Jumat, 09 Mei 2014

Bersama Bintang ,,,,

   
          “Hai . . . Aku Anindhita Kurnia, senang berkenalan dengan kalian . . .” Beberapa decak kagum terdengar di telingaku. Bahkan Radit teman sebangkuku menyikutku, “Ni cewek cantik banget Dev, yang lain lewat . . .” Dia berbisik di telingaku. Aku tersenyum, sepertinya aku lebih sibuk dengan buku di tanganku.
          “Dhita silahkan duduk di belakang Devta, baiklah sekarang kita lanjutkan materi kita  . . .” Dialog akhir bu Meta memaksaku untuk mengalihkan perhatianku, aku mendongak, dan wajah itu . .  “Hai, boleh aku duduk di situ?” Tangan itu menunjuk kursi kosong di belakangku. Aku menatapnya. Radit menyenggolku ketika dia terburu-buru berdiri dan nyengir “Boleh kok Dhit, silahkan . . .” Aku membungkuk memungut pensilku yang terjatuh. “Kenapa hatiku gelisah seperti ini? Karena wajah cantik itu? Tidak, aku yakin dia adalah orang lain karena namanya Dhita, tapi kenapa wajahnya begitu mirip?” Aku bertanya dalam hati. Aku menggeleng “Inget Dev, dia hanya masa lalu kamu, kamu gak perlu nginget dia lagi karena dia bukan cewek yang baik, seenaknya mempermainkan perasaan kamu, setelah kamu jatuh dia meninggalkanmu begitu saja” Hatiku berontak. Aku menghela nafas panjang, “materi hari ini lebih penting, aku harus bisa konsentrasi” Aku bergumam sembari memperhatikan penjelasan Bu Meta.
.......................... * * *  ..........................
         
          Aku merenung menatap langit-langit kamarku. Hatiku sesak, rasanya dinding kamar ini runtuh dan mengahantamku. Ingin rasanya tangis ini pecah tapi egoku yang mencegahnya. “Hanya cowok lemah yang mudah menangis” kataku dalam hati. Tapi wajah itu yang membuatku lemah. Wajah seseorang yang dulu pernah tumbuh di hatiku, ketika benih-benih itu mulai tumbuh menjadi bunga-bunga indah, tak begitu lama harus tercabut paksa. Pedih memang, tapi mau bagaimana lagi, ketentuan Alloh lah yang lebih kuat dari akar bunga itu, dan  kini hanya menyisakan lubang. Seiring berjalannya waktu, lubang itu mulai tertimbun tanah. Tapi entah kenapa, hari ini hujan turun begitu lebat, membuat tanah itu lembek dan tergerus kembali. “Ya Alloh apa yang harus aku lakukan? Walaupun namanya berbeda, tapi kenapa wajahnya begitu mirip?” hatiku merintih.
          “BRAAAKKKK . .” Aku terlonjak. Tanpa menolehpun aku sudah tahu kalau itu Radit. Sudah kebiasaannya menutup pintu kamar keras. Berkali-kali dinasehati, berkali-kali diulangi. Bahkan omelan ibu kos pun hanya dianggap angin lalu.
          Raditya Sanjaya. Teman satu kamarku di tempat kos putra. Tinggi dan tampan itu yang membuatnya menjadi idola cewek di sekolahku. Hobi basket dan makan bakso pedas, paling tidak tahan kalau diputusin cewek, bisa murung seharian. Tapi itu bagaikan sepuluh dari seribu, karena sepengetahuanku sedikit dia ditolak cewek, yang ada malah mereka yang nangis karena cintanya ditolak. Hehehe . . .
          “Sialan tu cewek, kamu tahu Dev, masak di mading dia nulis puisi untukku?” Kata Radit sembari melempar handuknya. Aku menatapnya dan tersenyum, “Bagus dong, itu tandanya tu cewek bener-bener puitis, harusnya kamu bangga dong . . .”
          “Bangga apanya ?! Aku muak sama cewek gituan, mending si Dhita, cewek baru di kelas kita. Udah tinggi, cantik, hhhmmmm . . kira-kira aku bisa dapetin dia gak ya? Bakalan sulit deh . . .” Sepertinya Radit mulai hanyut dalam angannya. “Sulit?” Aku mengernyit “Kok bisa? Bukannya kamu pendekar cinta?” Aku berusaha membuat lelucon.
          “Kamu salah” Radit menggeleng. “Sulit karena sainganku adalah sahabat aku sendiri. Sepertinya Dhita suka sama kamu.” Aku terkejut.
          “Sayangnya tebakan kamu salah Radit, aku tegaskan ke kamu aku masih gak mau cari cewek, kalau kamu suka dia, ya sudah, kejar saja tu cewek, aku gak punya perasaan apa-apa ke dia.” Aku mencoba untuk tegar. Lagipula dia adalah Anindhita Kurnia, dia orang lain walaupun wajahnya sama.
          “Benarkah itu Dev? Yes !!!” Radit memelukku, dia begitu bahagia dengan ucapanku. Aku harus bisa menerima kenyataan bahwa dia adalah orang lain, bukan seseorang yang dulu pernah mengisi hatiku. Aku harus bangkit . . . .
          Hari-hari satu kelas dengan Dhita sungguh hari yang berat. Aku harus bersikap senatural mungkin kepadanya. Tapi jika magaku bertatapan dengannya, mau gak mau hatiku berdesir. Matanya yang teduh mengingatkanku pada mata indahnya, bagaimana cara dia tersenyum dan berbicara mengingatkanku padanya, jika saja Dhita memakai kaca mata dan lesung pipit menghias pipinya, sungguh aku pasti tahu Dhita adalah dirinya. Hal inilah yang menjadi alasan utamaku untuk tetap bertahan, karena Dhita adalah orang lain.
          “Hai Dev, kamu gak ikutan basket?” Tiba-tiba saja Dhita sudah duduk di sebelahku.
          “Tidak” Jawabku tanpa melihat ke arahnya.
          “Kenapa? Kalau dilihat kamu gak kalah kok ma Radit. Tinggi dan atletis. Sayang loh kalau kamu Cuma jadi kutu buku.” Sambil tertawa Dhita merebut bukuku. “Kamu baca apa sih? Serius amat sampai aku dicuekin”
          “Kembalikan !!!” Aku berdiri. Bukannya mengembalikan bukuku, dia malah berlari sambil tertawa. Sigap ku genggam pergelangan tangannya. Aku gak perduli dia merintih, aku butuh buku itu, aku harus selesai membacanya sebelum jam masuk berbunyi.
          “Iya-iya, ini ku kembalikan, susah ya kalau berhadapan dengan si kutu buku.” Bukannya minta maaf, dia malah berlalu sambil tersenyum ke arahku. “Huh . . gara-gara tu cewek hafalanku jadi terganggu.” Aku menggerutu sembari kembali duduk hingga aku tak menyadari sepasang mata mengawasiku.
          Aku menghela nafas, akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku sejenak. Hening yang ku rasakan, hanya detak jarum jam yang terdengar. Aku mendongak, sudah hampir maghrib, tapi Radit masih belum balik ke tempat kos. Tumben . . .
          “Ceklik . .” Suara pegangan pintu diputar. Wajah lesu Radit yang menyambut. Tanpa berbicara dia mulai berbenah.
          “Radit ? Kamu baik-baik saja kan? Kamu mau ke mana?” Aku mulai bersua ketika ku lihat Radit mulai memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas.
          “Aku butuh kamar yang baru.” Jawaban yang singkat dan cukup membuatku terkejut.
          “Ini ada apa? Bukankah sudah dua tahun ini kita bersama? Kenapa tiba-tiba kamu ingin pindah?” Aku berusaha untuk meminta kejelasan darinya, Radit tetap bergeming dan berlalu begitu saja. “Aneh . . .” Aku berusaha untuk berfikir, memutar kembali waktu dan aku teringat peristiwa tadi siang di lapangan basket. Aku menggeleng. “Bukan itu, bukankah saat itu aku hanya merebut bukuku dari tangan si Dhita, aku gak lakuin lebih dari itu.” Semakin keras aku berfikir, kepalaku terasa berdenyut lebih keras. “Ah sudahlah, mungkin ini hanya kesalahpahaman di antara kita, lebih baik aku membiarkannya dulu, siapa tahu dengan sendiri dia bisa lebih tenang.” Ku yakinkan diri dan mencoba untuk memejamkan mata sejenak.
.......................... * * *  ..........................

          “PRANGG . . .” Aku menjatuhkan gelas minumanku. Kulihat seseorang menyodorkan sapu tangan ke arahku. Dhita. “Pakai ini saja, baju kamu basah, aku yang salah, tadi aku yang menyenggol gelas minum kamu. Biar aku yang gantiin ya . . .” Gak ada pilihan, aku mengambil sapu tangan itu dan membersihkan beberapa noda di bajuku.
          “Sudah aku ganti, kamu tidak apa kan Dev? Maaf ya, aku tadi terburu-buru.” Aku menggeleng. Ku lihat Radit membuang muka padahal aku yakin tadi dia memandang ke arahku. Ini hari ke dua dia menjauhiku, bahkan sepertinya dia menghabiskan waktu dengan bermain basket. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu yang membuatnya resah. Aku tahu pasti. Jika hatinya sedang resah, dia akan melampiaskannya dengan bermain basket hingga lupa waktu. “Tapia apa ???” Aku bertanya dalam hati.
          “Dev, nanti boleh tidak aku mampir ke tempat kos kamu? Aku kesulitan dengan materi Kimia tadi, sekalian silaturohmi . . .” Aku tersentak. Bukan karena kata-kata Dhita, tapi karena tangan itu yang telah memegang lenganku. Aku berusaha mengelak tapi terlambat. “Bagaimana ?? Boleh tidak ??” Aku hanya mengangguk, aku ingin segera berlalu dari hadapannya.
          “Trims ya . . .” Dhita tertawa sembari mengacak-acak rambutku. Sigap aku menarik tangannya dari rambutku, tapi sayang, dia malah tertarik ke arahku, sangat dekat. Sekejap aku menatap ke dalam matanya, dan aku baru sadar mata itu begitu indah. Bulat dan hitam diaantara bulu mata yang lentik.
          “Maaf . . .” Aku segera menarik diri dan berlalu pergi. Aku mempercepat langkah menuju ruang kelas, aku gak boleh ngulanginnya lagi. Tapi entah kenapa, Dhita selalu menghantui hari-hariku. Wajahnya selalu membuat konsentrasiku bubar. Secarik kertas kecil menggelinding ke arahku. Aku menoleh. Bahkan Radit pun enggan ngomong langsung denganku.

Ku tunggu nanti di tempat parkir sepulang sekolah . . .

          “Baiklah . .” jawabku pelan, dan gak lama kemudian kelas pun bubar. Belum sempat aku bersua, Radit sudah hilang. Aku mengangkat bahu dan berjalan pelan menuju tempat parkir. Otakku terus berputar, memikirkan kata-kata apa yang akan aku katakan pada Radit nanti. “Ah itu dia” ku lihat dia berdiri tepat di bawah pohon.
          “Ada yang mau kamu omongin Radit?”  Aku segera bertanya ketika aku tiba di tempatnya. Tiba-tiba satu pukulan tepat mengenai wajahku. Aku kaget. Radit memukulku. Ku rasakan sesuatu mengalir dari sudut bibirku, aku menyapunya dengan punggung tanganku. Darah.
          “Kamu bilang kamu gak ada rasa ke Dhita, ya kan? Tapi sikap kamu sungguh munafik. Aku gak nyangka persahabatan kita retak hanya karena kamu terlalu munafik mengakuinya. Kenapa kamu gak jujur ?” Aku terperangah. Jadi ini yang membuatnya mendiamkan aku dan memilih untuk pindah kamar kos.
          “Kamu salah paham, tidak terbesitpun di hati aku untuk menyukainya. Dua tahun kita bersahabat, apa pernah aku berbohong? Aku terlalu menghargai persahabatan kita, aku gak mau hanya karena seorang cewek kemudian kita bertengkar seperti ini. Bahkan kamu memukulku.” Aku mencoba untuk menjelaskannya. Bukannya Radit tambah tenang, dia malah melayangkan pukulannya yang ke dua ke arahku. Aku berhasil mengelak.
          “Aduh . .” Dhita mengaduh sembari memegang pipinya. Lebam. Andai saja aku tadi gak mengelak, pasti pukulan tangan Radit gak mengenai wajah Dhita.
          “Kamu gak apa Dhit ?” Aku dan Radit berteriak. Bahkan reflek bersamaan kami menyodorkan tisu ketika darah mulai merembes di sudut bibirnya. “Gak apa kok, mungkin lebamnya bisa segera ku obati” Dhita berkata sembari mengambil tisu di tanganku. Ku palingkan muka menatap Radit, Tangannya masih teracung dengan tisu tergenggam erat di jemarinya. Menunduk malu, Radit berlalu dari hadapanku. Aku berusaha mengejarnya, namun Dhita mencegahku. “Jangan dikejar, dia butuh sendiri. Lagipula kenapa sih kalian berantem? Gara-gara aku ya???”                    
          Bukan sebuah pertanyaan melainkan suatu pernyataan. Aku menggeleng. “Aku harus pergi, Radit itu sahabatku, aku gak mau kesalahpahaman Radit semakin besar kepadaku .” Aku berusaha mengelak dan menjauh dari Dhita. Aku gak mau kedekatanku dengannya, itu akan memicu emosi Radit kepadaku.
              “Uch . . .” Aku menoleh. Dhita mengaduh kesakitan. Aku terdiam. Di satu sisi aku harus segera mencari solusi atas kesalahpahaman ini, namun di sisi lain, aku merasa kasihan. Kalau aku tetap pergi, aku akan jadi cowok yang gak manusiawi, tapi kalau aku tetap di sini, rasa bersalahku semakin besar kepada Radit.
          “Sepertinya darahnya semakin banyak . . .”Ku dengar Dhita merintih. Aku berbalik. “Sini, aku bantu bersihkan darahnya dulu . . . .” Ku ambil sapu tangan di kantong bajuku. Akhirnya rasa kasih yang mengalahkan egoku.
          “Sebenarnya kamu cowok yang perhatian Dev, tapi kenapa terkadang kamu cuek kepadaku?” Dhita mulai memecah keheningan.
          Aku menatapnya. “Tolong jangan kau salah artikan kepedulianku ini, aku melakukannya karena aku tahu kamu terluka gara-gara aku mengelak dari pukulan Radit. Sudahlah, sekarang darahnya sudah mengering, untuk mengurangi warna lebamnya, kamu kompres saja di rumah, aku harus segera pergi.” Aku bangkit dan beranjak pergi.
          “Dev, aku tahu kenapa kamu mencoba acuh kepadaku, suatu hari nanti kamu akan datang kepadaku, aku yakin itu . . .” Aku dengar teriakan itu, tapi tekadku sudah bulat. Aku tetap berlalu dan mengacuhkan teriakannya.
.......................... * * *  ..........................

          “Kau masih marah kepadaku?” Sudah dua hari ini Radit diam membisu. Walaupun kami sudah beda kamar kos, namun aku masih bisa mengbrol dengannya. Aku mencoba tersenyum, namun Radit tetap bergeming, bahkan dia tetap menatap halaman. “Baiklah, akan aku ceritakan yang sebenarnya tentang bagaimana perasaanku ke Dhita, ku harap kamu mau kasih kesempatan ke aku untuk jelasinnya.” Kediaman Radit kuanggap sebagai persetujuan darinya.
          “Lihatlah . .” Aku menyodorkan selembar foto ke Radit. Semula dia tetap bergeming, namun aku memaksanya. Kedua matanya menatap ke arahku, “Ini ???” Tanyanya kepadaku. Aku mengangguk.
          “Namanya Adelia Paramitha. Dia mirip kan sama Anindhita Kurnia. Hanya saja, Adel memakai kerudung dan berjilbab. Dia memakai kaca mata, dan lesung pipitnya yang membedakan antara Adelia dan Anindhita.” Radit mengangguk, sepertinya dia mulai memperhatikan foto itu.
          “Lalu dia ke mana?” Akhirnya Radit bersuara.
          “Dia menghilang begitu saja, sudah dua tahun ini aku gak denger kabar tentangnya.” Aku berusaha untuk tegar.
          “Aku ngerti gimana perasaan kamu Dev, aku minta maaf, aku sudah salah nilai kamu.” Tiba-tiba Radit memelukku. Aku tersenyum. “Ku kira kamu mau mukul aku lagi?” Aku mencoba memecah kecanggungan di antara kami. Kami pun tertawa bersama.
          “Tapi kamu masih punya hutang ke aku Dev . . .” Aku mengernyit. “Hutang? Seingatku enggak deh . .”
          “Kamu belum cerita ke aku kan, siapa Adelia Paramitha ini???” Kedua mata Radit berbinar, sepertinya dia benar-benar ingin tahu siapa sebenarnya Adelia itu. Aku menghela nafas, “Baiklah, aku akan cerita, tapi kamu janji kamu gak akan motong ceritaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang gak masuk akal kan ???” Radit hanya tertawa sembari mengacungkan ibu jari kanan tangannya.
          Aku merenung, mencoba memutar kembali memory dua tahun yang lalu.
          Aku terpana. Kedua bola mata itu, menatapku, tersimpan harapan yang besar, begitulah yang dapat ku baca. Ku perhatikan sosok itu, tubuhnya yang mungil, terbalut jilbab dan kerudung biru langit, ketika tersenyum, mata itu berbinar dan lesung pipi yang semakin membuat wajahnya tampak menawan. Sejenak aku sangsi dengan kemampuannya, karena setahuku cewek berjilbab itu lebih terbatas geraknya, tapi ini lain.
          “Ini . . .” Tangannya yang mungil menyodorkan secarik kertas kehadapanku.
          “Kamu yakin?” Tanyaku memastikannya. Dia mengangguk. “Baiklah, kamu ku terima di ekskul Pecinta Alam.” Kataku sembari memeriksa dua lembar kertas darinya. Ku telusuri baris per baris, ternyata dalam waktu satu hari dia berhasil mengumpulkan lima belas tanda tangan pengurus organisasi.,hebat . . .
          “Terima kasih, ini nomor hand phone aku, kalau kamu butuh asisten, dengan senang hati aku menunggu info dari kamu.” Aku mengangguk, dan dia pun berlalu.
          Namaku Devta Prasetyo, ketua dua organisasi pecinta alam di sekolahku. Suka berpetualang. Eits . . . jangan salah paham, bukan berpetualang cinta loh ya, selain suka bersemedi di ruang ekskul, aku juga suka bermain basket. Pasti tanpa aku jelaskan kalian sudah tahu apa dan bagaimana bermain basket itu. Bagiku, basket adalah hidupku yang kedua setelah berpetualang.
          Oh iya, cewek mungil itu bernama Adelia Paramitha. Selama ini tak pernah terlintas di benakku untuk berusaha mendekatinya. Maklumlah, walaupun dia bertubuh mungil, tapi keelokan wajahnya membuatnya menjadi nomor satu di antara beratus cewek di sekolahku. Setahuku, dia tak pernah lepas dari beberapa buku yang hampir tiap hari dia gendong di tangannya, kaca mata berbingkai kecil juga selalu menghias wajahnya. Tapi sekarang, dia datang kepadaku dengan selembar formulir pendaftaran yang sudah terisi, memohon agar dia diijinkan untuk ikut serta dalam kegiatan ekskul yang aku naungi. Semula aku sangsi, apakah dia mampu menjalankan beberapa audisi yang aku lakukan sebagai persyaratan masuk keanggotaan. Aku ragu karena tubuhnya yang terlalu mungil bahkan hanya sebatas daguku saja. Tapi ternyata . . . .
          Adelia  bukan sosok cewek manja, bukan pula sosok cewek pasif, baginya, jilbab bukan penghalang untuknya beraktifitas. Gerak-geriknya yang penuh semangat, senyum yang hampir tak pernah hilang dari wajahnya, membuatnya banyak memperoleh pujian dan penghargaan karena ide dan perilakunya, semua itu tak membuatnya takabur. Adelia tetap rendah hati dan mudah bergaul. Tangan-tangan mungilnya tak pernah lelah menolong sesama, otaknya pun tak pernah berhenti berimajinasi dan memunculkan suatu ide atau gagasan yang tepat. Bagiku, Adelia begitu sempurna.
          Hutan, gunung bahkan desa-desa kecil di pelosok sudah pernah kami kunjungi. Hampir dua minggu sekali kami mengadakan penjelajahan, dari tempat yang terdekat hingga ke luar pulau dan tentunya atas ijin kepala sekolah. Semakin banyak aktivitas, kami tak pernah lupa untuk belajar. Bagi kami sekolah itu tetap menjadi prioritas. Kami juga mengadakan kelompok belajar yang kami namai PA Study. Di sela-sela kesibukan kami dalam berorganisasi, PA Study tetap berjalan.
          Tak terasa hampir satu tahun aku berkecimpung dalam organisasi. Kegiatanku hanya terbatas pada PA, Study dan organisasi. Untuk menghilangkan rasa penat, aku sering bermain basket. Hampir setahun pula aku bersama-sama dengan Adelia. Dulu hubungan kami hanya sebatas ketua dan anggota, namun sekarang, hubungan itu pun lebih dari hubungan seorang teman. Adelia mulai terbuka kepadaku. Adelia cewek yang asyik. Walaupun dia berjilbab, dia tak menutup diri dan menjembatani sikapnya. Apapun dia lakukan, yang pasti masih di jalan yang benar, Adelia cewek pemberani, pernah dia berkata, “Aku diberi-Nya nafas untuk menikmati dan bersyukur pada kehidupan ini. Begitu besar nikmat dan Dia yang maha Agung. Jadi kita bebas melakukan apa saja selama Dia tidak murka. Karena tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang mampu lari dari murka-Nya. Aku hanya takut pada satu hal, aku takut Dia mengambil nafas ini, tanpa nafas ini, aku hanyalah seonggok daging yang tak berguna.” Aku merasa trenyuh dengan kata-katanya. Aku sadar, Adelia bukan cewek biasa, dia punya sesuatu yang lain, yang aku tak punya, yaitu Tuhan.
          Aku dibesarkan dalam keluarga yang bisa dibilang makmur. Semua yang aku inginkan pasti terpenuhi. Semula aku merasa senang. Setiap kali aku menginginkan sesuatu, tanpa beranjak dari tempatku berada, tinggal tekan bel dan berteriak, semuanya sudah tersedia. Semakin aku besar, aku mulai merasa kesepian. Ketika aku membuka kedua mata di pagi hari, hanya senyum Bi Inah yang menyapaku, ketika aku mulai menutup mata untuk menutup malam, aku pun tak melihat wajah kedua orang tuaku. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan mereka lebih mementingkan bisnis mereka daripada anak semata wayangnya. Pernah suatu ketika aku menggigil demam. Bukannya memperdulikanku, mereka bahkan pergi meeting di luar kota. Hanya tangan mulia Bi Inah yang marawatku. Membuatkan aku bubur, segelas susu bahkan ketika aku harus menginap di rumah sakit, kepala Bi Inah lah yang tertidur di pinggir ranjangku. Bukan kedua orang tuaku.
          Kedekatanku dengan ekskul PA dan Adelia, membuatku semakin sadar bahwa sesungguhnya dunia ini indah. Kita dapat belajar apapun dari alam. Selama nafas ini masih ada, Tuhan memberikan jalan untukku berbuat lebih baik dari sebelumnya. Semakin lama, rasa kagumku kepada Adelia semakin besar. Hingga tak ku sadari, benih-benih cinta itu mulai tumbuh, namun aku tak mau benih itu terbang, tak akan kubiarkan burung itu tahu bahwa telah tumbuh benih di hatiku.
          Aku seperti terhipnotis. Aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Ada satu kebiasaan Adelia yang membuatku penasaran. Jika langit malam sudah dipenuhi dengan beribu bahkan berjuta bintang, tak perduli dinginnya malam dan dimanapun dia berada, dia selalu duduk menengadah menatap langit. Bahkan dia sering lupa diri. Tak hanya satu malam saja, malam kedua hingga malam berikutnya, dia tak bosan-bosannya menatap langit. Pernah suatu ketika, mendung menghias langit malam kala itu. Seperti langit, wajah Adeliapun menjadi murung. Dia hanya diam seribu bahasa dan tak mau memandang langit. Terkadang aku sering berdoa agar setiap malam langit menjadi mendung, turun hujanpun tak mengapa, namun ternyata doaku ini membuat Adelia kecewa kepadaku. “Kenapa Kamu malah berharap agar turun hujan malam ini? Bukankah hujan itu hanya membawa petaka?” Aku terkejut. “Kamu salah Adel, selama hujan itu masih turun dengan intensitas yang normal, hujan itu akan selalu menjadi berkah untuk kita. Tanpa hujan, sawah menjadi tandus, mereka tidak bisa mengairi sawah mereka. Apa akibatnya? Mereka gagal panen dan imbasnya juga ke kita, stok beras berkurang, banyak warga miskin harus antri berjam-jam hanya untuk mendapatkan jatah raskin mereka. Belum lagi, pejabat yang korup, mereka salah gunakan jatah raskin. Seharusnya mereka bagikan, raskin yang ada mereka nikmati sendiri hasil penjualannya, apa kamu tidak kasihan?” Aku mulai bersitegang dengannya, aku tidak setuju jika hujan hanya dianggap sebagai petaka.
          “Kamu sungguh menyebalkan !!!!” Sungguh jawaban yang menyakitkan. Dengan menyeka air mata, Adelia berbalik dan berlari menjauh. Aku hanya berdiri mematung, tak menyangka jika Adel begitu marah kepadaku.
          Dari kejauhan aku mengamatinya. Mala mini langit begitu cerah, terlihat seperti lomba sinar bintang, antara yang satu dengan yang lain saling menonjolkan cahayanya. Aku pun tak heran jika Adelia asyik menatap langit dari 2 jam yang lalu. Namun ada yang aneh, senyum tak ada di bibirnya. Kedua mata yang selalu berbinar, kini redup.
          “Hai, malam yang indah . . .” Aku berusaha menciptakan kembali percakapan di antara kami yang sudah terbelenggu semenjak perdebatan kemarin.
          “Iya, kamu benar. Tapi sayang, rasanya hatiku hampa, gelap tanpa tersentuh cahaya sedikitpun.” Kedua mata itu tetap menatap langit. “Aku senang menikmati langit malam yang berbintang. Bagiku, hidup mereka sangat mulia. Dengan senang hati mereka menyinari malam walaupun tubuh mereka terkadang lebih kecil dari bulan. Mereka tak perduli jika banyak manusia di bumi yang enggan menganggap mereka ada. Bagi manusia, bintang hanyalah bintang, kecil dan tak menarik. Aku menyukai mereka bahkan melebihi diriku sendiri. Mereka juga tak bosan menjadi tempat mengaduku selain Sang Pencipta. Mereka juga punya beribu solusi dari setiap permasalahanku, begitu juga dengan konflik di antara kita.”
          “Maksud kamu apa?” Aku berusaha mengklarifikasi pernyataannya.
          “Selama ini aku telah memberimu harapan tentang hatiku, hingga tak sadar tumbuh benih-benih yang lain di antara kita. Tapi itu semua aku lakukan dengan terpaksa. Aku tidak benar-benar tulus bersahabat denganmu. Bagiku kamu hanyalah batu loncatan untuk prestasiku di sekolah. Maaf, aku sudah bosan bersamamu.Bagiku, kamu bukan siapa-siapa di hatiku, bahkan tak pernah terbesit sedikitpun di hatiku rasa yang lain untukmu”
          DEEEGGGG . . .
          Hati ini rasanya sakit. Ku tatap kedua mata itu, dingin dan beku. Aku merasa dilempar dari suatu tebing yang terjal, begitu dalam, tak ada cahaya sedikitpun. Gadis yang selama ini mengisi relung hatiku, yang telah mengajariku siapa itu Tuhan dan bagaimana aku harus bersikap yang religius, kini dengan mudahnya dia mengatakan, maaf aku sudah bosan denganmu. Sungguh, aku salah menilai Adelia. Tanpa menuntut penjelasan aku bangkit, “Terima kasih, selama ini kamu sudah mau menjadi guru kehidupanku, sudah menjadi pengisi hatiku, jujur, jika hati ini tak memiliki rasa apapun terhadapmu, akan dengan mudahnya aku berpaling. Tapi hati ini sudah terlanjur luka, aku suka kamu Adelia, dan dengan mudahnya kamu campakan aku. Kukira kamu adalah bintang di hatiku, tapi aku salah, kamu tak ada bedanya dengan cewek lainnya, Jilbab dan kerudungmu telah menipuku. Persetan dengan semuanya, aku bersumpah dan bintang-bintang di atas sana yang menjadi saksiku, mulai detik ini enyahlah kamu dari hadapanku, pergilah sejauh mungkin dari kehidupanku. Bagiku, kau dan bintang, cahaya kalian adalah cahaya semu dan penipu !!!!!.” Aku beranjak meninggalkannya. Hatiku benar-benar luka. Sejak itu aku berhenti dari organisasi PA dan memilih pindah sekolah dan memutus kontak dengan Adelia. Hingga sekarang aku muak melihat bintang.
          Tanpa terasa kedua mata ini basah. Aku terlalu larut dalam ceritaku. Bahkan Radit mulai berkaca-kaca. “Itulah mengapa tiap kali kamu aku ajak bermain basket, kamu menolak. Tiap kali aku ajak kamu mendaki gunung dan keluar malam kamu selalu menolak. Bahkan kamu seolah menutup diri pada semua cewek.” Aku mengangguk mendengar kesimpulan Radit. “Dan hatimu mulai galau ketika Anindhita muncul karena wajahnya menginatkanmu pada Adelia? Dan itu berarti kamu tidak suka Anindhita kan?” Radit berseru sembari menepuk dahinya sendiri. “Sory sobat aku sudah salah nilai kamu. Tapi sebegitu bencinya kamu kepada Adelia, tapi kenapa kamu masih nyimpen ni foto?”
          Aku menggeleng. “Tidak, sejak saat itu sudah kukubur dalam-dalam semua kenangan itu, aku tak sengaja menemukan foto itu di antara tumpukan novel koleksiku. Rencananya tu foto mau aku pakai bukti bahwa aku gak suka pada Anindhita, bahkan merelakan persahabatan kita untuknya.”
          “Thank’s sobat, kamu sungguh berjiwa besar.” Radit memelukku. Sungguh, lega rasa hati ini setelah menceritakan rahasia yang selama hampir dua tahun aku pendam sendiri. Sudah saatnya aku bersikap tegas terhadap Anindhita. Jika aku luluh kepadanya, wajah itu akan selalu menyiksaku.
.......................... * * *  ..........................

          Aku bersorak sembari memeluk Radit ketika namaku tercantum sebagai lulusan terbaik di SMA tempat aku belajar. Walaupun beda tingkat, Radit ikut bersorak bahagia ketika namanya menempati urutan ke dua puluh dari seratus delapan puluh lima siswa yang dinyatakan lulus. Bagiku, semua kerja kerasku selama ini bukan hal yang sia-sia. Kegembiraanku semakin menjadi ketika kedua orang tuaku ikut hadir di acara pelepasanku. “Terima kasih Tuhan, karunia-Mu begitu besar kepadaku. Aku janji, aku gak akan menyia-nyiakan bea siswa yang aku dapatkan ini untuk melanjutkan studi ke Singapore. Karena relasi papa di sana sudah siap menerimaku kerja part time di perusahaan yang dia kelola.” Aku berdoa.
          Aku berhenti bersorak ketika sosok itu mendekatiku. Sejak perselisihanku dengan Radit, aku mulai menghindari Anindhita. Aku sudah berjanji tidak akan mencari cinta lagi hingga aku sudah menjadi pengusaha yang sukses. Mungkin aku sudah gila dengan karir, tapi bagiku cinta hanyalah batu loncatan untuk mencapai karir yang lebih tinggi. Aku yakin, cinta itu akan datang dengan sendirinya jika cinta itu adalah cinta sejatiku.
          “Kau bahkan gak mau ngucapin selamat tinggal kepadaku? Bukankah selama ini aku sudah menjadi teman yang baik intuk kamu?” Anindhita tersenyum ke arahku. Tangannya terulur kepadaku.
          “Aku menerima uluran tangannya dan menjabatnya, “Selamat ya, walaupun kamu anak baru di sini, kamu sudah bisa menempati posisi ketiga, bahkan berhasil mengalahkan Radit.” Aku berusaha untuk tersenyum. Aku berfikir, hari ini adalah hari terakhir aku di Indonesia, jadi aku tidak ingin meninggalkan jejak yang jelek di hadapan teman-temanku.
          “Itu benar, tak hanya prestasi Radit, bahkan aku sudah mengalahkan hatinya.” Anindhita tersenyum manja kepadaku. Aku mngernyit, aku masih belum paham.
          “Kita jadian, sobat . .” Radit menepuk bahuku dari belakang. Aku terkejut. “Dan kami sepakat, kami akan melanjutkan studi di niversitas yang sama.” Jelas Anindhita.
          “Benarkah???!!!!” Aku bersorak, ternyata . . .
          Aku senang mendengarnya. Selama ini usaha Radit gak sia-sia, dia berhasil mendapatkan hati Anindhita. Sontak aku menyemprotkan pilox kea rah mereka dan kamipun berbaur dalam suka.
          Sebelum pergi, aku memutuskan untuk menghadiri acara ultah Anindhita sekaligus acara perpisahan kelas kami. Undangan tertera pukul 19.00 WIB, dan aku sudah tiba tepat satu menit sebelum acara dimulai. Malam itu kami habiskan dengan saling bertukar cerita dalam tawa dan canda. Di sela-sela acara, aku mulai memisahkan diri dari teman-teman yang lain. Entah kenapa, hati aku tergerak untuk menatap foto dinding itu lebih teliti. Di suatu ruang tepatnya sebuah ruang keluarga, ada sebuah foto besar, dan disekelilingnya beberapa foto kecil berdiri tegak di atas almari kecil. Aku menghentikan langkah seketika, ketika di foto itu . . . .
          “Itu foto aku, mama, papa, kak Angga dan saudara kembarku Adelia.” Tiba-tiba saja Anindhita sudah berdiri di sebelahku. Dia tersenyum ketika melihat keterkejutanku. “Ayo sini aku tunjukkan sesuatu kepadamu.” Tanpa menunggu persetujuanku, dia menarik tanganku dan mengajakku ke suatu kamar. Ketika pintu kamar itu terbuka, aku terkesima. Kamar yang indah. Anindhita berjalan ke suatu almari dan mengambil sebuah album foto dan menyerahkannya kepadaku. “Sebaiknya kita ngobrol di taman, kalau di sini aku takut terjadi salah paham di antara kamu dan Radit.” Aku mengangguk setuju.
          Kubuka lembar demi lembar album foto itu, semua berisi fotoku dan foto Adelia. Dari masa Adelia kecil, besar, hingga dia mulai ikut berorganisasi denganku. Ada satu foto yang aku suka, foto itu diambil ketika kami mendaki gunung Bromo, dia tertawa lepas ketika melihatku terjatuh. Entah siapa yang mengambil gambarnya, saat itu aku dan dia sama-sama tersenyum ketika aku tidak berhasil meraih tangannya yang berniat membantuku berdiri. “Ah, masa itu . . .” Aku tersenyum mengingatnya. Namun, ketika aku teringat malam dimana dia mencampakku, aku segera menutup album dan berniat pergi, namun tangan Radit menahanku, “Kami gak akan ijinkan kamu pergi sebelum kamu tahu kejadian yang sebenarnya.”
          Aku menepisnya. “Cukup, persekongkolan apa lagi yang kalian rencanakan hah? Kamu Radit !!!” Aku menunjuk ke arahnya, “bukankah kamu tahu aku begitu muak kepadanya, kenapa kamu malah menahanku di sini?” Aku benar-benar marah.
          “Aku harus menyampaikan pesan terakhir Adelia sebelum dia meninggal.” Anindhita berusaha meyakinkanku. “Meninggal?” Aku memastikan pendengaranku. Anindhita mengangguk. “Baiklah, sekarang jelaskan kepadaku, aku gak mau berlama-lama di sini.” Aku kembali duduk di samping Radit, Aku siap mendengarkan penjelasan dari Anindhita walaupun aku masih sangsi kepadanya, dan Anindhita mulai bercerita.
          Tak lama setelah kamu beranjak dan pergi meninggalkan Adelia sendiri, dia mulai menangis dan berkata “Bintang, kau tahu, sudah lama aku menyimpan rasa ini untuknya. Aku gak perduli, walaupun aku lemah, aku memaksakan diri untuk gabung dalam organisasi yang dia naungi. Semua itu aku lakukan karena aku menyukainya. Aku ingin selalu ada di sisinya walau aku tahu waktuku gak lama lagi. Aku sedih jika kamu gak muncul, aku juga benci jika langit turun hujan. Bukannya aku gak bersyukur karena hujan juga nikmat untukku, tapi hujan selalu mengingatkanku pada bencana itu.”
          Saat itu, dia masih berumur delapan tahun. Dia sangat suka hujan. Adelia bahkan rela bermain di antara genangan air hujan, bahkan dia sering duduk di bawah talang air dan membiarkan rambutnya terguyur begitu saja. Beda denganku, walaupun kami saudara kembar, aku justru sangant membenci hujan. Hujan membuat tanah becek, dan mengotori sepatuku. Sore itu, kami bermain di teras. Karena hujan turun deras, aku memaksa Adelia untuk tetap bermain di teras. Namun karena kecerobohanku, bola itu terlempar kea rah jalan raya. Adelia mulai merajuk Kak Angga, kakak tertuaku untuk mengijinkannya mengambil bola tanpa memakai payung. Sebenarnya aku tahu, dia ingin sekali bermain hujan di luar sana, namun kak Angga tetap bergeming. Akhirnya, Adelia nekat dan berlari keluar halaman. Dia melompat riang sambil memainkan air hujan yang membasahi tubuhnya, bahkan dia sengaja berlama-lama mengambil bola. Karena aku sebal, aku memberitahu kak Angga, dan dengan emosi kak Angga mengambil paying dan menarik Adel masuk. Memang dasar Adel anak yang keras kepala, dengan sekuat tenaga dia melempar bola ke arah kak Angga, dan kak Angga terlempar dan tubuhnya jatuh tepat mengenai badan truk yang sedang lewat. Saat itu juga kak Angga tewas. Sejak itu, Adel selalu menyalahkan dirinya. Dia merasa dirinyalah penyebabnya. Kami yang berduka atas kepergian kak Angga, memutuskan untuk pindah ke Surabaya dan meninggalkan Adelia tinggal bersama nenek di Surabaya. Sejak peristiwa itu, Adel mulai membenci hujan.
          Walaupun kami tidak satu rumah, tapi mama dan papa sering datang mengunjungi Adel di Surabaya. Adel tumbuh sebagai gadis yang religius, yang dia punya dan dia anggap sebagai teman hidupnya adalah bintang-bintang di atas sana. Dia sering menghabiskan malam dengan duduk di atas genteng menatap bintang. Sering aku lihat, dia suka bercerita kepadanya.
          Ketika dia mulai mengenalmu, kamipun mulai tahu kalau dia mengidap Leukimia akut. Adel gak pernah cerita bahkan dia terkesan menutup diri. Dia ingin merasakan apa itu jatuh cinta dan dia gak perduli dengan larangan dokter untuk selalu mengurangi aktivitasnya. Namun seperti yang kamu lihat, karena rasa kagumnya kepadamu, dia rela mengikuti semua aktivitasmu dengan resiko penyakitnya semakin parah. Dia gak mau operasi, aku masih ingat ketika dia berkata “Manusia itu suatu saat nanti pasti akan mati. Itu adalah takdir. Kita gak bisa mengingkarinya. Jadi biarlah aku seperti ini, tolong, jangan kalian jadikan aku sebagai beban. Aku gak mau dikasihani karena penyakitku ini.” Begitulah Adelia. Mendengar kemauan dan menghadapi keras kepalanya, kami hanya tersenyum sedih dan membantunya untuk menjalankan kemoterapi.
          Puncak penderitaannya di malam ketika kamu bertengkar dengannya. Saat itu Adel gak mau kamu tahu tentang penyakitnya yang semakin parah. Begitu besar rasa sayangnya kepadamu, dia sengaja membuatmu benci dan meninggalkannya, dia berharap kamu suatu saat nanti kamu akan mendapatkan yang lebih baik darinya. Ketika kamu tersinggung dengan ucapannya dan pergi darinya, kondisi Adel mulai kritis. Dia mengalami pendarahan. Dua minggu berikutnya, dia koma, dan tepatnya dua tahun yang lalu dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
          Dia tetap ngotot gak mau ngubungi kamu, bahkan saat dia dimakamkan nanti dia tetap ngotot merahasiakannya dari kamu. Mau gimana lagi, wasiat tetap wasiat. Aku sebagai saudara kembarnya gak bisa merahasiakannya lagi. Aku tahu kamu begitu kecewa hingga tak pernah sedikitpun kamu mau angkat telfon dan balas sms darinya. Tepatnya tiga bulan yang lalu aku memutuskan pindah ke Surabaya dan sengaja memilih satu sekolah dengan kamu. Gak susah kok ngelacak data kamu, dan aku beruntung aku ditempatin satu kelas sama kamu.
          Mulanya aku mulai menarik perhatian kamu. Aku ingin buktikan pada mendiang Adelia dan pada diriku sendiri kalau kamu sama seperti cowok-cowok yang lain. Aku ingin buktikan kalau semua cerita Adelia tentang kamu itu salah, dan ternyata, justru aku yang salah. Kamu benar-benar cowok yang tangguh, walaupun aku tahu sejak kisah kamu dan Adel berakhir kamu mulai menutup diri dari yang namanya cewek, kukira kamu trauma. Atas nama mendiang Adelia, aku minta maaf, karena sikapnya yang keras kepala, dia harus mengorbankan perasaan kamu. Tapi tolong, jangan kamu benci dia lagi ya, mungkin dia masih belum bisa tenang di sana . . .
.......................... * * *  ..........................
          Aku menatap koper besar di tempat tidurku. Sudah saatnya aku harus meninggalkan negara ini dan terbang ke Singapore. Udara berhembus menyibakkan tirai jendela kamarku. Aku sengaja membukanya agar aku bisa leluasa menatap langit. Ada satu bintang di atas sana, cahayanya telah mengalahkan hatiku. “Adelia Paramitha, mungkin lewat bintang itu kamu mau menyapaku. Kamu tahu, sejak aku kenal kamu, aku mulai terbiasa duduk diam menatap bintang dan terkadang aku mengajaknya bicara. Namun kebiasaan itu pudar ketika kamu campakkan aku begitu saja. Mungkin aku yang terlalu egois, hingga aku memutuskan kontak denganmu saat itu juga. Aku benci kamu Adel. Tapi aku sadar, kamu melakukan yang terbaik untuk kita. Maaf, mungkin hanya itu yang bisa aku katakan, semoga kamu tenang di sana. Trims Adel, aku merasa lebih tenang sekarang, dan oia, trims juga ya udah kasih aku album foto itu, karena di situlah aku menemukan jati diri aku, bersamamu dan bersama bintang di atas sana . . .” Ku dekap album foto itu, aku janji, aku akan merawatnya, gak akan ku biarkan kenangan-kenangan itu musnah begitu saja. Aku berharap siapapun pengisi hatiku nanti, dia memiliki hatimu, hati yang indah, seindah cahaya bintang . . . .


END
^_^

0 komentar:

Posting Komentar

 

Blog Template by YummyLolly.com - Header made with PS brushes by gvalkyrie.deviantart.com
Sponsored by Free Web Space