Assalamu’alaikum . . .” Sembari mencium tangan umi, aku berlalu.
            “Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan ya sayang . .” Aku mengangguk.
            Pagi ini lagi-lagi suasana hatiku suram. Dua jam materi yang dijelaskan di depan kelaspun tak bisa sepenuhnya aku cerna. Hingga bel berbunyi, menandakan pergantian jam. Seperti biasa, suasana kelas sudah campur aduk. Dua jam diam sepertinya membuat seisi kelas gerah. Beberapa ada yang keluar kelas. Cari angin dan cuci mata. Aku mulai mengantuk. Ku jatuhkan kepalaku di atas meja. Pandanganku tertuju ke arahnya, Sosok berjilbab yang sedang duduk manis di pojok depan kelas. Sepertinya dia asyik membaca buku sehingga tak sadar kalau aku sedang memperhatikannya. Siapa dia? Anak barukah? Seingatku, di kelas ini hanya 2 anak yang berjilbab, Sonya dan Lian dan mereka ada di luar sekarang. Ah . . masa bodoh, pasti kelakuannya juga gak beda jauh sama mereka. Genit . . .
            Seperti biasa, sepulang sekolah aku selalu mampir ke abang es cendol. Dari jauh aku melihat beberapa tempat duduk sudah dipenuhi dengan siswa berseragam putih abu-abu. Kalau jam segini pasti warna seragam itu yang mendominasi, tak jarang terlihat juga bapak-bapak berdasi dan bercelana panjang. Aku tersenyum. Sepertinya aku harus siap antri saat ku lihat beberapa siswa mengerumuni si abang, hanya rambut cepak si abang yang berhasil diidentifikasi. “Yuk, buruan !!!” Aku menarik lengan Anggi agar bergegas. Aku tak mau kehabisan es cendolnya si abang. “Iya Mif, sabar dong, gak lihat apa jalanan di depan rame, kamu mau kita mati muda? Kalau aku sih enggak, aku kan masih jomblo . . .” Anggi menahan langkahku. Aku tersenyum, Ada-ada saja ni anak . . .
            Akhirnya . . . . Es cendol yang manis, dingin, dan warnanya yang hijau lumut, hhhmmmm . . . makin ayem rasanya. Setelah berdiri antri, sekitar 3 menit, dua gelas es cendol kini ada di genggaman. Tanpa fikir a, b, c, d, e, f, gelas di tangankupun ludes. Kosong . . .
“Gelasnya pecah ya mbak, cepet amat habisnya . . .” Seorang bapak tersenyum ke arahku. Aku tertawa. “Iya pak, gak tahu nih, si abang kok kasih aku gelas yang pecah, jadinya es cendolnya pada tumpah . . .” Mendengar jawabanku, sontak si bapak dan tentunya si abang cendol tertawa. “Mau tambah lagi es cendolnya mbak Mifta? Kalau kurang besar, biar aku ganti gelasnya dengan . . . .” Belum selesai si abang berkata, Anggi menyahut “Diganti ember saja bang, perutnya Mifta kan karet, jadi elastis.” Hahahahaha . . .  Aku tersipu malu. Tak sengaja tatapanku terarah pada sosok itu. Dia kan . . . .
“Hai Mel !!!” sosok itu menoleh dan tersenyum. Anggi segera bangkit dan menghampirinya, “Kamu mau beli es cendol? Sini gabung sama kita” Anggi menawarkan bangku kosong di sebelahnya. Dia hanya mengangguk dan tersenyum. “Maaf Nggi, es cendolnya aku bawa pulang, lain kali saja ya aku gabung ma kalian.” Pandangannya tertuju ke arahku. Aku berpaling, pura-pura menatap jalan.
“Tak apa, pasti buat ortu di rumah ya?” Dia mengangguk. “Kalau begitu hati-hati ya, jam segini para pengemudi gak peduli sama pejalan kaki. Bagi mereka, jalanan ini hanya milik mereka.” Anggi tersenyum. Dia mengangguk dan melambai kea rah kami. Dia pun berlalu.
“Siapa dia?” Tanyaku setelah Anggi kembali duduk. Anggi tersenyum. “Hallo ….. Nona Mifta yang sok cuek, selama di kelas kamu tadi ngapain? Bukankah Bu Dara sudah memperkenalkan Amel pada kita semua????” Aku hanya angkat bahu. “Dasar …. Makanya kalau di kelas tuh jangan molor terus, gini nih jadinya . . .”
“Kamu mau kasih tahu apa enggak sih? Dari tadi mojokin aku terus” Aku mulai jengkel. Bukannya minta maaf, eh si Anggi malah tertawa. “Kamu makin manis kalau cemberut Mif . . .” Sial !!! Memangnya aku gula, hufth . . .
“Dia namanya Amel Prameswari. Pindahan dari Surabaya. Ortunya dipindahtugaskan di sini. Jadi mau tak mau dia harus ikut ortunya. Hanya itu yang aku tahu.” Aku mengangguk.
Entah mengapa, ada sedikit rasa tidak suka terhadapnya. Memang, semenjak peristiwa di lokalisasi itu, aku semakin ilfeel dan benci dengan cewek berjilbab. Terkecuali umi dan kak Anggun, karena mereka adalah keluargaku dan aku mengenal mereka dengan baik. Bagiku, kebanyakan gadis di sini hanya menggunakan jilbab mereka seadanya. Bahkan ada yang hanya memakai jilbab di saat sekolah saja. Begitu bel pulang berbunyi, jilbab mereka lepos begitu saja. Ada pula yang berjilbab karena mengikuti kekasihnya. Setelah putus, merekapun kembali tidak berjilbab. Bukankah itu jelas? Bagi mereka jilbab hanya dijadikan sebagai tudung kepala saja. Lain halnya dengan mereka yang memutuskan tidak berjilbab. Tak jarang pula, sikap mereka lebih baik ketimbang cewek berjilbab lainnya. Aku berfikir, banyak kok cewek yang gak berjilbab, kelakuannya begitu mulia. Seperti gadis kecil itu. Di tengah hiruk pikuknya jalan, gadis itu dengan senang hati merelakan tangannya yang kecil untuk membimbing seorang nenek yang sedang terjebak kendaraan. Aku tersenyum. Selama aku masih mampu menjaga sikapku, buat apa aku berjilbab. Bukankah yang terpenting adalah bagaimana akhlak dan aqidah kita.
------------------------------- *** --------------------------
“Sebenarnya aku gak mau jika harus meminjam buku catatan ke Amel. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya dia yang punya catatan itu.” Aku menggerutu. Ku lihat catatan di kertas kecil, Jalan Anggrek II nomor 4A. Ini dia.  Rumah sederhana dengan halaman yang luas. Beberapa buah terlihat ranum dan siap dipanen, ditambah warna-warni bunga yang tumbuh sumbur, hhhmmmm . .  sepertinya halamannya terawat rapi. Walaupun rumah ini kecil, aku menemukan kedamaian di dalamnya.
Sebuah sedan abu-abu keluar dari pagar dan berhenti di depanku. Seraut wajah yang elok, seumuran dengan umi, tersenyum ke arahku. “Temannya Amel ya?” Aku mengangguk. “Amel ada di dalam, tante dan om pergi dulu ya” Matanya mengisyaratkan ke lelaki di sebelahnya. “Iya tante . . .” Wanita itu melambai. Ku lihat Amel sudah berdiri di pintu dan melambai. Aku bergegas ke arahnya.
“Hai Mif, gak susah kan nyari alamatku?” Mifta menghampiriku sembari membawa minuman dingin. Aku menggeleng. “Diminum airnya ya, maaf hanya segelas air putih.” Aku mengangguk, “Tidak apa . . .” Aku menatap dua foto besar di dinding. Foto yang sama, seorang pria dan wanita yang sedang duduk dan di belakangnya sepertinya dua orang anaknya. Seorang laki-laki dan perempuan. Tapi kenapa dua foto itu berbeda ???
“Foto yang sebelah kanan itu adalah foto kami bersama ayah kandungku. Kalau yang di sebelah kiri, itu foto kami bersama ayah tiriku. Ayahku telah berpulang ketika aku berumur 13 tahun. Dua tahun yang lalu bunda menikah lagi, tentunya kamu sudah bertemu mereka tadi.” Amel menjelaskan kepadaku.
“Maaf Mel, aku turut berbela sungkawa.” Kataku murung. Tak ku sangka Amel punya ayah tiri. “Oiya, di foto yang itu kenapa kamu gak pakai jilbab?” Tanyaku sembari menunjuk foto di sebelah kanan. Amel mengangguk. “Aku mulai berjilbab ketika masuk SMP, tepatnya setahun setelah foto itu diambil.” Aku mengangguk. Mataku mulai menjelajah isi ruangan, dan hampir saja aku tersedak. Tanda itu . . .
“Kamu kaget ya Mif ada salib di rumahku? Sedangkan aku berjilbab.” Aku mengangguk. Sembari menatapku, Amel bercerita. “Dua tahun setelah ayah meninggal, bunda memutuskan untuk menikahi seorang lelaki yang pernah membantunya melunasi hutang-hutang ayahku. Namanya Om Revan. Dia bekerja di sebuah bank dan tepatnya atasan bunda. Pada mulanya aku tidak setuju bunda menikah dengannya, begitu pula kakak ku, Irvan. Sebenarnya om Revan orangnya baik, tapi kami tidak setuju kami beda keyakinan.”
Ku dengar Amel menghela nafas. Sepertinya pilihannya begitu berat. “Namun apa daya, kami tak bisa mencegah bunda. Akhirnya kami menyetujuinya dengan syarat om Revan bisa menghormati keyakinan kami. Bunda pun menyetujuinya. Kami pun lega sampai bunda memutuskan pindah keyakinan mengikuti om Revan. Saat itu Kak Irvan murka dan memutuskan untuk pergi dari rumah. Sedangkan aku ikut paman.”
“Setahuku, di agama muslim ketika kita pindah keyakinan, itu dosa besar.” Aku memberanikan diri untuk bersuara. Amel mengangguk. “Tapi kenapa kamu membiarkan bundamu begitu saja?”
Amel menggeleng. “Aku dan kak Irvan sudah mencoba segala cara. Sampai kak Irvan dan aku mengancam gak pulang ke rumah, tapi bunda tetap teguh pada pendiriannya. Kami sempat kabur dari rumah, bahkan hampir sebulan. Bunda malah masuk rumah sakit. Akhirnya kami menyerah dan kembali ke rumah. Dan bunda pun pindah keyakinan. Ya inilah jadinya, seperti yang kamu lihat.”
“Apakah kamu tidak terganggu dengan ibadah ortu kamu?” Sepertinya rasa penasaranku kambuh lagi. Amel tersenyum. “Enggak Mif, mereka lebih sering ibadah di gereja. Aku gak tahu pasti bagaimana ibadah mereka, yang aku tahu mereka berdoa tiga kali dalam sehari.”
“Wah, seperti makan obat dong, hehehe” Aku mencoba bercanda. “Kamu tuh ada-ada saja Mif, hehehehe, setahuku mereka berdoa setiap pagi hari ketika mereka bangun tidur, sore hari menjelang maghrib dan malam sebelum tidur. Selain itu mereka juga punya beberapa kegiatan di gereja. Ada kebaktian, pendalaman injil, siraman rohani kalau di kita namanya pengajian.”
“Memangnya ada tempat tersendiri ketika mereka berdoa?” Aku mulai tertarik untuk berdiskusi. “Mereka berdoa di depan salib yang sudah diberkati. Setelah itu mereka beraktifitas biasa seperti kita.” Mifta menjelaskan. Aku mengangguk paham. “Aku pernah tahu ada beberapa umat Kristen ketika mereka beribadah mereka selalu menyanyikan lagu-lagu. Sebenarnya itu lagu apa?”
Mifta beranjak dari kursi dan berjalan menuju tumpukan buku di almari. Sepertinya dia membawa sebuah buku, tapi apa??? “Ini adalah buku kumpulan dari lagu-lagu itu.” Amel menyerahkan kepadaku. “Lagu-lagu itu adalah pujian untuk Tuhan mereka. Kalau kita biasanya bersholawat untuk Nabi Muhammad dan berdzikir untuk mendekatkan kita kepada Alloh. Begitu pula dengan lagu-lagu itu. Aku pernah tahu ketika Bunda mengundang pendeta di rumah. Sebelum memulai kajian injil biasanya mereka menyanyikan puji-pujian diiringi alat musik. Kadang piano, gitar dan lainnya. Setelah kajian selesai, biasanya mereka makan-makan.” Setelah puas melihat-lihat isi buku, aku mengembalikannya.
“Apa kamu pernah ikut makan bersama mereka?” Tanyaku berlanjut. Amel menggeleng. “Enggak Mif, biasanya aku memilih makan di luar dengan kak Ivan.”
Aku merenung . . .  “Pernah nggak kamu tanya ke om Revan dan bunda kamu, kenapa mereka menganggap yesus sebagai Tuhan mereka?” Sepertinya Amel terkejut. “Sorry . . .” Aku meringis. Aku tak tahu jika reaksi Amel seperti ini, jadinya aku merasa bersalah. Ku lihat Amel merenung, beberapa menit kemudian dia menghela nafas. “Jujur aku tidak pernah bertanya, karena aku yakin itu adalah privasi mereka. Aku harus menghormati mereka Mif. Aku berfikir, jika kita umat muslim ditanya, mengapa kita menganggap Alloh sebagai Tuhan kita, pastinya ada beberapa orang yang tersinggung. Mungkin beberapa dari mereka berfikir kalau mereka meragukan Tuhan kita. Begitu pula dengan bunda dan om Revan. Selama mereka masih bisa menghormati keyakinanku aku tidak akan ikut campur urusan mereka.”
Aku merasa ditampar. Selama ini aku selalu ingin ikut campur pada semua masalah orang lain. Rasa ingin tahuku yang gak bisa ku kendalikan, terkadang justru membuat orang lain gak nyaman. Astaghfirulloh, aku baru sadar dengan kesalahanku ini.
“Setahuku pemeluk agama Kristen mengimani bahwa yesus kristus adalah Tuhan dan juru selamat dan mereka memegang ajaran yang disampaikan oleh Yesus kristus. Selain itu, mereka percaya bahwa Yesus Kristus adalah pendiri jemaat dan kepemimpinan gereja yang abadi. Maaf ya Mif, aku gak gitu paham dengan agama mereka” Jelas Amel sembari mengembalikan buku di tempatnya.
Aku mengangguk. Aku juga gak boleh memaksa Amel untuk menjelaskan secara rinci tentang keyakinan bundanya, karena itu adalah hak mereka. “Lalu apakah kamu tidak kesuliatan ketika melakukan ibadah? Ya seperti sholat dan puasa Ramadhan?”
Amel menatapku. “Alhamdulillah tidak Mif, mereka sangat menghormatiku. Ketika Ramadhan, mereka juga tidak ikut makan. Tapi bedanya sahurnya mereka jam 7 pagi, setelah itu mereka tidak makan hingga waktu buka.”
“Oooo…. Alhamdulillah ya, ortu kamu sangat pengertian. Aku salut ma kamu Mel, kamu bisa tetap teguh mempertahankan keyakinan kamu sedangkan ortu kamu sendri berbeda keyakinan. Dulu aku menganggap cewek berjilbab itu hanya menggunakan jilbab mereka sebagai penutup kepala seperti topi, setelah gerah mereka lepas begitu saja. Tak jarang pula sikap mereka bertolak belakang.”
“Kalau kamu berfikiran seperti itu, kamu salah Mif. Berjilbab itu memang kewajiban bagi semua kaum hawa di agama kita karena hampir seluruh badan kita adalah aurat. Berjilbab itu harus dimulai dari diri sendiri. Kita jilbabin hati kita dulu. Kalau ada niat yang tulus, pasti hati dan badan kita bisa berjilbab dengan benar. Kalau kamu melihat cewek-cewek berjilbab tapi akhlak mereka bertolak belakang, itu tandanya niat mereka belum tulus. Mereka masih belum mengerti bagaimana berjilbab dengan benar. Itu semua butuh waktu dan butuh pembelajaran Mif, Insya Alloh suatu saat nanti mereka akan dibuka hatinya. Aku menghela nafas dan Amel manatapku tajam “emang banyak cewek yg mengatakan ingin menjilbabi hati dulu baru pake jilbab buat nutup aurat, tapi selama mereka gak ada niat ya.. sampai kapan pun mereka gak akan berjilbab, kamu gak mau dimasukin ke dalam golongan cewek2 itu kan mif? Apa kamu mau terus-terusan bilang ingin menutupi hati dulu? Hingga akhirnya kain kafan memaksamu buat nutupin auratmu, kamu mau kayak gitu?”
Aku tersentak dan memaksaku untuk merenungkan perkataan Amel. Jika difikir-fikir lagi, ada benarnya juga perkataan Amel. Jika kita ingin berhasil, tentunya kita harus punya niat untuk menjadi lebih baik. Pastinya niat itu harus sungguh-sungguh, jika tidak, pasti perbuatan kita tidak akan sesuai dengan niat kita sebelumnya. “Kalau ada seseorang yang akhlaknya baik, santun dan pokoknya TOP BGT dah, tapi dia belum mau berjilbab bagaimana?”
Ku lihat Amel terdiam, sepertinya dia memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian dia berkata “Berjilbab selain sebagai kewajiban juga sebagai penyempurna akhlak. Kalau seseorang akhlaknya sudah baik, dia selalu menjaga ibadah, hati, lisan dan inderanya, pasti akhlaknya menjadi lebih sempurna dengan berjilbab. Jika dari semula kita sudah bisa menata hati, insya alloh, jilbab itu akan menambah keyakinan kita pada-Nya. Kalau diibaratkan ada sebuah kain yang indah. Kainnya yang sehalus sutra dengan warna lembut akan terlihat mempesona. Terlebih lagi, jika kita bawa kain tersebut ke penjahit, lalu kita bentuk kain tersebut menjadi sebuah gaun dengan hiasan pita atau pernak-pernik yang sesuai, pasti kain itu akan lebih bermanfaat dan lebih sedap dipandang mata. Akhlak kita yang baik adalah kain sutra dan jilbab kita adalah aneka pita dan pernak-pernik tersebut. Selain itu, untuk menjadi hijaber yang baik, kita butuh pembelajaran dan panutan seperti penjahit yang mendesain kain tersebut menjadi sebuah gaun yang indah. Kita tidak bisa memaksa seseorang untu berjilbab ketika mereka belum siap. Karena apapun yang dipaksakan pasti hasilnya tidak akan baik dan sesuai dengan harapan. Kita hanya perlu membimbingnya. Seperti batu, sekeras-kerasnya batu jika diguyur dengan hujan terus menerus pasti akan lapuk, begitu juga dengan hati manusia. Pasti suatu saat nanti ada jalan untuk mereka.”
Subhanalloh, ternyata aku salah menilai Amel. Pandangannya yang luas membuatnya terlihat bijak. Padahal aku sadar bagaimana kesulitannya untuk tetap beribadah padahal dia harus berbagi rumah dengan keyakinan lain. Beda denganku. Aku yang dibesarkan dari keluarga muslim, ortu aku juga masih utuh, mereka menyayangiku, tapi kenapa aku mudah marah jika abi dan umi memintaku untuk berjilbab. Sungguh aku keterlaluan.
Aku jadi teringat hari dimana aku menumpahkan tangis umi. Aku begitu marah ketika umi menyampaikan keinginannya agar aku mau berjilbab. Saat itu aku hanya berfikir pendek dan sempit. Aku hanya memandang dari sisi negatifnya saja. Aku juga tidak sadar bahwa tidak semua cewek atau wanita yang berjilbab itu buruk akhlaknya. Seperti umi dan kak Anggun. Bukankah mereka juga  berhati indah. Kata-kata Amel terasa lekat di telingaku, membuatku untuk berfikir lebih luas.            
------------------------------- *** --------------------------
Dua jam aku berpatut diri. Berputar-putar di depan cermin. Aku masih gugup. Berulang kali aku membetulkan letak jilbabku. Ya . . . Dua minggu setelah percakapanku dengan Amel aku memutuskan untuk berjilbab. Aku malu pada Alloh. Jika Amel bisa mempertahankan jilbabnya, kenapa aku tidak bisa? Bukankah orang-orang di keluargaku juga berjilbab. Diam-diam aku mulai membeli beberapa kain untuk seragam baruku bersama Amel. Dia yang membantuku bagaimana memilih baju muslimah yang sesuai dengan seleraku. Dia  juga yang menjadi guru prifatku berjilbab, dengan sabar dia membimbingku. Alhamdulillah, Amel benar-benar tulus membantuku. Aku menatap jam dinding di kamarku. Sudah waktunya aku turun, sebelum umi mengetuk kamarku. Ku raih tas dan ku lirik cermin, aku tersenyum, Bismillah . . .
Di meja makan ada abi, umi dan kak Anggun. Seperti biasa, sembari menungguku abi membaca Koran, umi membantu bibi menyiapkan piring dan kak Anggun sibuk otak-atik handphone. Aku melangkah mendekati meja. Sejenak mereka menyadari kehadiranku dan terdiam. Aku tersenyum gugup. “Subhanalloh Mifta . . .” Suara umi memecahkan sunyi. Aku menggaruk kepala salah tingkah. “Kamu cantik Mif, kakak suka, jadi takut tersaingi nih . . .” Hahaha, semua tertawa mendengar celoteh kak Anggun.
Alhamdulillah, aku merasa lega. Sudah seharusnya aku berjilbab mengikuti langkah umi dan kak Anggun. Mereka sempat bertanya, kenapa aku mau memakai jilbab, aku hanya tersenyum. Aku malu menceritakannya. Biarlah ini semua menjadi rahasia antara aku, Alloh dan tentunya Amel. Tanpanya aku bukanlah Mifta yang sekarang. Trims Amel, aku tersenyum, semoga aku bisa mempertahankan citra jilbab ini di mata semua, Aamiin . . .
  
End . . . . . . . .
^_^


           

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space