![]() |
For my friend, ayu kim ,,,,,, ^_^ |
Sering aku melihat satu atau dua
cewek berjilbab melewati jalan ini. Anggun sekali. Namun ketika satu jam
berlalu, di jalan yang sama namun berbalik arah, jika kita tak jeli kita tidak
akan tahu perubahan gaya berpakaian mereka. Rok mini, tank top dan high heels,
seakan menjadi trend mereka. Belum lagi gaya rambut mereka, merah, kuning,
hijau dan kelabu. Aku jadi keinget
traffic light di persimpangan. Sebetulnya mereka dari mana dan apa yang akan
mereka lakukan ???
“Kamu
tuh aneh ya Mif, gak ada kerjaan lain apa? Kok kerjaannya nyelidiki orang-orang
kayak gitu . . . “ Kata Anggi suatu hari ketika aku mendiskusikan masalah ini.
Aku Cuma merenung. Aku semakin penasaran, sebenarnya mereka siapa . . .
-------------------------------
*** --------------------------
Aku
menggerutu. Siang ini matahari sangat terik. Dua gelas es cendol pun tak mampu
menaungi dahagaku. Belum lagi jalanan yang macet. Menambah sesak udara saja.
Aku melongok ke dalam gerobak. Hari ini hari rejeki si abang
es cendol.
Es cendolnya laris manis, gak ada sisa sedikitpun. Aku memperhatikan senyum si
abang, indah sekali, rasanya tidak ada sedikitpun rasa kesal di hatinya. Mengingatkanku pada senyum
umi dan abi, tapi . . . .
“Pagi
sayang, lihat deh kak Anggun makin cantik ya kalau pakai jilbab itu . . .” Aku
mengerling Kak Anggun. Di sebelahku dia hanya tersenyum. “Coba kalau Mifta mau
berjilbab kayak kak Anggun dan umi, pasti abi lebih seneng . . .” Aku
membanting sendok. “Selalu saja abi dan umi membanding-bandingin Mifta dan Kak
Anggun. Memangnya kenapa kalau Mifta gak mau pakai jilbab? Dunia aja gak peduli.”
Kursi berderak keras ketika aku berdiri. Selalu saja pagiku berawal dengan
kemarahan. Aku sadar umi pasti terluka, Kak Anggun juga. Tapi sepertinya hatiku
sudah berkobar. Aku iri jika abi dan umi memuji kak Anggun. Aku jadi curiga,
aku ini anak kandung mereka atau bukan.
“Maaf
neng Mifta, gelasnya boleh abang ambil, sekalian abang mau berbenah . . .”Aku
terkejut.
Membuatku sadar dari lamunanku. Gelas es cendol masih di tanganku.
“Ini bang, jadi semuanya berapa?” Tanyaku malu.
“Kalau
sama neng Anggi jadi tiga ribu. . .” jawab si abang es sambil tersenyum.
Senyum yang indah. Andai aku bisa tersenyum sepertinya. Hari ini cukup membuat
bibirku kelu untuk tersenyum.
“Maaf bang, ini uangnya, terima kasih” Kataku buru-buru.
Waktu
berlalu lambat seakan ingin ditujukan kepadaku. Aku menghela nafas. Langkah
terakhirku sudah tiba. Aku berdiri di depan pintu. Aku rindu suasana rumah yang
dulu. Tapi mengingat peristiwa
pagi tadi, aku jadi termenung di depan pintu.
“Mifta
. . . Kenapa tidak masuk? Ayo, ada yang mau umi tunjukan ke kamu nak . . .”
Suara itu
membuatku menoleh, aku hanya mengangguk dan mengikuti
langkah umi.
Suasana rumah sepi, jam
segini memang abi masih di kantor dan Kak Anggun masih di kampusnya. Aku
menghela nafas sesak. Rasanya sudah berhari hari aku tidak masuk
ke ruang keluarga. Ruang dimana kami menghabiskan hari libur. Di pojok ruang
sebuah foto besar menarik perhatianku. Saat itu masa kelulusan kak Anggun.
Rambutnya yang hitam berayun manja di bahuku. Kontras sekali dengan warna merah
rambutku. Aku yang lebih fashion dari kak Anggun, saat itu terlihat lebih
tomboy. Tak sadar aku tersenyum.
“Kangen
ya pada masa itu?” Aku menoleh. Umi masih sibuk dengan bunga di tangannya. Aku
baru sadar kalau umi tadi dari kebun, seperti biasa, umi selalu mengisi setiap
pojok ruang dengan bunga-bunga taman, sehingga hampir tiap hari umi selalu
menggantinya.
“Mifta
dan kak Anggun adalah bunga umi dan abi. Kami berharap kalian akan tumbuh indah
seperti bunga di taman depan, tetapi tidak hanya di musim semi. Umi dan abi
ingin kalian bermekaran di setiap waktu.” Aku tetap di tempat. Sepertinya
amarah masih menaungi hatiku.
“Umi pengen Mifta pakek
jilbab kayak Kak Anggun . . .” Kalimat yang singkat. Aku menoleh. Lagi-lagi
masalah itu. Ku rebahkan diri di kursi, menghela nafas, mulai menata hati.
“Buat apa pakek jilbab
kalau kelakuan kita gak baik, cuma nambahin dosa saja.” Kataku pelan. Umi
menatap wajahku, tersenyum. “Banyak kok mi, cewek-cewek di luar sana yang pakek
jilbab tapi cuma untuk tudung kepala saja. Pagi pakek jilbab, malamnya keluar
sama om-om . . .”
Aku menghela nafas, mengingatkanku
pada malam itu. Aku sengaja duduk di teras rumah sambil
sesekali mengamati jalan. Aku ingin tahu siapa cewek-cewek berjilbab yang tempo
hari lewat depan rumah. Aku penasaran. Menit
Mengendap-endap, ku pelankan suara,
ku ikuti mereka. 5 menit berjalan, kulihat mereka berhenti di depan sebuah
rumah. Rumah terbesar di antara rumah lainnya. Seorang ibu muda, tinggi,
cantik, tersenyum ke arah mereka. Merekapun masuk ke dalam rumah. Dalam hati
aku menggerutu. “Sial . . . !!!! Kenapa aku gak bawa jaket tadi.” Udara malam
mulai menusuk persendian tulangku. Aku berjongkok di semak-semak, menyembunyikan
diri. Walaupun ini malam hari, tapi aku yakin jika aku tak berhati-hati
orang-orang di sana akan tahu keberadaanku. Ku lihat beberapa orang laki-laki
berjaga di sekitar rumah besar. Dari kejauhan saja sudah jelas siapa mereka,
body guard. Kalau aku tertangkap, hhhhmmm mungkin aku akan dikuliti
bersama-sama.
10 menit berlalu. Sedan hitam
melintas di depanku. Berhenti di depan body guard tadi. Satu dari mereka
terlihat berbincang di kaca mobil, kemudian mengangguk dan sedan hitam itupun
berlalu. Dari dalam rumah keluar tiga cewek berjilbab tadi. Masing-masing
memakai gaun malam yang berbeda. Aku kenal tawa mereka. Bertiga masuk ke dalam
mobil, kemudian diikuti oleh wanita cantik tadi bersama seorang pria berkaca
mata hitam. Sekilas terlihat pria itu terlihat seperti pria hidung belang. Aku
mulai menahan nafas ketika sedan hitam itu mulai melaju. Belum sempat aku
bernafas lega, sedan hitam itu berhenti. Seperti memberi kata sandi, kemudian
sedan hitam itu melaju, melewati semak-semak tempatku bersembunyi. Aku
mengikuti arah sedan hitam tersebut, hingga aku mulai sadar, dua orang body
guard mulai berjalan ke arahku. Dan sialnya . . . .
“Insya Alloh, Insya Alloh . . .
Insya Alloh, you find the way . .” hp ku berbunyi. Ring tone dari Maher Zain
membuatku terkejut. Umi memanggil . . . . “Siapa di situ?”
Bentakan itu membuatku segera menekan tombol reject hp ku. Aku berbalik arah
dan berlari sekuat tenaga. Semak belukarpun ku terjang, bahkan aku tak berhenti
ketika ada parit kecil. Aku tak peduli. Keringat dingin dan kecemasan mulai
menguasai hatiku. Bagaimanapun caranya aku harus scepatnya tiba di rumah.
Hampir saja aku kehabisan nafas ketika ku dengar suara beberapa ibu mengobrol.
Aku menoleh. Masjid. Alhamdulillah aku tahu di mana aku saat ini. Rumahku hanya
beberapa meter dari masjid. Sembari menata nafas, aku mulai berjalan tenang.
“Mifta . . . Ada yang kamu risaukan
nak?” Aku tersadar. Ternyata aku melamun, mengenang peristiwa malam itu hingga
tak sadar wajah khawatir umi masih memperhatikanku. Tanpa menjawab, aku berlalu
menuju pintu, “Sudahlah umi, jangan paksa Mifta untuk berjilbab. Sampai
kapanpun Mifta gak akan mau. Karena Mifta yakin gak semua cewek berjilbab itu
baik, buktinya mereka pakek jilbab tapi umi lihat sendiri bagaimana pakaian mereka.
Cuma buat mata lelaki melotot. Lebih baik Mifta seperti ini. Lagipula umi tahu
sendiri, Mifta masih mau sholat dan membaca qur’an. Bukankah itu lebih baik kan
umi ??” Tanpa menoleh lagi, aku menuju pintu kamar dan menutupnya.
Ku pandang langit-langit kamar,
tatapanku kosong. Dulu rumah ini terasa surga bagiku. Damai dan penuh canda.
Sejak Kak Anggun memutuskan memakai jilbab. Di usianya yang memasuki 20 tahun,
Kak Anggun menyampaikan niatnya kepada abi dan umi.
“Abi, umi . . . boleh tidak kalau
Anggun pakai jilbab? Walaupun tidak sesempurna umi, tapi Anggun pengen
belajar.” Kak Anggun yang ku kenal sebagai cewek modis, selalu merawat setiap
centi rambutnya dengan tonik, yang selalu kalang kabut kalau ada sehelai
rambutnya yang rontok, kini tiba-tiba memutuskan berjilbab. “ Kakak yakin?” Aku
memastikan pendengaranku.
“Insya Alloh kakak yakin, doakan
kakak ya . .” Senyum khasnya seakan mempertegas kata-katanya. Aku menggaruk
kepala. Aneh, dan aku juga tak meragukan bagaimana ekspresi abi dan umi. Mereka
begitu antusias. Dan akhirnya sisa hari itu dihabiskan untuk membantu Kak
Anggun memilih beberapa jilbab dan pakaian muslimah. Semenjak itu, abi dan umi
selalu membujukku untuk ikut berjilbab seperti Kak Anggun. Mereka bilang
berjilbab itu adalah perintah Alloh dan kewajiban kaum hawa. Tapi bagaimana
dengan mereka yang hanya menggunakan jilbab mereka untuk menutupi aib mereka?
Seperti cewek-cewek centil di lokalisasi yang aku lihat. Aku menghela nafas.
Mengapa persoalannya jadi rumit
seperti ini . . . .
Hp ku bergetar. Satu pesan masuk
dari umi. “Sholat ashar dulu ya,
setelah itu baru istirahat”. Umi yang baik. Setiap aku gelisah, umi tahu bagaimana menenangkanku. Andai saja umi dan abi
tidak selalu membujukku . . .
-------------------------------
*** --------------------------
Suasana pagi ini tidak seperti
biasa. Di meja makan hanya ada umi. Dua kursi kosong. “Semalam Abi berangkat ke
Bandung mengantar Kak Anggun untuk study penelitiannya. Semalam mereka mau
membangunkan Mifta, tapi sepertinya Mifta lelah sekali. Jadi mereka titip salam
ke umi.” Jelas umi menjawab tatapanku tadi. Aku mengangguk. Segera ku nikmati
sepiring nasi goreng dan segelas susu buatan umi. Mulai semalam aku gak makan.
“Pelan-pelan Mifta, nanti kesedak . . .” kata umi memperhatikanku. “Iya . . .”
Jawabku singkat.
“Langsung berangkat Mif? Dijemput
Anggi atau diantar umi?” Umi bertanya ketika aku mulai bergegas. “Anggi jemput
Mifta um, ya sudah, Mifta berangkat, Assalamu’alaikum . . .” Sembari mencium
tangan umi, aku berlalu.
“Wa’alaikum salam, hati-hati di
jalan ya sayang . .” Aku mengangguk.
Pagi ini lagi-lagi suasana hatiku
suram. Dua jam materi yang dijelaskan di depan kelaspun tak bisa sepenuhnya aku
cerna. Hingga bel berbunyi, menandakan pergantian jam. Seperti biasa, suasana
kelas sudah campur aduk. Dua jam diam sepertinya membuat seisi kelas gerah.
Beberapa ada yang keluar kelas. Cari angin dan cuci mata. Aku mulai mengantuk.
Ku jatuhkan kepalaku di atas meja. Pandanganku tertuju ke arahnya, Sosok berjilbab yang sedang duduk manis di pojok depan kelas.
Sepertinya dia asyik membaca buku sehingga tak sadar kalau aku sedang
memperhatikannya. Siapa dia? Anak barukah? Seingatku, di kelas ini hanya 2 anak
yang berjilbab, Sonya dan Lian dan mereka ada di luar sekarang. Ah . . masa bodoh,
pasti kelakuannya juga gak beda jauh sama mereka. Genit . . .
Seperti biasa, sepulang sekolah aku
selalu mampir ke abang es cendol. Dari jauh aku melihat beberapa
tempat duduk sudah dipenuhi dengan siswa berseragam putih abu-abu. Kalau jam
segini pasti warna seragam itu yang mendominasi, tak jarang terlihat juga
bapak-bapak berdasi dan bercelana panjang. Aku tersenyum. Sepertinya aku harus
siap antri saat ku lihat beberapa siswa mengerumuni si abang, hanya rambut
cepak si abang yang berhasil diidentifikasi. “Yuk, buruan !!!” Aku menarik
lengan Anggi agar bergegas. Aku tak mau kehabisan es cendolnya si abang. “Iya
Mif, sabar dong, gak lihat apa jalanan di depan rame, kamu mau kita mati muda?
Kalau aku sih enggak, aku kan masih jomblo . . .” Anggi menahan langkahku. Aku
tersenyum, Ada-ada saja ni anak . . .
Akhirnya
. . . . Es cendol yang manis, dingin, dan warnanya yang hijau lumut, hhhmmmm .
. . makin ayem rasanya. Setelah berdiri antri, sekitar 3 menit, dua gelas es
cendol kini ada di genggaman. Tanpa fikir a, b, c, d, e, f, gelas di
tangankupun ludes. Kosong . . .
“Gelasnya pecah ya mbak, cepet amat
habisnya . . .” Seorang bapak tersenyum ke arahku. Aku tertawa. “Iya pak, gak
tahu nih, si abang kok kasih aku gelas yang pecah, jadinya es cendolnya pada tumpah
. . .” Mendengar jawabanku, sontak si bapak dan tentunya si abang cendol
tertawa. “Mau tambah lagi es cendolnya mbak Mifta? Kalau kurang besar, biar aku
ganti gelasnya dengan . . . .” Belum selesai si abang berkata, Anggi menyahut
“Diganti ember saja bang, perutnya Mifta kan karet, jadi elastis.” Hahahahaha .
. . Aku tersipu malu. Tak sengaja
tatapanku terarah pada sosok itu. Dia kan . . . .
“Hai Mel !!!” sosok itu menoleh dan
tersenyum. Anggi segera bangkit dan menghampirinya, “Kamu mau beli es cendol? Sini gabung sama kita” Anggi
menawarkan bangku kosong di sebelahnya. Dia hanya mengangguk dan tersenyum.
“Maaf Nggi, es cendolnya aku bawa pulang, lain kali saja ya aku gabung ma
kalian.” Pandangannya tertuju ke arahku. Aku berpaling, pura-pura menatap
jalan.
“Tak apa, pasti buat ortu di rumah
ya?” Dia mengangguk. “Kalau begitu hati-hati ya, jam segini para pengemudi gak peduli
sama pejalan kaki. Bagi mereka, jalanan ini hanya milik mereka.” Anggi
tersenyum. Dia mengangguk dan melambai kea rah kami. Dia pun berlalu.
“Siapa dia?” Tanyaku setelah Anggi
kembali duduk. Anggi tersenyum. “Hallo ….. Nona Mifta yang sok cuek, selama di
kelas kamu tadi ngapain? Bukankah Bu Dara sudah memperkenalkan Amel pada kita
semua????” Aku hanya angkat bahu. “Dasar …. Makanya kalau di kelas tuh jangan
molor terus, gini nih jadinya . . .”
“Kamu mau kasih tahu apa enggak
sih? Dari tadi mojokin aku terus” Aku mulai jengkel. Bukannya minta maaf, eh si
Anggi malah tertawa. “Kamu makin manis kalau cemberut Mif . . .” Sial !!! Memangnya
aku gula, hufth . . .
“Dia namanya Amel Prameswari.
Pindahan dari Surabaya. Ortunya dipindahtugaskan di sini. Jadi mau tak mau dia
harus ikut ortunya. Hanya itu yang aku tahu.” Aku mengangguk.
Entah mengapa, ada sedikit rasa
tidak suka terhadapnya. Memang, semenjak peristiwa di lokalisasi itu, aku
semakin ilfeel dan benci dengan cewek berjilbab. Terkecuali umi dan kak Anggun,
karena mereka adalah keluargaku dan aku mengenal mereka dengan baik. Bagiku,
kebanyakan gadis di sini hanya menggunakan jilbab mereka seadanya. Bahkan ada
yang hanya memakai jilbab di saat sekolah saja. Begitu bel pulang berbunyi,
jilbab mereka lepos begitu saja. Ada pula yang berjilbab karena mengikuti
kekasihnya. Setelah putus, merekapun kembali tidak berjilbab. Bukankah itu jelas?
Bagi mereka jilbab hanya dijadikan sebagai tudung kepala saja. Lain halnya
dengan mereka yang memutuskan tidak berjilbab. Tak jarang pula, sikap mereka
lebih baik ketimbang cewek berjilbab lainnya. Aku berfikir, banyak kok cewek
yang gak berjilbab, kelakuannya begitu mulia. Seperti gadis kecil itu. Di
tengah hiruk pikuknya jalan, gadis itu dengan senang hati merelakan tangannya
yang kecil untuk membimbing seorang nenek yang sedang terjebak kendaraan. Aku
tersenyum. Selama aku masih mampu menjaga sikapku, buat apa aku berjilbab.
Bukankah yang terpenting adalah bagaimana akhlak dan aqidah kita.
-------------------------------
*** --------------------------
“Sebenarnya aku gak mau jika
harus meminjam buku catatan ke Amel. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya dia yang
punya catatan itu.” Aku menggerutu. Ku lihat catatan di kertas kecil, Jalan
Anggrek II nomor 4A. Ini dia. Rumah
sederhana dengan halaman yang luas. Beberapa buah terlihat ranum dan siap
dipanen, ditambah warna-warni bunga yang tumbuh sumbur, hhhmmmm . . sepertinya halamannya terawat rapi. Walaupun
rumah ini kecil, aku menemukan kedamaian di dalamnya.
Sebuah sedan abu-abu
keluar dari pagar dan berhenti di depanku. Seraut wajah yang elok, seumuran
dengan umi, tersenyum ke arahku. “Temannya Amel ya?” Aku mengangguk. “Amel ada
di dalam, tante dan om pergi dulu ya” Matanya mengisyaratkan ke lelaki di
sebelahnya. “Iya tante . . .” Wanita itu melambai. Ku lihat Amel sudah berdiri
di pintu dan melambai. Aku bergegas ke arahnya.
“Hai Mif, gak susah kan
nyari alamatku?” Mifta menghampiriku sembari membawa minuman dingin. Aku
menggeleng. “Diminum airnya ya, maaf hanya segelas air putih.” Aku mengangguk,
“Tidak apa . . .” Aku menatap dua foto besar di dinding. Foto yang sama,
seorang pria dan wanita yang sedang duduk dan di belakangnya sepertinya dua
orang anaknya. Seorang laki-laki dan perempuan. Tapi kenapa dua foto itu
berbeda ???
“Foto yang sebelah
kanan itu adalah foto kami bersama ayah kandungku. Kalau yang di sebelah kiri,
itu foto kami bersama ayah tiriku. Ayahku telah berpulang ketika aku berumur 13
tahun. Dua tahun yang lalu bunda menikah lagi, tentunya kamu sudah bertemu
mereka tadi.” Amel menjelaskan kepadaku.
“Maaf Mel, aku turut
berbela sungkawa.” Kataku murung. Tak ku sangka Amel punya ayah tiri. “Oiya, di
foto yang itu kenapa kamu gak pakai jilbab?” Tanyaku sembari menunjuk foto di
sebelah kanan. Amel mengangguk. “Aku mulai berjilbab ketika masuk SMP, tepatnya
setahun setelah foto itu diambil.” Aku mengangguk. Mataku mulai menjelajah isi
ruangan, dan hampir saja aku tersedak. Tanda itu . . .
“Kamu kaget ya Mif ada
salib di rumahku? Sedangkan aku berjilbab.” Aku mengangguk. Sembari menatapku,
Amel bercerita. “Dua tahun setelah ayah meninggal, bunda memutuskan untuk
menikahi seorang lelaki yang pernah membantunya melunasi hutang-hutang ayahku.
Namanya Om Revan. Dia bekerja di sebuah bank dan tepatnya atasan bunda. Pada
mulanya aku tidak setuju bunda menikah dengannya, begitu pula kakak ku, Irvan.
Sebenarnya om Revan orangnya baik, tapi kami tidak setuju kami beda keyakinan.”
Ku dengar Amel menghela
nafas. Sepertinya pilihannya begitu berat. “Namun apa daya, kami tak bisa
mencegah bunda. Akhirnya kami menyetujuinya dengan syarat om Revan bisa
menghormati keyakinan kami. Bunda pun menyetujuinya. Kami pun lega sampai bunda
memutuskan pindah keyakinan mengikuti om Revan. Saat itu Kak Irvan murka dan
memutuskan untuk pergi dari rumah. Sedangkan aku ikut paman.”
“Setahuku, di agama
muslim ketika kita pindah keyakinan, itu dosa besar.” Aku memberanikan diri
untuk bersuara. Amel mengangguk. “Tapi kenapa kamu membiarkan bundamu begitu
saja?”
Amel menggeleng. “Aku
dan kak Irvan sudah mencoba segala cara. Sampai kak Irvan dan aku mengancam gak
pulang ke rumah, tapi bunda tetap teguh pada pendiriannya. Kami sempat kabur
dari rumah, bahkan hampir sebulan. Bunda malah masuk rumah sakit. Akhirnya kami
menyerah dan kembali ke rumah. Dan bunda pun pindah keyakinan. Ya inilah
jadinya, seperti yang kamu lihat.”
“Apakah kamu tidak
terganggu dengan ibadah ortu kamu?” Sepertinya rasa penasaranku kambuh lagi.
Amel tersenyum. “Enggak Mif, mereka lebih sering ibadah di gereja. Aku gak tahu
pasti bagaimana ibadah mereka, yang aku tahu mereka berdoa tiga kali dalam
sehari.”
“Wah, seperti makan
obat dong, hehehe” Aku mencoba bercanda. “Kamu tuh ada-ada saja Mif, hehehehe,
setahuku mereka berdoa setiap pagi hari ketika mereka bangun tidur, sore hari
menjelang maghrib dan malam sebelum tidur. Selain itu mereka juga punya
beberapa kegiatan di gereja. Ada kebaktian, pendalaman injil, siraman rohani
kalau di kita namanya pengajian.”
“Memangnya ada tempat
tersendiri ketika mereka berdoa?” Aku mulai tertarik untuk berdiskusi. “Mereka
berdoa di depan salib yang sudah diberkati. Setelah itu mereka beraktifitas
biasa seperti kita.” Mifta menjelaskan. Aku mengangguk paham. “Aku pernah tahu
ada beberapa umat Kristen ketika mereka beribadah mereka selalu menyanyikan
lagu-lagu. Sebenarnya itu lagu apa?”
Mifta beranjak dari
kursi dan berjalan menuju tumpukan buku di almari. Sepertinya dia membawa
sebuah buku, tapi apa??? “Ini adalah buku kumpulan dari lagu-lagu itu.” Amel
menyerahkan kepadaku. “Lagu-lagu itu adalah pujian untuk Tuhan mereka. Kalau
kita biasanya bersholawat untuk Nabi Muhammad dan berdzikir untuk mendekatkan
kita kepada Alloh. Begitu pula dengan lagu-lagu itu. Aku pernah tahu ketika
Bunda mengundang pendeta di rumah. Sebelum memulai kajian injil biasanya mereka
menyanyikan puji-pujian diiringi alat musik. Kadang piano, gitar dan lainnya.
Setelah kajian selesai, biasanya mereka makan-makan.” Setelah puas
melihat-lihat isi buku, aku mengembalikannya.
“Apa kamu pernah ikut
makan bersama mereka?” Tanyaku berlanjut. Amel menggeleng. “Enggak Mif,
biasanya aku memilih makan di luar dengan kak Ivan.”
Aku merenung . . . “Pernah nggak kamu tanya ke om Revan dan
bunda kamu, kenapa mereka menganggap yesus sebagai Tuhan mereka?” Sepertinya
Amel terkejut. “Sorry . . .” Aku meringis. Aku tak tahu jika reaksi Amel
seperti ini, jadinya aku merasa bersalah. Ku lihat Amel merenung, beberapa
menit kemudian dia menghela nafas. “Jujur aku tidak pernah bertanya, karena aku
yakin itu adalah privasi mereka. Aku harus menghormati mereka Mif. Aku
berfikir, jika kita umat muslim ditanya, mengapa kita menganggap Alloh sebagai
Tuhan kita, pastinya ada beberapa orang yang tersinggung. Mungkin beberapa dari
mereka berfikir kalau mereka meragukan Tuhan kita. Begitu pula dengan bunda dan
om Revan. Selama mereka masih bisa menghormati keyakinanku aku tidak akan ikut
campur urusan mereka.”
Aku merasa ditampar.
Selama ini aku selalu ingin ikut campur pada semua masalah orang lain. Rasa
ingin tahuku yang gak bisa ku kendalikan, terkadang justru membuat orang lain
gak nyaman. Astaghfirulloh, aku baru sadar dengan kesalahanku ini.
“Setahuku pemeluk agama
Kristen mengimani bahwa yesus kristus adalah Tuhan dan juru selamat dan mereka
memegang ajaran yang disampaikan oleh Yesus kristus. Selain itu, mereka percaya
bahwa Yesus Kristus adalah pendiri jemaat dan kepemimpinan gereja yang abadi.
Maaf ya Mif, aku gak gitu paham dengan agama mereka” Jelas Amel sembari
mengembalikan buku di tempatnya.
Aku mengangguk. Aku
juga gak boleh memaksa Amel untuk menjelaskan secara rinci tentang keyakinan
bundanya, karena itu adalah hak mereka. “Lalu apakah kamu tidak kesuliatan
ketika melakukan ibadah? Ya seperti sholat dan puasa Ramadhan?”
Amel menatapku.
“Alhamdulillah tidak Mif, mereka sangat menghormatiku. Ketika Ramadhan, mereka
juga tidak ikut makan. Tapi bedanya sahurnya mereka jam 7 pagi, setelah itu
mereka tidak makan hingga waktu buka.”
“Oooo…. Alhamdulillah
ya, ortu kamu sangat pengertian. Aku salut ma kamu Mel, kamu bisa tetap teguh
mempertahankan keyakinan kamu sedangkan ortu kamu sendri berbeda keyakinan.
Dulu aku menganggap cewek berjilbab itu hanya menggunakan jilbab mereka sebagai
penutup kepala seperti topi, setelah gerah mereka lepas begitu saja. Tak jarang
pula sikap mereka bertolak belakang.”
“Kalau kamu berfikiran
seperti itu, kamu salah Mif. Berjilbab itu memang kewajiban bagi semua kaum
hawa di agama kita karena hampir seluruh badan kita adalah aurat. Berjilbab itu
harus dimulai dari diri sendiri. Kita jilbabin hati kita dulu. Kalau ada niat
yang tulus, pasti hati dan badan kita bisa berjilbab dengan benar. Kalau kamu
melihat cewek-cewek berjilbab tapi akhlak mereka bertolak belakang, itu
tandanya niat mereka belum tulus. Mereka masih belum mengerti bagaimana
berjilbab dengan benar. Itu semua butuh waktu dan butuh pembelajaran Mif, Insya
Alloh suatu saat nanti mereka akan dibuka hatinya. Aku menghela nafas dan Amel
manatapku tajam “emang banyak
cewek yg mengatakan ingin menjilbabi hati dulu baru pake jilbab buat nutup
aurat, tapi selama mereka gak ada niat ya..
sampai kapan pun mereka gak akan berjilbab, kamu gak mau
dimasukin ke dalam golongan cewek2 itu kan mif? Apa kamu mau terus-terusan bilang ingin menutupi hati dulu?
Hingga akhirnya kain kafan
memaksamu buat nutupin auratmu, kamu mau kayak gitu?”
Aku tersentak dan
memaksaku untuk merenungkan perkataan Amel. Jika difikir-fikir lagi, ada
benarnya juga perkataan Amel. Jika kita ingin berhasil, tentunya kita harus
punya niat untuk menjadi lebih baik. Pastinya niat itu harus sungguh-sungguh,
jika tidak, pasti perbuatan kita tidak akan sesuai dengan niat kita sebelumnya.
“Kalau ada seseorang yang akhlaknya baik, santun dan pokoknya TOP BGT dah, tapi
dia belum mau berjilbab bagaimana?”
Ku lihat Amel terdiam,
sepertinya dia memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian dia berkata “Berjilbab
selain sebagai kewajiban juga sebagai penyempurna akhlak. Kalau seseorang
akhlaknya sudah baik, dia selalu menjaga ibadah, hati, lisan dan inderanya,
pasti akhlaknya menjadi lebih sempurna dengan berjilbab. Jika dari semula kita
sudah bisa menata hati, insya alloh, jilbab itu akan menambah keyakinan kita
pada-Nya. Kalau diibaratkan ada sebuah kain yang indah. Kainnya yang sehalus
sutra dengan warna lembut akan terlihat mempesona. Terlebih lagi, jika kita
bawa kain tersebut ke penjahit, lalu kita bentuk kain tersebut menjadi sebuah
gaun dengan hiasan pita atau pernak-pernik yang sesuai, pasti kain itu akan
lebih bermanfaat dan lebih sedap dipandang mata. Akhlak kita yang baik adalah
kain sutra dan jilbab kita adalah aneka pita dan pernak-pernik tersebut. Selain
itu, untuk menjadi hijaber yang baik, kita butuh pembelajaran dan panutan
seperti penjahit yang mendesain kain tersebut menjadi sebuah gaun yang indah.
Kita tidak bisa memaksa seseorang untu berjilbab ketika mereka belum siap.
Karena apapun yang dipaksakan pasti hasilnya tidak akan baik dan sesuai dengan
harapan. Kita hanya perlu membimbingnya. Seperti batu, sekeras-kerasnya batu
jika diguyur dengan hujan terus menerus pasti akan lapuk, begitu juga dengan
hati manusia. Pasti suatu saat nanti ada jalan untuk mereka.”
Subhanalloh, ternyata
aku salah menilai Amel. Pandangannya yang luas membuatnya terlihat bijak.
Padahal aku sadar bagaimana kesulitannya untuk tetap beribadah padahal dia
harus berbagi rumah dengan keyakinan lain. Beda denganku. Aku yang dibesarkan
dari keluarga muslim, ortu aku juga masih utuh, mereka menyayangiku, tapi
kenapa aku mudah marah jika abi dan umi memintaku untuk berjilbab. Sungguh aku
keterlaluan.
Aku jadi teringat hari
dimana aku menumpahkan tangis umi. Aku begitu marah ketika umi menyampaikan
keinginannya agar aku mau berjilbab. Saat itu aku hanya berfikir pendek dan
sempit. Aku hanya memandang dari sisi negatifnya saja. Aku juga tidak sadar
bahwa tidak semua cewek atau wanita yang berjilbab itu buruk akhlaknya. Seperti
umi dan kak Anggun. Bukankah mereka juga berhati indah. Kata-kata Amel terasa lekat di
telingaku, membuatku untuk berfikir lebih luas.
-------------------------------
*** --------------------------
Dua jam aku berpatut diri.
Berputar-putar di depan cermin. Aku masih gugup. Berulang kali aku membetulkan letak jilbabku. Ya . . . Dua minggu
setelah percakapanku dengan Amel aku memutuskan untuk berjilbab. Aku malu pada
Alloh. Jika Amel bisa mempertahankan jilbabnya, kenapa aku tidak bisa? Bukankah
orang-orang di keluargaku juga berjilbab. Diam-diam aku mulai membeli beberapa
kain untuk seragam baruku bersama Amel. Dia yang membantuku bagaimana memilih
baju muslimah yang sesuai dengan seleraku. Dia juga yang menjadi guru prifatku berjilbab,
dengan sabar dia membimbingku. Alhamdulillah, Amel benar-benar tulus
membantuku. Aku menatap jam dinding di kamarku. Sudah waktunya aku turun,
sebelum umi mengetuk kamarku. Ku raih tas dan ku lirik cermin, aku tersenyum,
Bismillah . . .
Di meja makan ada abi,
umi dan kak Anggun. Seperti biasa, sembari menungguku abi membaca Koran, umi
membantu bibi menyiapkan piring dan kak Anggun sibuk otak-atik handphone. Aku
melangkah mendekati meja. Sejenak mereka menyadari kehadiranku dan terdiam. Aku
tersenyum gugup. “Subhanalloh
Mifta . . .” Suara umi memecahkan sunyi. Aku menggaruk kepala salah tingkah.
“Kamu cantik Mif, kakak suka, jadi takut tersaingi nih . . .” Hahaha, semua
tertawa mendengar celoteh kak Anggun.
Alhamdulillah, aku merasa lega. Sudah seharusnya aku berjilbab
mengikuti langkah umi dan kak Anggun. Mereka sempat bertanya, kenapa aku mau
memakai jilbab, aku hanya tersenyum. Aku malu menceritakannya. Biarlah ini
semua menjadi rahasia antara aku, Alloh dan tentunya Amel. Tanpanya aku
bukanlah Mifta yang sekarang. Trims Amel, aku tersenyum, semoga aku bisa
mempertahankan citra jilbab ini di mata semua, Aamiin . . .
End . . . . . . . .
^_^
0 komentar:
Posting Komentar