“Hai
. . . Aku Anindhita Kurnia, senang berkenalan dengan kalian . . .” Beberapa
decak kagum terdengar di telingaku. Bahkan Radit teman sebangkuku menyikutku,
“Ni cewek cantik banget Dev, yang lain lewat . . .” Dia berbisik di telingaku.
Aku tersenyum, sepertinya aku lebih sibuk dengan buku di tanganku.
“Dhita silahkan duduk di belakang
Devta, baiklah sekarang kita lanjutkan materi kita . . .” Dialog akhir bu Meta memaksaku untuk mengalihkan
perhatianku, aku mendongak, dan wajah itu . .
“Hai, boleh aku duduk di situ?” Tangan itu menunjuk kursi kosong di
belakangku. Aku menatapnya. Radit menyenggolku ketika dia terburu-buru berdiri
dan nyengir “Boleh kok Dhit, silahkan . . .” Aku membungkuk memungut pensilku
yang terjatuh. “Kenapa hatiku gelisah seperti ini? Karena wajah cantik itu?
Tidak, aku yakin dia adalah orang lain karena namanya Dhita, tapi kenapa
wajahnya begitu mirip?” Aku bertanya dalam hati. Aku menggeleng “Inget Dev, dia
hanya masa lalu kamu, kamu gak perlu nginget dia lagi karena dia bukan cewek
yang baik, seenaknya mempermainkan perasaan kamu, setelah kamu jatuh dia
meninggalkanmu begitu saja” Hatiku berontak.
Aku menghela nafas panjang, “materi hari ini lebih penting, aku harus bisa
konsentrasi” Aku bergumam sembari memperhatikan penjelasan Bu Meta.
..........................
* * * ..........................
Aku merenung menatap langit-langit
kamarku. Hatiku sesak, rasanya dinding kamar ini runtuh dan mengahantamku. Ingin
rasanya tangis ini pecah tapi egoku yang mencegahnya. “Hanya cowok lemah yang
mudah menangis” kataku
dalam hati. Tapi wajah itu yang membuatku lemah. Wajah seseorang yang dulu
pernah tumbuh di hatiku, ketika benih-benih itu mulai tumbuh menjadi
bunga-bunga indah, tak
begitu lama harus tercabut paksa. Pedih memang, tapi mau bagaimana lagi,
ketentuan Alloh lah yang lebih kuat dari akar bunga itu, dan kini hanya menyisakan lubang. Seiring berjalannya waktu, lubang itu mulai tertimbun tanah. Tapi entah
kenapa, hari ini hujan turun begitu lebat, membuat tanah itu lembek dan
tergerus kembali. “Ya Alloh apa yang harus aku lakukan? Walaupun namanya
berbeda, tapi kenapa wajahnya begitu mirip?” hatiku merintih.
“BRAAAKKKK . .” Aku terlonjak. Tanpa
menolehpun aku sudah tahu kalau itu Radit. Sudah kebiasaannya menutup pintu
kamar keras. Berkali-kali dinasehati, berkali-kali diulangi. Bahkan omelan ibu
kos pun hanya dianggap angin lalu.
Raditya Sanjaya. Teman satu kamarku di
tempat kos putra. Tinggi dan tampan itu yang membuatnya menjadi idola cewek di
sekolahku. Hobi basket dan makan bakso pedas, paling tidak tahan kalau diputusin
cewek, bisa murung seharian. Tapi itu bagaikan sepuluh dari seribu, karena sepengetahuanku
sedikit dia ditolak cewek, yang ada malah mereka yang nangis karena cintanya
ditolak. Hehehe . . .
“Sialan tu cewek, kamu tahu Dev, masak
di mading dia nulis puisi untukku?” Kata Radit sembari melempar handuknya. Aku
menatapnya dan tersenyum, “Bagus dong, itu tandanya tu cewek bener-bener
puitis, harusnya kamu bangga dong . . .”
“Bangga apanya ?! Aku muak sama cewek
gituan, mending si Dhita, cewek baru di kelas kita. Udah tinggi, cantik,
hhhmmmm . . kira-kira aku bisa dapetin dia gak ya? Bakalan sulit deh . . .”
Sepertinya Radit mulai hanyut dalam angannya. “Sulit?” Aku mengernyit “Kok
bisa? Bukannya kamu pendekar cinta?” Aku berusaha membuat lelucon.
“Kamu salah” Radit menggeleng. “Sulit
karena sainganku adalah sahabat aku sendiri. Sepertinya Dhita suka sama kamu.”
Aku terkejut.
“Sayangnya tebakan kamu salah Radit,
aku tegaskan ke kamu aku masih gak mau cari cewek, kalau kamu suka dia, ya
sudah, kejar saja tu cewek, aku gak punya perasaan apa-apa ke dia.” Aku mencoba
untuk tegar. Lagipula dia adalah Anindhita Kurnia, dia orang lain walaupun
wajahnya sama.
“Benarkah itu Dev? Yes !!!” Radit
memelukku, dia begitu bahagia dengan ucapanku. Aku harus bisa menerima
kenyataan bahwa dia adalah orang lain, bukan seseorang yang dulu pernah mengisi
hatiku. Aku harus bangkit . . . .
Hari-hari satu kelas dengan Dhita
sungguh hari yang berat. Aku harus bersikap senatural mungkin kepadanya. Tapi
jika magaku bertatapan dengannya, mau gak mau hatiku berdesir. Matanya yang
teduh mengingatkanku pada mata indahnya, bagaimana cara dia tersenyum dan
berbicara mengingatkanku padanya, jika saja Dhita memakai kaca mata dan lesung
pipit menghias pipinya, sungguh aku pasti tahu Dhita adalah dirinya. Hal inilah
yang menjadi alasan utamaku untuk tetap bertahan, karena Dhita adalah orang
lain.
“Hai Dev, kamu gak ikutan basket?”
Tiba-tiba saja Dhita sudah duduk di sebelahku.
“Tidak” Jawabku tanpa melihat ke
arahnya.
“Kenapa? Kalau dilihat kamu gak kalah
kok ma Radit. Tinggi dan atletis. Sayang loh kalau kamu Cuma jadi kutu buku.”
Sambil tertawa Dhita merebut bukuku. “Kamu baca apa sih? Serius amat sampai aku
dicuekin”
“Kembalikan !!!” Aku berdiri. Bukannya
mengembalikan bukuku, dia malah berlari sambil tertawa. Sigap ku genggam
pergelangan tangannya. Aku gak perduli dia merintih, aku butuh buku itu, aku
harus selesai membacanya sebelum jam masuk berbunyi.
“Iya-iya, ini ku kembalikan, susah ya
kalau berhadapan dengan si kutu buku.” Bukannya minta maaf, dia malah berlalu
sambil tersenyum ke arahku. “Huh . . gara-gara tu cewek hafalanku jadi
terganggu.” Aku menggerutu sembari kembali duduk hingga aku tak menyadari sepasang
mata mengawasiku.
Aku
menghela nafas, akhirnya aku bisa merebahkan tubuhku sejenak. Hening yang ku
rasakan, hanya detak jarum jam yang terdengar. Aku mendongak, sudah hampir
maghrib, tapi Radit masih belum balik ke tempat kos. Tumben . . .
“Ceklik
. .” Suara pegangan pintu diputar. Wajah lesu Radit yang menyambut. Tanpa
berbicara dia mulai berbenah.
“Radit
? Kamu baik-baik saja kan? Kamu mau ke mana?” Aku mulai bersua ketika ku lihat
Radit mulai memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas.
“Aku
butuh kamar yang baru.” Jawaban yang singkat dan cukup membuatku terkejut.
“Ini
ada apa? Bukankah sudah dua tahun ini kita bersama? Kenapa tiba-tiba kamu ingin
pindah?” Aku berusaha untuk meminta kejelasan darinya, Radit tetap bergeming
dan berlalu begitu saja. “Aneh . . .” Aku berusaha untuk berfikir, memutar
kembali waktu dan aku teringat peristiwa tadi siang di lapangan basket. Aku
menggeleng. “Bukan itu, bukankah saat itu aku hanya merebut bukuku dari tangan
si Dhita, aku gak lakuin lebih dari itu.” Semakin keras aku berfikir, kepalaku
terasa berdenyut lebih keras. “Ah sudahlah, mungkin ini hanya kesalahpahaman di
antara kita, lebih baik aku membiarkannya dulu, siapa tahu dengan sendiri dia
bisa lebih tenang.” Ku yakinkan diri dan mencoba untuk memejamkan mata sejenak.
..........................
* * * ..........................
“PRANGG
. . .” Aku menjatuhkan gelas minumanku. Kulihat seseorang menyodorkan sapu
tangan ke arahku. Dhita. “Pakai ini saja, baju kamu basah, aku yang salah, tadi
aku yang menyenggol gelas minum kamu. Biar aku yang gantiin ya . . .” Gak ada
pilihan, aku mengambil sapu tangan itu dan membersihkan beberapa noda di
bajuku.
“Sudah
aku ganti, kamu tidak apa kan Dev? Maaf ya, aku tadi terburu-buru.” Aku
menggeleng. Ku lihat Radit membuang muka padahal aku yakin tadi dia memandang
ke arahku. Ini hari ke dua dia menjauhiku, bahkan sepertinya dia menghabiskan
waktu dengan bermain basket. Aku merasa dia menyembunyikan sesuatu yang
membuatnya resah. Aku tahu pasti. Jika hatinya sedang resah, dia akan
melampiaskannya dengan bermain basket hingga lupa waktu. “Tapia apa ???” Aku
bertanya dalam hati.
“Dev,
nanti boleh tidak aku mampir ke tempat kos kamu? Aku kesulitan dengan materi
Kimia tadi, sekalian silaturohmi . . .” Aku tersentak. Bukan karena kata-kata
Dhita, tapi karena tangan itu yang telah memegang lenganku. Aku berusaha
mengelak tapi terlambat. “Bagaimana ?? Boleh tidak ??” Aku hanya mengangguk,
aku ingin segera berlalu dari hadapannya.
“Trims
ya . . .” Dhita tertawa sembari mengacak-acak rambutku. Sigap aku menarik
tangannya dari rambutku, tapi sayang, dia malah tertarik ke arahku, sangat
dekat. Sekejap aku menatap ke dalam matanya, dan aku baru sadar mata itu begitu
indah. Bulat dan hitam diaantara bulu mata yang lentik.
“Maaf .
. .” Aku segera menarik diri dan berlalu pergi. Aku mempercepat langkah menuju
ruang kelas, aku gak boleh ngulanginnya lagi. Tapi entah kenapa, Dhita selalu
menghantui hari-hariku. Wajahnya selalu membuat konsentrasiku bubar. Secarik
kertas kecil menggelinding ke arahku. Aku menoleh. Bahkan Radit pun enggan
ngomong langsung denganku.
Ku tunggu
nanti di tempat parkir sepulang sekolah . . .
“Baiklah
. .” jawabku pelan, dan gak lama kemudian kelas pun bubar. Belum sempat aku
bersua, Radit sudah hilang. Aku mengangkat bahu dan berjalan pelan menuju
tempat parkir.
Otakku terus berputar, memikirkan kata-kata apa yang akan aku katakan pada
Radit nanti. “Ah itu dia” ku lihat dia berdiri tepat di bawah pohon.
“Ada
yang mau kamu omongin Radit?” Aku segera
bertanya ketika aku tiba di tempatnya. Tiba-tiba satu pukulan tepat mengenai
wajahku. Aku kaget. Radit memukulku. Ku rasakan sesuatu mengalir dari sudut bibirku,
aku menyapunya dengan punggung tanganku. Darah.
“Kamu
bilang kamu gak ada rasa ke Dhita, ya kan? Tapi sikap kamu sungguh munafik. Aku
gak nyangka persahabatan kita retak hanya karena kamu terlalu munafik
mengakuinya. Kenapa kamu gak jujur ?” Aku terperangah. Jadi ini yang membuatnya
mendiamkan aku dan memilih untuk pindah kamar kos.
“Kamu
salah paham, tidak terbesitpun di hati aku untuk menyukainya. Dua tahun kita
bersahabat, apa pernah aku berbohong? Aku terlalu menghargai persahabatan kita,
aku gak mau hanya karena seorang cewek kemudian kita bertengkar seperti ini.
Bahkan kamu memukulku.” Aku mencoba untuk menjelaskannya. Bukannya Radit tambah
tenang, dia malah melayangkan pukulannya yang ke dua ke arahku. Aku berhasil
mengelak.
“Aduh .
.” Dhita mengaduh sembari memegang pipinya. Lebam. Andai saja aku tadi gak
mengelak, pasti pukulan tangan Radit gak mengenai wajah Dhita.
“Kamu
gak apa Dhit ?” Aku dan Radit berteriak. Bahkan reflek bersamaan kami
menyodorkan tisu ketika darah mulai merembes di sudut bibirnya. “Gak apa kok,
mungkin lebamnya bisa segera ku obati” Dhita berkata sembari mengambil tisu di
tanganku. Ku palingkan muka menatap Radit, Tangannya masih teracung dengan tisu
tergenggam erat di jemarinya. Menunduk malu, Radit berlalu dari hadapanku. Aku
berusaha mengejarnya, namun Dhita mencegahku. “Jangan dikejar, dia butuh
sendiri. Lagipula kenapa sih kalian berantem? Gara-gara aku ya???”
Bukan
sebuah pertanyaan melainkan suatu pernyataan. Aku menggeleng. “Aku harus pergi,
Radit itu sahabatku, aku gak mau kesalahpahaman Radit semakin besar kepadaku .”
Aku berusaha mengelak dan menjauh dari Dhita. Aku gak mau kedekatanku
dengannya, itu akan memicu emosi Radit kepadaku.
“Uch
. . .” Aku menoleh. Dhita mengaduh kesakitan. Aku terdiam. Di satu sisi aku
harus segera mencari solusi atas kesalahpahaman ini, namun di sisi lain, aku
merasa kasihan. Kalau aku tetap pergi, aku akan jadi cowok yang gak manusiawi,
tapi kalau aku tetap di sini, rasa bersalahku semakin besar kepada Radit.
“Sepertinya
darahnya semakin banyak . . .”Ku dengar Dhita merintih. Aku berbalik. “Sini,
aku bantu bersihkan darahnya dulu . . . .” Ku ambil sapu tangan di kantong
bajuku. Akhirnya rasa kasih yang mengalahkan egoku.
“Sebenarnya
kamu cowok yang perhatian Dev, tapi kenapa terkadang kamu cuek kepadaku?” Dhita
mulai memecah keheningan.
Aku
menatapnya. “Tolong jangan kau salah artikan kepedulianku ini, aku melakukannya
karena aku tahu kamu terluka gara-gara aku mengelak dari pukulan Radit. Sudahlah,
sekarang darahnya sudah mengering, untuk mengurangi warna lebamnya, kamu
kompres saja di rumah, aku harus segera pergi.” Aku bangkit dan beranjak pergi.
“Dev,
aku tahu kenapa kamu mencoba acuh kepadaku, suatu hari nanti kamu akan datang
kepadaku, aku yakin itu . . .” Aku dengar teriakan itu, tapi tekadku sudah
bulat. Aku tetap berlalu dan mengacuhkan teriakannya.
..........................
* * * ..........................
“Kau
masih marah kepadaku?” Sudah dua hari ini Radit diam membisu. Walaupun kami
sudah beda kamar kos, namun aku masih bisa mengbrol dengannya. Aku mencoba
tersenyum, namun Radit tetap bergeming, bahkan dia tetap menatap halaman.
“Baiklah, akan aku ceritakan yang sebenarnya tentang bagaimana perasaanku ke
Dhita, ku harap kamu mau kasih kesempatan ke aku untuk jelasinnya.” Kediaman
Radit kuanggap sebagai persetujuan darinya.
“Lihatlah
. .” Aku menyodorkan selembar foto ke Radit. Semula dia tetap bergeming, namun
aku memaksanya. Kedua matanya menatap ke arahku, “Ini ???” Tanyanya kepadaku.
Aku mengangguk.
“Namanya
Adelia Paramitha. Dia mirip kan sama Anindhita Kurnia. Hanya saja, Adel memakai
kerudung dan berjilbab. Dia memakai kaca mata, dan lesung pipitnya yang
membedakan antara Adelia dan Anindhita.” Radit mengangguk, sepertinya dia mulai
memperhatikan foto itu.
“Lalu
dia ke mana?” Akhirnya Radit bersuara.
“Dia
menghilang begitu saja, sudah dua tahun ini aku gak denger kabar tentangnya.”
Aku berusaha untuk tegar.
“Aku
ngerti gimana perasaan kamu Dev, aku minta maaf, aku sudah salah nilai kamu.” Tiba-tiba Radit memelukku. Aku
tersenyum. “Ku kira kamu mau mukul aku lagi?” Aku mencoba memecah kecanggungan
di antara kami. Kami pun tertawa bersama.
“Tapi
kamu masih punya hutang ke aku Dev . . .” Aku mengernyit. “Hutang? Seingatku
enggak deh . .”
“Kamu
belum cerita ke aku kan, siapa Adelia Paramitha ini???” Kedua mata Radit
berbinar, sepertinya dia benar-benar ingin tahu siapa sebenarnya Adelia itu.
Aku menghela nafas, “Baiklah, aku akan cerita, tapi kamu janji kamu gak akan
motong ceritaku dengan pertanyaan-pertanyaan yang gak masuk akal kan ???” Radit
hanya tertawa sembari mengacungkan ibu jari kanan tangannya.
Aku
merenung, mencoba memutar kembali memory dua tahun yang lalu.
Aku
terpana. Kedua bola mata itu, menatapku, tersimpan harapan yang besar,
begitulah yang dapat ku baca. Ku perhatikan sosok itu, tubuhnya yang mungil,
terbalut jilbab dan kerudung biru langit, ketika tersenyum, mata itu berbinar
dan lesung pipi yang semakin membuat wajahnya tampak menawan. Sejenak aku
sangsi dengan kemampuannya, karena setahuku cewek berjilbab itu lebih terbatas
geraknya, tapi ini lain.
“Ini .
. .” Tangannya yang mungil menyodorkan secarik kertas kehadapanku.
“Kamu
yakin?” Tanyaku memastikannya. Dia mengangguk. “Baiklah, kamu ku terima di
ekskul Pecinta Alam.” Kataku sembari memeriksa dua lembar kertas darinya. Ku
telusuri baris per baris, ternyata dalam waktu satu hari dia berhasil
mengumpulkan lima belas tanda tangan pengurus organisasi.,hebat . . .
“Terima
kasih, ini nomor hand phone aku, kalau kamu butuh asisten, dengan senang hati
aku menunggu info dari kamu.” Aku mengangguk, dan dia pun berlalu.
Namaku
Devta Prasetyo, ketua dua organisasi pecinta alam di sekolahku. Suka berpetualang.
Eits . . . jangan salah paham, bukan berpetualang cinta loh ya, selain suka
bersemedi di ruang ekskul, aku juga suka bermain basket. Pasti tanpa aku
jelaskan kalian sudah tahu apa dan bagaimana bermain basket itu. Bagiku,
basket adalah hidupku yang kedua setelah berpetualang.
Oh iya,
cewek mungil itu bernama Adelia Paramitha. Selama ini tak pernah terlintas di
benakku untuk berusaha mendekatinya. Maklumlah, walaupun dia bertubuh mungil,
tapi keelokan wajahnya membuatnya menjadi nomor satu di antara beratus cewek di
sekolahku. Setahuku, dia tak pernah lepas dari beberapa buku yang hampir tiap hari dia
gendong di tangannya, kaca mata berbingkai kecil juga selalu menghias wajahnya.
Tapi sekarang, dia datang kepadaku dengan selembar formulir pendaftaran yang
sudah terisi, memohon agar dia diijinkan untuk ikut serta dalam kegiatan ekskul
yang aku naungi. Semula aku sangsi, apakah dia mampu menjalankan beberapa
audisi yang aku lakukan sebagai persyaratan masuk keanggotaan. Aku ragu karena
tubuhnya yang terlalu mungil bahkan hanya sebatas daguku saja. Tapi ternyata .
. . .
Adelia bukan sosok cewek manja, bukan pula sosok
cewek pasif, baginya, jilbab bukan penghalang untuknya beraktifitas. Gerak-geriknya
yang penuh semangat, senyum yang hampir tak pernah hilang dari wajahnya,
membuatnya banyak memperoleh pujian dan penghargaan karena ide dan perilakunya,
semua
itu tak membuatnya takabur. Adelia tetap rendah hati dan
mudah bergaul. Tangan-tangan mungilnya tak pernah lelah menolong sesama,
otaknya pun tak pernah berhenti berimajinasi dan memunculkan suatu ide
atau gagasan yang tepat. Bagiku, Adelia begitu
sempurna.
Hutan,
gunung bahkan desa-desa kecil di pelosok sudah pernah kami kunjungi. Hampir dua
minggu sekali kami mengadakan penjelajahan, dari tempat yang terdekat hingga ke
luar pulau dan tentunya atas ijin kepala sekolah. Semakin banyak aktivitas,
kami tak pernah lupa untuk belajar. Bagi kami sekolah itu tetap menjadi
prioritas. Kami juga mengadakan kelompok belajar yang kami namai PA Study. Di
sela-sela kesibukan kami dalam berorganisasi, PA Study tetap berjalan.
Tak
terasa hampir satu tahun aku berkecimpung dalam organisasi. Kegiatanku hanya
terbatas pada PA, Study
dan organisasi. Untuk menghilangkan rasa penat, aku sering bermain basket.
Hampir setahun pula aku bersama-sama dengan Adelia. Dulu hubungan kami hanya
sebatas ketua dan anggota, namun sekarang, hubungan itu pun lebih dari hubungan
seorang teman. Adelia mulai terbuka kepadaku. Adelia cewek yang asyik. Walaupun
dia berjilbab, dia tak menutup diri dan menjembatani sikapnya. Apapun dia
lakukan, yang pasti masih di jalan yang benar, Adelia cewek pemberani, pernah
dia berkata, “Aku diberi-Nya nafas untuk menikmati dan bersyukur pada kehidupan
ini. Begitu besar nikmat dan Dia yang maha Agung. Jadi kita bebas melakukan apa
saja selama Dia tidak murka. Karena tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang
mampu lari dari murka-Nya. Aku hanya takut pada satu hal, aku takut Dia
mengambil nafas ini, tanpa nafas ini, aku hanyalah seonggok daging yang tak
berguna.” Aku merasa trenyuh dengan kata-katanya. Aku sadar, Adelia bukan cewek
biasa, dia punya sesuatu yang lain, yang aku tak punya, yaitu Tuhan.
Aku
dibesarkan dalam keluarga yang bisa dibilang makmur. Semua yang aku inginkan
pasti terpenuhi. Semula aku merasa senang. Setiap kali aku menginginkan
sesuatu, tanpa beranjak dari tempatku berada, tinggal tekan bel dan berteriak,
semuanya sudah tersedia. Semakin aku besar, aku mulai merasa kesepian. Ketika
aku membuka kedua mata di pagi hari, hanya senyum Bi Inah yang menyapaku,
ketika aku mulai menutup mata untuk menutup malam, aku pun tak melihat wajah
kedua orang tuaku. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan
mereka lebih mementingkan bisnis mereka daripada anak semata wayangnya. Pernah
suatu ketika aku menggigil demam. Bukannya memperdulikanku, mereka bahkan pergi
meeting di luar kota. Hanya tangan mulia Bi Inah yang marawatku. Membuatkan aku
bubur, segelas susu bahkan ketika aku harus menginap di rumah sakit, kepala Bi
Inah lah yang tertidur di pinggir ranjangku. Bukan kedua orang tuaku.
Kedekatanku
dengan ekskul PA dan Adelia, membuatku semakin sadar bahwa sesungguhnya dunia
ini indah. Kita dapat belajar apapun dari alam. Selama nafas ini masih ada,
Tuhan memberikan jalan untukku berbuat lebih baik dari sebelumnya. Semakin
lama, rasa kagumku kepada Adelia semakin besar. Hingga tak ku sadari,
benih-benih cinta itu mulai tumbuh, namun aku tak mau benih itu terbang, tak
akan kubiarkan burung itu tahu bahwa telah tumbuh benih di hatiku.
Aku
seperti terhipnotis. Aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta kepadanya. Ada
satu kebiasaan Adelia yang membuatku penasaran. Jika langit malam sudah
dipenuhi dengan beribu bahkan berjuta bintang, tak perduli dinginnya malam dan
dimanapun dia berada, dia selalu duduk menengadah menatap langit. Bahkan dia
sering lupa diri. Tak hanya satu
malam saja, malam kedua hingga malam berikutnya, dia tak bosan-bosannya menatap
langit. Pernah suatu ketika, mendung menghias langit malam kala itu. Seperti
langit, wajah Adeliapun menjadi murung. Dia hanya diam seribu bahasa dan tak
mau memandang langit. Terkadang aku sering berdoa agar setiap malam langit
menjadi mendung, turun hujanpun tak mengapa, namun ternyata doaku ini membuat
Adelia kecewa kepadaku. “Kenapa Kamu malah berharap agar turun hujan malam ini?
Bukankah hujan itu hanya membawa petaka?” Aku terkejut. “Kamu salah Adel,
selama hujan itu masih turun dengan intensitas yang normal, hujan itu akan
selalu menjadi berkah untuk kita. Tanpa hujan, sawah menjadi tandus, mereka
tidak bisa mengairi sawah mereka. Apa akibatnya? Mereka gagal panen dan
imbasnya juga ke kita, stok beras berkurang, banyak warga miskin harus antri
berjam-jam hanya untuk mendapatkan jatah raskin mereka. Belum lagi, pejabat
yang korup, mereka salah gunakan jatah raskin. Seharusnya mereka bagikan,
raskin yang ada mereka nikmati sendiri hasil penjualannya, apa kamu tidak
kasihan?” Aku mulai bersitegang dengannya, aku tidak setuju jika hujan hanya
dianggap sebagai petaka.
“Kamu
sungguh menyebalkan !!!!” Sungguh jawaban yang menyakitkan. Dengan menyeka air
mata, Adelia berbalik dan berlari menjauh. Aku hanya berdiri mematung, tak
menyangka jika Adel begitu marah kepadaku.
Dari
kejauhan aku mengamatinya. Mala mini langit begitu cerah, terlihat seperti
lomba sinar bintang, antara yang satu dengan yang lain saling menonjolkan
cahayanya. Aku pun tak heran jika Adelia asyik menatap langit dari 2 jam yang
lalu. Namun ada yang aneh, senyum tak ada di bibirnya. Kedua mata yang selalu
berbinar, kini redup.
“Hai,
malam yang indah . . .” Aku berusaha menciptakan kembali percakapan di antara
kami yang sudah terbelenggu semenjak perdebatan kemarin.
“Iya,
kamu benar. Tapi sayang, rasanya hatiku hampa, gelap tanpa tersentuh cahaya
sedikitpun.” Kedua mata itu tetap menatap langit. “Aku senang menikmati langit
malam yang berbintang. Bagiku, hidup mereka sangat mulia. Dengan senang hati
mereka menyinari malam walaupun tubuh mereka terkadang lebih kecil dari bulan.
Mereka tak perduli jika banyak manusia di bumi yang enggan menganggap mereka
ada. Bagi manusia, bintang hanyalah bintang, kecil dan tak menarik. Aku
menyukai mereka bahkan melebihi diriku sendiri. Mereka juga tak bosan menjadi
tempat mengaduku selain Sang Pencipta. Mereka juga punya beribu solusi dari
setiap permasalahanku, begitu juga dengan konflik di antara kita.”
“Maksud
kamu apa?” Aku berusaha mengklarifikasi pernyataannya.
“Selama
ini aku telah memberimu harapan tentang hatiku, hingga tak sadar tumbuh
benih-benih yang lain di antara kita. Tapi itu semua aku lakukan dengan
terpaksa. Aku tidak benar-benar tulus bersahabat denganmu. Bagiku kamu hanyalah
batu loncatan untuk prestasiku di sekolah. Maaf, aku sudah bosan bersamamu.Bagiku,
kamu bukan siapa-siapa di hatiku, bahkan tak pernah terbesit sedikitpun di
hatiku rasa yang lain untukmu”
DEEEGGGG
. . .
Hati
ini rasanya sakit. Ku tatap kedua mata itu, dingin dan beku. Aku merasa
dilempar dari suatu tebing yang terjal, begitu dalam, tak ada cahaya
sedikitpun. Gadis yang selama ini mengisi relung hatiku, yang telah mengajariku
siapa itu Tuhan dan bagaimana aku harus bersikap yang religius, kini dengan
mudahnya dia mengatakan, maaf aku sudah bosan denganmu. Sungguh, aku salah
menilai Adelia. Tanpa menuntut penjelasan aku bangkit, “Terima kasih, selama
ini kamu sudah mau menjadi guru kehidupanku, sudah menjadi pengisi hatiku,
jujur, jika hati ini tak memiliki rasa apapun terhadapmu, akan dengan mudahnya
aku berpaling. Tapi hati ini sudah terlanjur luka, aku suka kamu Adelia, dan
dengan mudahnya kamu campakan aku. Kukira kamu adalah bintang di hatiku, tapi
aku salah, kamu tak ada bedanya dengan cewek lainnya, Jilbab dan kerudungmu
telah menipuku. Persetan dengan semuanya, aku bersumpah dan bintang-bintang di
atas sana yang menjadi saksiku, mulai detik ini enyahlah kamu dari hadapanku,
pergilah sejauh mungkin dari kehidupanku. Bagiku, kau dan bintang, cahaya
kalian adalah cahaya semu dan penipu !!!!!.” Aku beranjak meninggalkannya.
Hatiku benar-benar luka. Sejak itu aku berhenti dari organisasi PA dan memilih
pindah sekolah dan memutus kontak dengan Adelia. Hingga sekarang aku muak
melihat bintang.
Tanpa
terasa kedua mata ini basah. Aku terlalu larut dalam ceritaku. Bahkan Radit
mulai berkaca-kaca. “Itulah mengapa tiap kali kamu aku ajak bermain basket,
kamu menolak. Tiap kali aku ajak kamu mendaki gunung dan keluar malam kamu
selalu menolak. Bahkan kamu seolah menutup diri pada semua cewek.” Aku
mengangguk mendengar kesimpulan Radit. “Dan hatimu mulai galau ketika Anindhita
muncul karena wajahnya menginatkanmu pada Adelia? Dan itu berarti kamu tidak
suka Anindhita kan?” Radit berseru sembari menepuk dahinya sendiri. “Sory sobat
aku sudah salah nilai kamu. Tapi sebegitu bencinya kamu kepada Adelia, tapi kenapa
kamu masih nyimpen ni foto?”
Aku
menggeleng. “Tidak, sejak saat itu sudah kukubur dalam-dalam semua kenangan
itu, aku tak sengaja menemukan foto itu di antara tumpukan novel koleksiku.
Rencananya tu foto mau aku pakai bukti bahwa aku gak suka pada Anindhita,
bahkan merelakan persahabatan kita untuknya.”
“Thank’s
sobat, kamu sungguh berjiwa besar.” Radit memelukku. Sungguh, lega rasa hati
ini setelah menceritakan rahasia yang selama hampir dua tahun aku pendam
sendiri. Sudah saatnya aku bersikap tegas terhadap Anindhita. Jika aku luluh
kepadanya, wajah itu akan selalu menyiksaku.
..........................
* * * ..........................
Aku bersorak
sembari memeluk Radit ketika namaku tercantum sebagai lulusan terbaik di SMA
tempat aku belajar. Walaupun beda tingkat, Radit ikut bersorak bahagia ketika
namanya menempati urutan ke dua puluh dari seratus delapan puluh lima siswa
yang dinyatakan lulus. Bagiku, semua kerja kerasku selama ini bukan hal yang
sia-sia. Kegembiraanku semakin menjadi ketika kedua orang tuaku ikut hadir di
acara pelepasanku. “Terima kasih Tuhan, karunia-Mu begitu besar kepadaku. Aku
janji, aku gak akan menyia-nyiakan bea siswa yang aku dapatkan ini untuk
melanjutkan studi ke Singapore. Karena relasi papa di sana sudah siap menerimaku
kerja part time di perusahaan yang dia kelola.” Aku berdoa.
Aku
berhenti bersorak ketika sosok itu mendekatiku. Sejak perselisihanku dengan
Radit, aku mulai menghindari Anindhita. Aku sudah berjanji tidak akan mencari
cinta lagi hingga aku sudah menjadi pengusaha yang sukses. Mungkin aku sudah
gila dengan karir, tapi bagiku cinta hanyalah batu loncatan untuk mencapai
karir yang lebih tinggi. Aku yakin, cinta itu akan datang dengan sendirinya
jika cinta itu adalah cinta sejatiku.
“Kau
bahkan gak mau ngucapin selamat tinggal kepadaku? Bukankah selama ini aku sudah
menjadi teman yang baik intuk kamu?” Anindhita tersenyum ke arahku. Tangannya
terulur kepadaku.
“Aku
menerima uluran tangannya dan menjabatnya, “Selamat ya, walaupun kamu anak baru
di sini, kamu sudah bisa menempati posisi ketiga, bahkan berhasil mengalahkan
Radit.” Aku berusaha untuk tersenyum. Aku berfikir, hari ini adalah hari
terakhir aku di Indonesia, jadi aku tidak ingin meninggalkan jejak yang jelek
di hadapan teman-temanku.
“Itu benar,
tak hanya prestasi Radit, bahkan aku sudah mengalahkan hatinya.” Anindhita
tersenyum manja kepadaku. Aku mngernyit, aku masih belum paham.
“Kita
jadian, sobat . .” Radit menepuk bahuku dari belakang. Aku terkejut. “Dan kami
sepakat, kami akan melanjutkan studi di niversitas yang sama.” Jelas Anindhita.
“Benarkah???!!!!”
Aku bersorak, ternyata . . .
Aku
senang mendengarnya. Selama ini usaha Radit gak sia-sia, dia berhasil
mendapatkan hati Anindhita. Sontak aku menyemprotkan pilox kea rah mereka dan
kamipun berbaur dalam suka.
Sebelum
pergi, aku memutuskan untuk menghadiri acara ultah Anindhita sekaligus acara
perpisahan kelas kami. Undangan tertera pukul 19.00 WIB, dan aku sudah tiba
tepat satu menit sebelum acara dimulai. Malam itu kami habiskan dengan saling
bertukar cerita dalam tawa dan canda. Di sela-sela acara, aku mulai memisahkan
diri dari teman-teman yang lain. Entah kenapa, hati aku tergerak untuk menatap
foto dinding itu lebih teliti. Di suatu ruang tepatnya sebuah ruang keluarga,
ada sebuah foto besar, dan disekelilingnya beberapa foto kecil berdiri tegak di
atas almari kecil. Aku menghentikan langkah seketika, ketika di foto itu . . .
.
“Itu
foto aku, mama, papa, kak Angga dan saudara kembarku Adelia.” Tiba-tiba saja
Anindhita sudah berdiri di sebelahku. Dia tersenyum ketika melihat
keterkejutanku. “Ayo sini aku tunjukkan sesuatu kepadamu.” Tanpa menunggu
persetujuanku, dia menarik tanganku dan mengajakku ke suatu kamar. Ketika pintu
kamar itu terbuka, aku terkesima. Kamar yang indah. Anindhita berjalan ke suatu
almari dan mengambil sebuah album foto dan menyerahkannya kepadaku. “Sebaiknya
kita ngobrol di taman, kalau di sini aku takut terjadi salah paham di antara
kamu dan Radit.” Aku mengangguk setuju.
Kubuka
lembar demi lembar album foto itu, semua berisi fotoku dan foto Adelia. Dari
masa Adelia kecil, besar, hingga dia mulai ikut berorganisasi denganku. Ada
satu foto yang aku suka, foto itu diambil ketika kami mendaki gunung Bromo, dia
tertawa lepas ketika melihatku terjatuh. Entah siapa yang mengambil gambarnya,
saat itu aku dan dia sama-sama tersenyum ketika aku tidak berhasil meraih
tangannya yang berniat membantuku berdiri. “Ah, masa itu . . .” Aku tersenyum
mengingatnya. Namun, ketika aku teringat malam dimana dia mencampakku, aku
segera menutup album dan berniat pergi, namun tangan Radit menahanku, “Kami gak
akan ijinkan kamu pergi sebelum kamu tahu kejadian yang sebenarnya.”
Aku
menepisnya. “Cukup, persekongkolan apa lagi yang kalian rencanakan hah? Kamu
Radit !!!” Aku menunjuk ke arahnya, “bukankah kamu tahu aku begitu muak
kepadanya, kenapa kamu malah menahanku di sini?” Aku benar-benar marah.
“Aku
harus menyampaikan pesan terakhir Adelia sebelum dia meninggal.” Anindhita
berusaha meyakinkanku. “Meninggal?” Aku memastikan pendengaranku. Anindhita
mengangguk. “Baiklah, sekarang jelaskan kepadaku, aku gak mau berlama-lama di
sini.” Aku kembali duduk di samping Radit, Aku siap mendengarkan penjelasan
dari Anindhita walaupun aku masih sangsi kepadanya, dan Anindhita mulai bercerita.
Tak
lama setelah kamu beranjak dan pergi meninggalkan Adelia sendiri, dia mulai
menangis dan berkata “Bintang, kau tahu, sudah lama aku menyimpan rasa ini
untuknya. Aku gak perduli, walaupun aku lemah, aku memaksakan diri untuk gabung
dalam organisasi yang dia naungi. Semua itu aku lakukan karena aku menyukainya.
Aku ingin selalu ada di sisinya walau aku tahu waktuku gak lama lagi. Aku sedih
jika kamu gak muncul, aku juga benci jika langit turun hujan. Bukannya aku gak
bersyukur karena hujan juga nikmat untukku, tapi hujan selalu mengingatkanku
pada bencana itu.”
Saat
itu, dia masih berumur delapan tahun. Dia sangat suka hujan. Adelia bahkan rela
bermain di antara genangan air hujan, bahkan dia sering duduk di bawah talang
air dan membiarkan rambutnya terguyur begitu saja. Beda denganku, walaupun kami
saudara kembar, aku justru sangant membenci hujan. Hujan membuat tanah becek,
dan mengotori sepatuku. Sore itu, kami bermain di teras. Karena hujan turun
deras, aku memaksa Adelia untuk tetap bermain di teras. Namun karena
kecerobohanku, bola itu terlempar kea rah jalan raya. Adelia mulai merajuk Kak
Angga, kakak tertuaku untuk mengijinkannya mengambil bola tanpa memakai payung.
Sebenarnya aku tahu, dia ingin sekali bermain hujan di luar sana, namun kak
Angga tetap bergeming. Akhirnya, Adelia nekat dan berlari keluar halaman. Dia
melompat riang sambil memainkan air hujan yang membasahi tubuhnya, bahkan dia
sengaja berlama-lama mengambil bola. Karena aku sebal, aku memberitahu kak
Angga, dan dengan emosi kak Angga mengambil paying dan menarik Adel masuk.
Memang dasar Adel anak yang keras kepala, dengan sekuat tenaga dia melempar bola
ke arah kak Angga, dan kak Angga terlempar dan tubuhnya jatuh tepat mengenai
badan truk yang sedang lewat. Saat itu juga kak Angga tewas. Sejak itu, Adel
selalu menyalahkan dirinya. Dia merasa dirinyalah penyebabnya. Kami yang
berduka atas kepergian kak Angga, memutuskan untuk pindah ke Surabaya dan
meninggalkan Adelia tinggal bersama nenek di Surabaya. Sejak peristiwa itu,
Adel mulai membenci hujan.
Walaupun
kami tidak satu rumah, tapi mama dan papa sering datang mengunjungi Adel di Surabaya.
Adel tumbuh sebagai gadis yang religius, yang dia punya dan dia anggap sebagai
teman hidupnya adalah bintang-bintang di atas sana. Dia sering menghabiskan
malam dengan duduk di atas genteng menatap bintang. Sering aku lihat, dia suka
bercerita kepadanya.
Ketika
dia mulai mengenalmu, kamipun mulai tahu kalau dia mengidap Leukimia akut. Adel
gak pernah cerita bahkan dia terkesan menutup diri. Dia ingin merasakan apa itu
jatuh cinta dan dia gak perduli dengan larangan dokter untuk selalu mengurangi
aktivitasnya. Namun seperti yang kamu lihat, karena rasa kagumnya kepadamu, dia
rela mengikuti semua aktivitasmu dengan resiko penyakitnya semakin parah. Dia
gak mau operasi, aku masih ingat ketika dia berkata “Manusia itu suatu saat
nanti pasti akan mati. Itu adalah takdir. Kita gak bisa mengingkarinya. Jadi
biarlah aku seperti ini, tolong, jangan kalian jadikan aku sebagai beban. Aku
gak mau dikasihani karena penyakitku ini.” Begitulah Adelia. Mendengar kemauan
dan menghadapi keras kepalanya, kami hanya tersenyum sedih dan membantunya
untuk menjalankan kemoterapi.
Puncak
penderitaannya di malam ketika kamu bertengkar dengannya. Saat itu Adel gak mau
kamu tahu tentang penyakitnya yang semakin parah. Begitu besar rasa sayangnya
kepadamu, dia sengaja membuatmu benci dan meninggalkannya, dia berharap kamu
suatu saat nanti kamu akan mendapatkan yang lebih baik darinya. Ketika kamu
tersinggung dengan ucapannya dan pergi darinya, kondisi Adel mulai kritis. Dia
mengalami pendarahan. Dua minggu berikutnya, dia koma, dan tepatnya dua tahun
yang lalu dia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dia
tetap ngotot gak mau ngubungi kamu, bahkan saat dia dimakamkan nanti dia tetap
ngotot merahasiakannya dari kamu. Mau gimana lagi, wasiat tetap wasiat. Aku
sebagai saudara kembarnya gak bisa merahasiakannya lagi. Aku tahu kamu begitu
kecewa hingga tak pernah sedikitpun kamu mau angkat telfon dan balas sms darinya.
Tepatnya tiga bulan yang lalu aku memutuskan pindah ke Surabaya dan sengaja
memilih satu sekolah dengan kamu. Gak susah kok ngelacak data kamu, dan aku
beruntung aku ditempatin satu kelas sama kamu.
Mulanya
aku mulai menarik perhatian kamu. Aku ingin buktikan pada mendiang Adelia dan
pada diriku sendiri kalau kamu sama seperti cowok-cowok yang lain. Aku ingin
buktikan kalau semua cerita Adelia tentang kamu itu salah, dan ternyata, justru
aku yang salah. Kamu benar-benar cowok yang tangguh, walaupun aku tahu sejak
kisah kamu dan Adel berakhir kamu mulai menutup diri dari yang namanya cewek,
kukira kamu trauma. Atas nama mendiang Adelia, aku minta maaf, karena sikapnya
yang keras kepala, dia harus mengorbankan perasaan kamu. Tapi tolong, jangan
kamu benci dia lagi ya, mungkin dia masih belum bisa tenang di sana . . .
..........................
* * * ..........................
Aku
menatap koper besar di tempat tidurku. Sudah saatnya aku harus meninggalkan
negara ini dan terbang ke Singapore. Udara berhembus menyibakkan tirai jendela
kamarku. Aku sengaja membukanya agar aku bisa leluasa menatap langit. Ada satu
bintang di atas sana, cahayanya telah mengalahkan hatiku. “Adelia Paramitha,
mungkin lewat bintang itu kamu mau menyapaku. Kamu tahu, sejak aku kenal kamu,
aku mulai terbiasa duduk diam menatap bintang dan terkadang aku mengajaknya
bicara. Namun kebiasaan itu pudar ketika kamu campakkan aku begitu saja.
Mungkin aku yang terlalu egois, hingga aku memutuskan kontak denganmu saat itu
juga. Aku benci kamu Adel. Tapi aku sadar, kamu melakukan yang terbaik untuk
kita. Maaf, mungkin hanya itu yang bisa aku katakan, semoga kamu tenang di
sana. Trims Adel, aku merasa lebih tenang sekarang, dan oia, trims juga ya udah
kasih aku album foto itu, karena di situlah aku menemukan jati diri aku,
bersamamu dan bersama bintang di atas sana . . .” Ku dekap album foto itu, aku
janji, aku akan merawatnya, gak akan ku biarkan kenangan-kenangan itu musnah
begitu saja. Aku berharap siapapun pengisi hatiku nanti, dia memiliki hatimu,
hati yang indah, seindah cahaya bintang . . . .
END
^_^
0 komentar:
Posting Komentar